Dhani sudah mengumpulkan semua karyawan baru dan juga beberapa karyawan lama. Beberapa lagi, sengaja masih berada di resto untuk melayani para pengunjung. Pagi seperti ini, resto biasanya masih belum terlalu ramai.
Mereka sudah berbaris di area dapur yang memang cukup luas. Menunduk seraya menunggu bos besar mereka datang.
“Selamat pagi, semuanya ... apa kabar?” Reinald datang dan menyapa karyawannya dengan ramah. Senyumnya membuat setiap wanita yang ada di sana meleleh.
“Pagi, Pak ....”
“Bagaimana? Betah bekerja di sini?”
“Betah, Pak ....”
“Bagaimana tidak betah, bosnya ganteng gini, hehehe.” Semua mendengar ocehan seorang karyawan wanita.
“Hhmm ... siapa tadi yang bersuara?” Reinald tersenyum ramah, ia tidak marah. Namun ia penasaran, siapa yang berani menjawab seperti itu ditengah-tengah ketegangan yang terjadi di sana.
“Ma—maaf ... saya sudah lancang, Pak.” Syifa mengangkat tangannya seraya tertunduk.
“Owh, jadi kamu Syifa ... tidak masalah, lagi pula saya tidak marah. Justru saya tersanjung dengan pujian dari gadis cantik sepertimu.”
Semua mata tertuju pada Syifa. Tiba-tiba wajah wanita itu bersemu merah. Kulit wajahnya yang putih bersih dan memang sangat cantik, menjadi semakin cantik karena rona merah alami yang terpancar di sana.
“Baiklah ... saya tidak ingin berlama-lama sebab nanti saya ada urusan lainnya lagi. Ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan kepada kalian semua mengenai aturan, hak serta kewajiban serta beberapa hal yang saya rasa perlu untuk disampaikan. Yang pasti saya ingin semuanya bekerja dari hati. Jangan ada yang mendongkol atau berbuat curang. Saya paling tidak suka orang yang curang dan mengkhianati kepercayaan.”
Reinald mulai menyampaikan beberapa hal yang memang ia rasa perlu untuk ia sampaikan. Tidak hanya dirinya yang berbicara, namun Reinald juga memberikan kesempatan untuk semua karyawannya memberikan pertanyaan dan juga memberikan pendapat.
Syifa lebih banyak terpana menyaksikan bos besarnya berbicara. Wanita itu benar-benar dibuat terpedaya oleh sosok seorang Reinald Anggara. Senyumnya, matanya, hidungnya, bahkan suaranya membuat Syifa jatuh cinta.
“Baiklah ... demikian briefing kita hari ini. Jika ada keluhan atau sesuatu yang ingin disampaikan, bisa langsung sampaikan saja kepada bapak Dhani. Insyaa Allah manajemen kita menerima semua kritik dan saran yang membangun dari semua karyawan. Semoga dengan kerja sama tim ini, usaha kita bisa semakin besar dan berjaya. Jika resto ini besar dan memiliki omset yang tinggi, tentu manajemen juga akan mempertimbangkan untuk pemberian bonus bagi karyawan terbaik dan terajin.” Reinald berhenti sesaat.
“Kalau begitu saya tutup saja, semoga semua betah bekerja di sini. Semakin semangat bekerja dan bekerjalah dari hati. Sampai jumpa lagi di lain kesempatan. Assalamu’alaikum ....”
“Wa’alaikumussalam ... hati-hati, Pak.”
Reinald berlalu seraya tersenyum ramah. Dhani mengikuti pria itu dari belakang.
Sesampainya di ruang pribadi Reinald, suami Andhini itu mempersilahkan Dhani duduk dan mulai membincangkan beberapa hal yang di rasa perlu.
“Baiklah, kalau begitu saya permisi dulu. Saya percayakan pengelolaan resto ini kepada anda pak Dhani. Saya masih ada pertemuan dengan calon investor. Mudah-mudahan saja mereka tidak membatalkan rencana yang sudah kami buat sebelumnya.”
“Iya, Pak Rei. Semoga rencana anda berjalan lancar.”
“Aamiin ... kalau begitu saya permisi, Assalamu’alaikum ....”
“Wa’alaikumussalam ....”
Reinald pun berlalu meninggalkan ruangannya sekaligus resto miliknya. Resto yang sempat hangus terbakar akibat ulah Fedrik. Kini, resto itu kembali tumbuh dan berkembang. Bahkan, Reinald akan membuka cabang di beberapa daerah, termasuk kota Padang.
-
-
-
-
-
Syifa menghempaskan bókongnya dengan kasar ke atas ranjang ukuran single miliknya. Sebuah rumah petak yang sengaja ia kontrak untuk tempat berteduh baginya selama tinggal di kota kembang. Rumah peninggalan orang tuanya, yang berada di Cimahi ia kontrakkan kepada orang lain. Rumah yang sudah ia tempati bersama kakak satu-satunya yang juga lebih dulu menyusul ke dua orang tuanya menghadap Tuhan.
Syifa mengambil dompetnya yang ia letakkan di dalam tas slempang berwarna cokelat tua. Tangan lentik nan halus itu, membuka dompet dan menatap sebuah foto dari dalam sana. Foto seorang wanita yang sudah menjaganya dengan baik semenjak ke dua orang tua mereka meninggal karena kecelakaan lalu lintas, ketika usianya masih sebelas tahun.
Kakak tercantik dan terbaik yang pernah ia punya. Kakak yang punya cinta mendalam kepada seorang pria. Cinta yang tidak pernah kesampaian hingga maut merenggutnya hampir dua tahun yang lalu.
Selama hampir dua tahun, Syifa mencari keberadaan Reinald. Ia harus menemui pria itu untuk menyampaikan pesan penting dari mendiang kakaknya.
