Kalingga terus berpikir tentang Sugar Mommy yang diucapkan Ashana pagi tadi. Sore ini dia kembali ke rumah kostnya untuk berpamitan dengan pemilik kost. Bapak baik hati yang sudah menganggap seperti anaknya sendiri. Seorang wanita muda yang baru lulus SMA keluar dari kamar. Dia memakai celana pendek dengan kaos lengan pendek berwarna putih. Duduk di pegangan sofa yang diduduki ayahnya.
Wajahnya manis, rambutnya panjang dan dia masih sangat muda. Kalingga tahu wanita itu sering curi pandang ke arahnya.
“Mas Kal pindah kemana?” tanya perempuan bernama Arum itu dengan bibir yang mengerucut. Tak ada alasan baginya untuk bertanya tentang PR dari sekolahnya lagi jika tak ada Kalingga.
“Ke rumah atasan saya, Rum,” jawabnya sopan.
“Yah, kok harus pindah? Yang lain juga karyawan, tapi tetap kost di sini,” tuturnya pelan. Ayahnya hanya menggeleng geli, ibunya keluar membawakan gorengan dan ikut duduk di sofa.
“Nak Kalingga ini kan berbeda, jadi apa tadi nak?”
“Personal asisten, Bu,” jawab Kalingga.
Wanita muda itu hanya menghela napas panjang, “sering-sering main ke sini mas Kal, nomor aku jangan diblokir, siapa tahu nanti ada tugas kuliah yang aku enggak ngerti,” rajuknya.
“Iya,” balas Kalingga. Setelah berbincang beberapa hal, Kalingga pun berpamitan. Arum mengantarnya sampai depan gerbang.
“Mas Kal harus kerja, dapat uang banyak biar bisa jadi sugar daddy untuk aku,” ocehnya seraya bersandar di gerbang.
“Sugar Daddy itu apa?” tanya Kalingga mengingat apakah ada persamaan dengan sugar mommy?
“Sugar Daddy itu, laki-laki dewasa yang sering jajanin cewek yang usianya jauh dibawahnya, nemenin makan, jalan-jalan dan ya begitu lah biasanya sih bisa lebih, tapi kalau aku enggak mau lebih, belum sah,” kekeh Arum dengan wajah polosnya.
“Oh gitu, kalau sugar mommy apa?”
“Sugar Mommy sama kayak sugar Daddy, cuma bedanya yang royal itu perempuannya. Jadi kayak punya simpanan gitu lho mas,” ujar Arum. Kalingga menatap wajah gadis polos itu, ada kemiripan dengan seorang wanita yang pernah dicintainya. Wanita yang sudah menikah dua tahun silam karena dijodohkan orang tuanya.
“Hmm, ya sudah saya mau pergi dulu,” ucap Kalingga. Arum menyalaminya seperti biasanya. Kalingga hanya membawa satu kardus berisi pakaiannya yang itu pun pakaian usang, tak layak disebut pakaian dan mungkin tak pantas berada di lemari besar rumah Ashana.
Sengaja naik bus umum, Kalingga kemudian turun di gerbang perumahan Ashana. Dia berjalan pelan memasukinya hingga mendengar suara klakson motor, namun suaranya sangat nyaring! Dia menoleh, terlihat Vara tertawa ke arahnya, di keranjangnya sudah ada barang belanjaan.
“Mbak Vara?” tanya Kalingga memastikan.
“Dari mana mas Kalingga? Ayo naik,” ajak Vara ke boncengan sepeda listriknya.
“Memangnya bisa dinaikin orang dewasa?” gerutu Kalingga.
“Bisa, Aki aja kalau mau pergi kadang minta bonceng kok,” ucap Vara. Kalingga berpikir jarak ke rumah Ashana masih cukup jauh. Dia pun membonceng di belakang. Menikmati udara sore hari yang sejuk, melewati taman bermain. Banyak anak perumahan sana yang bermain di taman itu. Tamannya sangat terawat dengan banyak permainan juga pasir pantai. Wajar mengingat ini perumahan elit.
Ashana memarkirkan mobilnya di luar, mobil itu harus dibayarkan pajaknya besok jadi sengaja ditaruh di depan agar bisa dibawa staffnya. Dia menoleh ketika mendengar klakson yang sangat nyaring itu. Ditatap Vara dan Kalingga yang tertawa riang sambil bercanda, Kalingga pun turun dari sepeda listrik itu setelah mengucap terima kasih.
