BAB EMPAT

2464 Kata
Gadis itu masih bergelung manja di dalam selimut tebal yang semalaman membungkus tubuhnya sampai d**a. Karena hujan rintik-rintik mengguyur Jakarta semalaman penuh membuat udara terasa dingin, gadis itu bergelung manja dan tak sadar dirinya bangun kesiangan. Meski alarm dari ponsel terus meraung-raung, tak mengusik kedua matanya yang masih terpejam erat.  Satu-satunya hal yang membuat gadis itu akhirnya membuka mata karena merasakan sesuatu yang berat tiba-tiba menindih perutnya. Sang gadis pun membuka matanya setengah, sedikit terkesiap saat menemukan kucing kesayangannya tengah meringkuk nyaman di atas perutnya.  “Sylvester, kamu berat banget sih. Kegemukan gara-gara kebanyakan makan kayaknya,” gumamnya sambil memindahkan kucing berwarna hitam dengan corak putih tersebut dari perutnya.  Ya, kucing jantan lucu itu dia beri nama Sylvester karena terinspirasi dari serial animasi yang menjadi favoritnya sewaktu kecil, dimana ada tokoh kucing bernama Sylvester juga di film kartun itu.  Tangan gadis itu terulur ke meja kecil di samping tempat tidur, berniat melihat jam berapa saat ini, dia tersentak kaget hingga langsung duduk begitu menyadari waktu sudah menunjukan pukul 7 pagi.  “Sial! Aku kesiangan!” pekiknya panik sembari bergegas turun dari ranjang. Dia meraih handuk yang tersampir di gantungan lalu berjalan menuju kamar mandi yang ada di kamar kost-annya.  Keysa Sifabela nama gadis berusia 25 tahun itu, dia merantau hingga ke Jakarta hanya untuk menafkahi orangtua dan dua adiknya di kampung. Karena kedua adiknya masih sekolah, Keysa harus bekerja untuk membiayai sekolah mereka. Tapi dia tak keberatan sedikit pun karena sebagai anak tertua sudah seharusnya dia menjadi tulang punggung keluarga.  Keysa menyelesaikan aktivitas mandinya dengan cepat, hanya membutuhkan waktu kurang lebih 5 menit, dia kini sudah keluar dari kamar mandi dan dengan gesit mengenakan kemeja putih, rok span di atas lutut berwarna hitan dan blazzer yang warnanya senada dengan rok spannya.  Rambut panjangnya dia ikat ekor kuda, yang penting tak terlihat berantakan atau atasannya akan menegurnya. Dia juga memoles wajahnya dengan bedak tipis, eyeliner dan lipstik berwarna merah muda.  Setelah yakin penampilannya sudah sempurna, dia meraih tas yang digantung di dinding. Namun saat akan membuka pintu, dia dikejutkan oleh kucingnya yang tiba-tiba bersuara cukup kencang.  “Ya ampun hampir lupa memberi Sylvester makan,” gumamnya sembari berlari menuju laci tempat makanan kucingnya diletakan. Dengan terburu-buru dia menumpahkan cukup banyak makanan kucing di wadah plastik yang memang khusus menjadi tempat menyimpan makanan Sylvester.  “Jangan nakal ya. Kamu harus jadi anak baik selama aku bekerja. OK?”  Seolah kucing itu bisa memahami ucapannya, Keysa mengajaknya bicara seraya mengusap-usap puncak kepalanya penuh sayang. Sadar dirinya sudah sangat terlambat, Keysa pun berjalan cepat menuju pintu. Kali ini tanpa menoleh ke belakang, dia benar-benar melesat pergi setelah mengenakan sepatu pantofel dan mengunci pintu kamarnya.  “Pagi, Kak Keysa.” “Pagi,” balas Keysa saat ada tetangga kost-annya yang menyapa dengan ramah. Di Jakarta ini Keysa memang tinggal di sebuah kost-kost-an yang sebagian besar penghuninya merupakan mahasiswa, hanya ada dua orang yang bekerja sebagai karyawan, salah satunya adalah Keysa. Penghuni kost-an itu cukup dekat dan akrab sudah seperti keluarga sendiri membuat Keysa betah menetap di sana.  