Kini, Syifa sudah menemukan sosok Reinald Anggara. Ia tidak menyangka jika Reinald jauh lebih keren dari bayangannya selama ini. Ia bahkan belum memliki keberanian untuk menemui Reinald secara pribadi.
Kak ... aku sudah menemukan pria itu. Pria yang usianya hampir sama denganmu. Wajahnya juga masih awet muda, Kak. sama seperti wajahmu. Aku bahkan tidak mengira, jika Reinald itu sudah berusia empat puluh dua tahun. Aku pikir ia masih tiga puluhan tahun, hehehe.
Kak, sepertinya ia sudah menikah. Ah, pastilah ia sudah menikah. mana mungkin pria sepertinya masih sendiri. Ia tidak hanya tampan, tapi juga kaya raya. Aku jadi menyukainya, hehehe.
Kakak, salahkah jika aku juga menginginkannya? Bukan merebutnya dari istrinya, tapi hanya ingin jadi bagian dari mereka.
Hehehe ... aku ini sudah gila ya, Kak. iya, aku gila karena semua ceritamu tentangnya selama bertahun-tahun. Cerita-ceritamu itu sudah membekas dalam memoriku. Membuatku seakan mengenalnya lebih dalam, hingga hatiku terpaut jauh.
Kak, aku merindukanmu. Mohon doakan agar aku mampu melewati semua ini sendiri. Terima kasih sudah menjagaku selama ini. Aku mencintaimu ...
Netra Syifa sudah memerah oleh genangan air mata yang keluar begitu saja. Ia terisak seraya memeluk foto berukuran empat kali enam sentimeter itu. foto yang menampilkan senyum manis kakak satu-satunya yang ia miliki.
Setelah puas memeluk foto itu, Syifa kemudian menciuminya dan kembali menyimpannya dengan baik ke dalam dompetnya.
Syifa bangkit dan berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Hidup sendirian dan kesepian selama hampir dua tahun, membuat Syifa lebih banyak menghabiskan harinya dengan menangis.
-
-
-
-
-
Malam yang cerah, Reinald masih sibuk dengan laptopnya di kamar mewah yang didominasi warna peach lembut. Ia sudah menyelesaikan salat terakhirnya, namun masih enggan untuk mengistirahatkan diri.
Pekerjaannya sebagai ASN dan pimpro sebuah proyek bernilai ratusan miliar, membuatnya tidak mampu untuk bersantai.
“Sayang ... beristirahatlah sejenak.” Andhini memberikan secangkir kopi gingseng panas untuk suaminya. Tidak hanya secangkir kopi, tapi Andhini juga sudah membuatkan telur geprek untuk camilan Reinald.
“Terima kasih, Sayang ... maaf, Mas masih belum bisa beristirahat. Mas masih memeriksa dokumen ini, karena mas menemukan ada yang janggal pada dokumen ini.”
“Iya ... tapi mas juga butuh istirahat. Lihat nich, sejak kapan suami Andhini pakai kaca mata begini, hehehe.” Andhini mencium lembut pipi suaminya.
Pada akhirnya, Reinald tidak mampu menolak pesona dan sentuhan dari Andhini Saraswati. Seberat apa pun pekerjaannya, tetap ia tinggalkan demi istrinya tercinta.
Reinald melepas kaca matanya dan balik menatap Andhini yang tengah mengenakan pakaian tidur mini. Reinald tidak kuasa menahan dirinya setelah mendapat kecupan hangat dari Andhini. Reinald bangkit dan segera mendekap tubuh Adnini yang masih tetap langsing dan seksi.
“Kamu pintar sekali menggoda, Sayang ... kalu sudah begini, mas mana ingat lagi sama kerjaan.” Reinald menuntun tubuh itu ke atas ranjang.
“Aku menyuruhmu untuk istirahat, bukan untuk bercìnta.”
“Memangnya kalau aku ingin bercìnta, tidak boleh ya?”
“Kamu pikir, bagaimana, Mas?”
Reinald semakin mempererat pelukannya, “Aku pikir apa, ha?”
“Mana aku tahu apa pikiranmu, Mas?”
“Jangan menggodaku terus, Andhini.”
“Siapa yang menggodamu, Reinald Anggara. Jangan ge-er dech.”
“Jangan nakal, Andhini!”
Andhini segera mendaratkan bibirnya ke bibir Reinald. Sikapnya membuat Reinald tidak tahan untuk segera melumat bibir itu dengan rakus.
“Aku mencintaimu, Mas.” Andhini membisikkan kalimat mantra terindah tepat di depan daun telinga Reinald, sesaat setelah pergumulan bibir mereka berhenti.
“Aku sudah mendengarnya jutaan kali.”
“Tapi aku tidak pernah bosan untuk mengucapkanya lagi dan lagi.”
“Kenapa?”
“Karena itu mantra terindah yang mampu membuat dirimu meleleh, Mas.”
“Oiya? Apa kamu yakin, Andhini?” Reinald terus membelai lembut rambut Andhini. Pria itu lupa dengan tumpukan pekerjaannya. Mantra Andhini memang luar biasa.
Andhini kembali mendaratkan bibirnya di atas bibir manis suaminya. Malam yang dingin seketika berubah hangat. Reinald begitu menikmati setiap sentuhan dari Andhini, hingga pria itu tidak tahan untuk tidak melakukan lebih.
Seketika, ia melepas semua pengaman yang melekat pada tubuh istrinya. Melupakan semua urusan pekerjaan dan dunia. Menikmati malam yang indah dengan penuh cinta. Membuat tubuh mereka bermandikan keringat, walau suhuh AC ruangan itu sudah di stel ke mode terendah. Reinald dan Andhini kembali lena dalam surga dunia tanpa dosa.