“Lho ibu, sudah pulang?” tanya Kalingga. Ashana berjalan di depannya dan berdehem saja. Ada rasa aneh menggelayutinya. Senyum lebar Kalingga sangat manis, mengapa dia bisa tertawa selebar itu dengan Vara? Sementara dengannya dia selalu tampak ketakutan?
“Kamu dari mana?” tanya Ashana.
“Kost Bu, pamit dengan pemiliknya,” ucap Kalingga.
“Oh. Besok siap ya, untuk pernikahan kita?” Ashana terus berjalan menuju tangga, Kalingga menghentikan langkahnya, lalu mengejar untuk mensejajarinya. Ashana melirik kakinya hingga Kalingga kembali mundur, menjaga jarak satu undakan tangga.
“M-maaf. Besok bu? Saya belum izin pada orang tua saya,” protes Kalingga.
“For what? Kamu laki-laki, enggak perlu izin juga bisa. Sebelum ke kantor kita singgah dulu, mas Navarro akan menunggu di sana, saksi cukup dari pihak saya. Satu lagi, tidak ada bantahan! Kita akan rundingkan hal selanjutnya nanti.” Ashana berjalan lebih cepat menuju kamarnya, lalu dia membanting pintu membuat Kalingga menghela napas.
Pernikahan apakah semudah itu? Dia merasa perlu memberi tahu orang tuanya biar bagaimana pun juga.
Dia kemudian menelepon ibunya, panggilannya langsung diterima oleh sang ibu.
“Bu, sedang apa?” tanya Kalingga seraya meletakkan dusnya di lantai. Dia kemudian menatap dirinya di depan cermin.
“Biasa baru pulang dari sawah, terus siapin makan malam,” ucap ibunya, terdengar nada bahagia dari arah sana.
“Bu, kalau aku menikah boleh enggak?” tanya Kalingga.
“Ibu akan sangat senang kalau kamu menikah Kal, kamu tahu kan di sini kamu digunjingkan karena dianggap menunggu Rani, tapi kamu mau nikah dengan siapa? Ibu perlu ke sana?”
“Enggak Bu, hanya nanya aja, nanti kalau waktunya tepat aku pasti bilang sama ibu,” ucap Kalingga. Dia kemudian menuju walk in closet, membuka laci di sana dan menemukan cukurannya, diusap dagunya yang ditumbuhi sedikit bulu halus.
“Bu, aku kirim uang ke rekening ibu, nanti minta Bara ambil ya, ibu jangan irit-irit lagi, aku janji bu, kehidupan kita akan lebih baik. makan makanan yang enak, beli pakaian yang bagus, begitu pula untuk adik-adik, biarkan dia menikmati masa kecilnya dengan makanan yang bergizi,” ucap Kalingga dengan suara gemetar.
Dia sudah memeriksa rekeningnya, dan Ashana memberinya uang cukup banyak, dua kali lipat dari gajinya bahkan. Dia mengirim setengah untuk keluarganya, dan dia bersyukur setidaknya keluarganya bisa menjalani kehidupan dengan layak.
“Nak, kemarin saja kami masih berhutang.”
“Bu, jangan pikirkan, itu bukan hutang, aku bekerja dengan nyaman di sini, bosnya baik banget sama aku. Aku enggak perlu bayar kost karena tinggal di rumahnya, aku dapat gaji yang besar dan bonus, ibu doain aja aku kuat dan betah, dan bilang bapak jangan pernah hutang sama rentenir lagi apa pun yang terjadi,” ujar Kalingga. Terdengar isakan dari arah sana.
“Iya Nak, kamu memang beruntung, anak yang beruntung,” ucapnya mengulang kalimat. Kalingga terharu, dia yakin tangisan ibunya adalah tangisan bahagia, dia pun memutuskan panggilan itu, setelahnya dia membersihkan diri.
Ashana hanya memakan salad untuk makan malam, dia juga meminum yogurt dan matanya terus mengarah ke tablet di tangannya. Sementara Kalingga makan menu lengkap, sangat banyak bahkan. Ada udang goreng crispy, ayam rica-rica juga sayuran. Vara masak beberapa jenis masakan dengan porsi yang sedikit.