Keysa mempercepat langkah saat keluar dari gerbang kost-an, lalu sedikit berlari agar bisa cepat sampai di jalan raya. Tak jauh dari gang menuju kost-annya terdapat halte bus. Setiap pagi biasanya Keysa menaiki bus tersebut. Dan itulah yang Keysa lakukan sekarang, tengah berdiri di barisan antrian untuk menunggu kedatangan bus.  Keysa tampak gelisah, salah satu kakinya tak bisa diam dan terus bergoyang-goyang karena terlalu panik. Padahal tinggal 45 menit lagi dia harus segera tiba di kantor atau atasannya akan memarahi dirinya. Masih mending jika hanya dimarahi, bagaimana jika dia pecat mengingat atasannya begitu tegas, galak dan seolah tak punya hati nurani karena sudah banyak karyawan yang dipecatnya hanya karena melakukan kesalahan kecil, salah satunya sering terlambat datang.  Ketika bus akhirnya berhenti, Keysa berjalan cepat menerobos barisan, tak peduli meski barisan di depan melontarkan protes karena terdorong oleh Keysa.  “Maaf. Saya sedang buru-buru,” ucap Keysa sambil menangkupkan kedua tangan pada salah satu wanita yang tiada henti menggerutu hanya karena dirinya terdorong saat Keysa masuk ke dalam bus.  Tak ingin lebih lama lagi mendengar ocehan tiada henti wanita itu, Keysa berjalan masuk ke area khusus wanita. Bus itu sangat penuh, sesuatu yang wajar mengingat sekarang memang jam sibuk para pekerja kantoran berangkat ke kantor. Keysa tak heran jika dirinya tak kebagian kursi dan harus berdiri sambil berpegangan agar dirinya tak jatuh.  Beberapa halte terlewati, Keysa masih berdiri. Namun di halte berikutnya, orang yang duduk di kursi tepat di depan Keysa turun sehingga Keysa pun kini bisa bernapas lega karena akhirnya bisa mendapatkan tempat duduk.  Ya, Keysa bisa santai tanpa perlu berdiri sambil berdesak-desakan. Sayangnya rasa nyaman itu tak berlangsung lama begitu petugas penjaga pintu memberitahukan ada penumpang yang membutuhkan tempat duduk karena sedang hamil. Keysa berdecak mendapati tak ada seorang pun yang bersedia mengalah, hingga akhirnya dia berdiri karena tak sampai hati melihat seorang wanita hamil harus berdiri di bus penuh sesak ini.  Setelah tempat duduknya diambil alih si wanita hamil, Keysa berjalan mendekati ruang yang diisi campuran antara penumpang laki-laki maupun perempuan. Keysa bersandar pada dinding bus sembari menatap pemandangan sekitar melalui kaca. Lalu dia melamun, memikirkan tentang nasib keluarganya di kampung. Terhitung sudah empat bulan Keysa bekerja di Jakarta dan belum pernah sekali pun dia pulang ke rumah karena jadwal pekerjaannya yang terlalu sibuk. Keysa hanya akan menghubungi mereka melalui telepon dan rutin setiap bulan mengirimkan uang untuk keluarganya.  Dalam lamunan panjangnya yang tak berujung, Keysa tak sadar, ya, tak sedikit pun menyadari ada seorang pria di belakangnya yang diam-diam memasukan tangan ke dalam tas yang tersampir di bahu Keysa. Pria itu yang ternyata seorang pencopet mengambil dompet Keysa dan langsung berjalan pergi setelah aksinya berhasil.  Sampai dirinya turun di halte tujuan, Keysa sama sekali tak sadar bahwa dirinya baru saja kecopetan. Dompetnya raib dan entah akan ada kejadian apa yang menimpa Keysa yang malang hari ini.   ***   “Mbak, bubur abalone satu porsi dibungkus seperti biasa,” kata Keysa, memasan bubur khas Korea tersebut pada pelayan restauran.  “Baik, Kak. Ada lagi yang ingin dipesan?” tanya gadis pelayan yang dari perawakannya terlihat baru berusia sekitar 19 tahunan itu dengan ramah pada Keysa. Keysa melirik ke arah jam yang dipasang di dinding, masih ada waktu sekitar 20 menit lagi sebelum kantornya masuk. “Saya pesan satu porsi bubur ayam juga, Mbak. Makan di sini ya,” tambahnya.  “Baik, Kak. Silakan ditunggu.”  Keysa mengembuskan napas lega, setelah tadi berangkat dengan terburu-buru karena bangun kesiangan, awalnya Keysa berpikir dirinya tak akan sempat untuk sarapan. Beruntung jalanan tak semacet biasanya dan bus yang dia tunggu pun tak terlambat datang sehingga sekarang masih ada sedikit waktu baginya untuk sarapan sejenak.  Kesya menggulirkan mata ke sekeliling untuk mencari meja yang kosong. Namun kesialan menimpanya karena tak ada satu pun meja yang kosong di sana. Jika diperhatikan hanya ada satu meja yang ditempati satu orang, di saat meja yang lain diisi beberapa pelanggan. Keysa nekat mendekati meja itu berharap sosok pria yang sedang menyantap sarapannya mengizinkan Keysa untuk bergabung.  “Permisi, Pak. Boleh saya duduk di sini?” tanya Keysa sopan pada sosok pria yang sedang menunduk sambil menyantap bubur kerang di dalam mangkok.  Pria itu menoleh dan seketika Keysa tersentak. Bukan karena dia mengenal pria itu tapi karena paras sang pria luar biasa tampan, membuat Keysa salah tingkah dan gugup sendiri hanya karena melihat sorot mata si pria yang kini menatap datar padanya.  Pria itu mengangguk yang Keysa simpulkan sebagai izin yang diberikan untuknya duduk di sana, gadis itu pun tanpa ragu mendudukan diri di kursi kosong sehingga mereka kini duduk berhadap-hadapan.  “Terima kasih,” ucap Keysa namun diabaikan si pria karena dia kini melanjutkan aktivitas makannya.  Meski gugup karena dirinya duduk satu meja dengan pria tampan dan keren, Keysa berpura-pura tak peduli, dia dengan sengaja melihat ke arah luar melalui kaca meski tanpa sepengetahuan pria itu, Keysa diam-diam melirik ke arahnya.  “Kak Keysa, ini bubur ayam pesanannya,” ucap si pelayan sambil menaruh semangkok bubur ayam pesanan Keysa di atas meja. “Dan ini bubur abalone-nya.” Kini pelayan itu menyerahkan satu bungkus bubur lain yang juga dipesan Keysa.  “OK, makasih. Berapa totalnya, Mbak?” tanya Keysa ramah pada sang pelayan yang sudah dia kenal karena setiap hari Keysa memang selalu membeli bubur di sini sebelum berangkat ke kantor.  “Totalnya jadi lima puluh lima ribu, Kak.”  Kesya mengangguk paham, dia lantas membuka resleting tasnya untuk mengambil dompet. Akan tetapi ...  Keysa panik luar biasa karena tak menemukan dompetnya di mana pun, bahkan setelah dia mengobrak-abrik seisi tas kerjanya, keberadaan dompetnya itu tak kunjung ditemukan.  “Kenapa, Kak?” tanya pelayan yang terheran-heran melihat Keysa yang terlihat panik. “Dompet saya nggak ada, Mbak.” “Kok bisa, Kak? Mungkin tertinggal di rumah.”  Keysa mengingat-ingat kemungkinan dompetnya tertinggal di kost-an seperti yang dikatakan si pelayan, tapi Keysa yakin dia tidak mengeluarkan dompetnya sejak semalam. Keysa pun teringat pada resleting tasnya yang barusan sedikit terbuka, kini gadis itu menyadari sesuatu.  “Kayaknya saya dicopet, Mbak.”  Si pelayan membekap mulut, ikut terkejut mendengar ucapan pelanggan setia restaurannya itu. “Dicopet dimana, Kak?” tanyanya. “Di dalam bus kayaknya. Saya baru ngeh resleting tas sedikit kebuka barusan.” “Ya ampun, Kak. Banyak ya uang di dalam dompetnya?” “Lumayan. Tapi yang bikin nyesek, kartu ATM, KTP dan kartu kredit saya ada di dalam.”  Keysa benar-benar kebingungan sekarang ditambah dua porsi bubur pesanannya itu, bagaimana cara dia membayarnya?  “Sekarang gimana saya bisa bayar dua porsi buburnya, Mbak?” Si pelayan ikut prihatin melihat kondisi Keysa ini, “Ya udah, Kak, dibawa dulu aja gak apa-apa. Kakak kan setiap hari datang ke sini, bayar bubur dua porsi ini bisa besok aja.”  Keysa menggelengkan kepala, “Ah, gak enak saya, Mbak. Jadi punya hutang dong saya.” “Nggak apa-apa kok, Kak. Besok kan bisa kakak bayar.”  Keysa tertegun, dirinya benar-benar bingung sekarang. Dan dalam situasi membingungkan itu, baik Keysa maupun si pelayan terenyak kaget karena pria tampan yang satu meja dengan Keysa tiba-tiba bangkit berdiri dengan mendorong kursi yang didudukinya cukup kencang sehingga menimbulkan suara berderit yang mengejutkan dua gadis di dekatnya.  “Pesanan saya berapa, Mbak?” Suara berat nan serak pria itu mengalun, terdengar seksi di telinga si pelayan dan Keysa. Kedua gadis itu seolah lupa cara berkedip saat melihat wajah pria itu yang memang begitu memikat.  “Satu porsi bubur kerang saja ya, Pak?”  Pria itu mengangguk, mengiyakan pertanyaan si pelayan.  “Totalnya jadi dua puluh lima ribu, Pak.”  Dengan gerakan cepat, pria itu mengambil selembar uang dari dalam dompetnya. Lalu memberikannya pada sang pelayan. “Sekalian untuk membayar pesanan nona itu dan sisanya ambil saja buat Mbak,” ucap si pria sebelum melenggang pergi tanpa mempedulikan Keysa dan si pelayan yang melongo.  Si pelayan menatap ke arah selembar uang seratus ribu yang ada di tangannya, “Kak Keysa. Kakak gak jadi ngutang, dua porsi buburnya udah dibayarin mas ganteng barusan,” ucap si pelayan sambil menyengir lebar. Sedangkan Keysa masih melongo, tak menyangka pria tampan itu meski wajahnya terlihat angkuh tapi memiliki hati yang baik. Haah, jadi siapa pun tolong katakan Keysa sedang beruntung atau sial hari ini?    ***   Kesya berlari dengan terburu-buru memasuki gedung pencakar langit berlantai 25 itu. dia abaikan beberapa orang yang menyapanya karena yang dipikirkan gadis itu sekarang adalah segera tiba di ruangan sang atasan yang pasti sudah menunggunya sambil bersungut-sungut.  Dan benar saja tebakannya karena begitu memasuki ruangan sang atasan, atasannya tengah menatapnya dengan wajah memerah menahan emosi.  “Maaf Nona, saya terlambat,” ucap Keysa sambil sedikit membungkuk untuk menunjukan penyesalannya.  Atasannya berdecak jengkel, “Kamu itu bagaimana sih? Kan tahu saya harus sudah sarapan sebelum pukul delapan, lihat sekarang sudah pukul delapan lewat empat menit. Selain datang terlambat karena jam masuk kerja pukul delapan tepat, kamu juga terlambat membawakan pesanan saya.”  “Maaf, Nona. Tadi ada beberapa insiden di jalan.” “Alaah, bilang aja kamu males. Mau saya pecat kamu? Sudah bosan kerja jadi asisten saya?”  Kesya menggelengkan kepala dengan cepat, “Tidak, Nona. Saya minta maaf. Tolong jangan memecat saya. Saya janji tidak akan mengulanginya lagi, ke depannya saya tidak akan terlambat lagi.”  “Awas ya kamu, sekali lagi telat, keluar kamu dari perusahaan saya.” Keysa mengangguk patuh, “Baik, Nona.”  Sang atasan kembali berdecak, “Perusahaan ini penuh dengan orang-orang tidak berguna. Sepertinya saya harus mengganti dengan karyawan baru.”  