Yang Kalingga tahu, Ashana tak pernah pelit dengan asisten rumah tangganya yang ikut ditanggung makan olehnya.
“Bu, besok saya pakai baju apa?” tanya Kalingga sambil mengunyah makannya.
“Enggak perlu pakai baju, nanti juga dibuka lagi,” jawab Ashana membuat Kalingga tersedak. Ashana menggeleng acuh, dia terus melihat tabletnya. Apa yang pria itu pikirkan? Ya pakai saja baju kerja toh mereka besok bekerja, lagi pula Ashana yakin tamu bulanannya akan tiba, tubuhnya sudah terasa tidak enak, dia memang tak mendapatkan tamu bulanan secara rutin, karenanya dia mengerti jika badannya terasa aneh maka tamu itu pasti datang.
***
Benar dugaannya, tamu bulanannya tiba! Sial, padahal dia sebentar lagi akan sah! Dia meringkuk seperti bayi, perutnya sangat sakit. Ditarik nakasnya, diambil obat pereda nyeri, dia meminumnya lalu dia kembali memejamkan mata, masih ada waktu setengah jam sebelum dia berangkat kerja.
Kalingga menunggu di ruang makan dengan memakai setelan jasnya yang berwarna cream. Ashana belum juga tiba, Kalingga menatap ke arah tangga. Dia pun memutuskan untuk menghampiri Ashana, dia khawatir pada atasan yang akan menjadi istrinya itu.
Diketuk pintu kamar Ashana, tak terdengar suara apa-apa. Dia pun memutuskan melongokkan wajahnya. Tak ada Ashana di ranjang. Dia masuk kamar itu, Ashana keluar dari kamar mandi hanya mengenakan pakaian dalam.
“Mau apa Kal? Saya lagi datang bulan,” ucapnya santai. Kalingga memalingkan wajah.
“Bukan itu, saya pikir ibu sakit, saya – saya tunggu di bawah,” ucap Kalingga. Ashana mengernyitkan kening dan mengangkat bahu acuh. Kalingga dengan cepat keluar dari kamar itu seolah habis melihat hantu saja.
Dia turun kembali ke ruang makan. Vara hanya melihat ke arahnya dengan pandangan tak mengerti? mengapa pria itu terlihat terkejut?
“Ibu sakit?”
“Enggak sebentar lagi juga turun,” ucap Kalingga. Benar dugaannya, tak lama Ashana turun, dia mengenakan baju putih dengan panjang selutut, terlihat sangat rapih dan cantik.
“Var, buatkan teh mint, saya sedang datang bulan,” ucap Ashana.
“Baik, Bu,” jawab Vara gugup, dengan cepat dia membuatkan teh hangat untuk Ashana, dia menggeleng perih. Kasihan Kalingga, pikirnya. Ashana jika datang bulan seperti beruang yang baru selesai hibernasi. Menyeramkan!
***
Kalingga tak mengerti mengapa Ashana terus saja menggerutu sepanjang perjalanan menuju tempat mereka melangsungkan pernikahan? Bahkan dia membanting pintu mobilnya ketika turun dari mobil. Dia melihat Navarro yang tersenyum ke arahnya, dia mengacuhkan dan terus masuk ke ruangan itu.
“Kenapa?” tanya Navarro pada Kalingga. Kalingga menggeleng tak mengerti.
Mereka semua masuk dalam ruangan itu, melangsungkan pernikahan yang resmi dan acara itu berjalan cukup cepat.
Sesampai di kantor, Ashana segera mengganti pakaiannya dengan pakaian yang memang ditinggal di ruang kerjanya. Terusan berwarna hitam, dia tak mau bajunya terkena noda darah.
Kalingga melihat cincin di jari manisnya, apakah dia perlu terus memakainya? Dia bahkan tak membeli cincin itu, semuanya pemberian Navarro yang ternyata ukurannya sangat pas dengannya.
“Kenapa mas Kal?” tanya Disha sambil menyerahkan beberapa berkas pada Kalingga untuk dipelajari.
“Ah enggak,” jawab Kalingga menyembunyikan jarinya. Satu pesan yang dia ingat ketika mereka tiba di parkiran tadi, pesan bernada ancaman dari Ashana.
“Jangan sampai ada karyawan yang tahu, atau kamu harus membayar tiga kali lipat dari hutang kamu!”
***