Keysa menelan ludah mendengar gumaman sang atasan yang terdengar mengerikan di telinganya. Inilah yang ditakutkan Keysa sedari tadi, kena omelan dari atasannya yang luar biasa tegas dan galak. Tapi kesialannya hari ini memang datang tanpa terduga, sudah bangun kesiangan, dompetnya dicuri, Keysa juga harus dipermalukan karena dua porsi buburnya dibayarkan orang tak dikenal.  “Mana bubur abalone pesanan saya?”  Keysa dengan cepat mengulurkan semangkok bubur abalone yang tadi dia beli beserta segelas air mineral di hadapan sang atasan. Ya, sebenarnya bubur abalone itu memang dia beli setiap pagi atas pesanan atasannya. Ini pula yang menjadi alasan Keysa setiap hari mendatangi restauran yang khusus menjual beraneka macam bubur itu.  “Ada lagi yang anda inginkan, Nona?” tanya Keysa saat melihat sang atasan mulai melahap bubur abalone favoritnya. “Undangan untuk acara pertemuan di Villa sudah kamu sebarkan, kan?” Kesya mengangguk tegas, “Sudah saya kirimkan kemarin.” “Untuk Abiputra Company juga sudah?” Kesya kembali mengangguk, “Sudah, Nona.”  Kesya tak berkomentar apa pun lagi saat melihat atasannya kini sedang menyeringai lebar. “Bagus. Saya yakin pria m***m itu juga pasti datang.” “Pria m***m?” gumam Keysa tanpa sadar, dia lalu mengulum bibir begitu atasannya mendelik tajam karena mendengar gumamannya itu.  “Oh, iya. Sepertinya saya belum cerita sama kamu ya?” “Cerita apa, Nona?” “Kejadian menggelikan di pesta peresmian Abiputra Hotel.” Kesya menggelengkan kepala, “Belum. Nona belum menceritakan apa pun.”  Sang atasan tiba-tiba tertawa membuat kening Keysa mengerut karena terheran-heran.  “CEO Abiputra Company meminta saya untuk berdansa dengannya. Dan saya berani bersumpah dia terus menatap bibir saya saat kami sedang berdansa. Udah jelas dia tertarik pada saya.” Keysa tersenyum kecil, “Nona memang sangat cantik, jadi wajar banyak pria yang tertarik,” puji Keysa dan hal itu sukses membuat sang atasan semakin menyeringai lebar.  “Itu juga yang saya katakan padanya. Saya bilang Auristela Grizelle bukan wanita yang bisa dia luluhkan dengan mudah,” ucap sang atasan dengan angkuh, yang tidak lain merupakan Stela yang begitu dibenci Melviano. “Tapi CEO muda dan sukses itu memang tampan, saya mengakuinya. Dia juga cukup keren karena baru saja dinobatkan sebagai CEO muda tersukses. Kamu tahu orangnya?”  Keysa menggeleng karena dia memang merasa belum pernah mendengar kabar tentang CEO yang disebutkan sang atasan atau mungkin karena dia jarang membaca majalah atau koran bisnis sehingga kurang mengetahui tentang para pebisnis sukses.  Stela tiba-tiba melemparkan sebuah majalah ke dekat Keysa yang berdiri di dekat mejanya. “Itu CEO yang saya ceritakan tadi. Vian Zemiro Abiputra. Bagaimana menurutmu? Dia cukup tampan, kan?”  Alih-alih menjawab, Keysa justru sedang tercengang sekarang. Kedua matanya membulat sempurna begitu melihat gambar seorang pria yang dijadikan sampul majalah tersebut. Pria itu ... tidak mungkin Keysa melupakannya karena tadi pagi dia baru saja melihatnya. Jadi pria yang membayarkan buburnya itu seorang CEO sukses. Keysa kini tahu pada siapa dia harus mengganti uang lima puluh lima ribu untuk membayar dua porsi bubur yang dibayarkan sang CEO tadi. Dalam hati bertekad akan membayar hutangnya itu nanti, di villa Grizelle Group saat mereka akan kembali bertemu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN