Dua

1675 Kata
“Pak, saya mohon,” ujar Kalingga mengiba, hingga petugas kemanan lain menepuk bahunya. Namanya Supri dan dia merupakan petugas kemanan senior. “Kalingga? Ada apa?” tanyanya. Petugas keamanan bagian absen menunduk sopan padanya. “Dia terlambat untuk interview,” jawab petugas keamanan absen itu. “Pak,” ujar Kalingga memelas. “Sudah kasih aja Ton, kasihan, saya mengenalnya, dia OB di lantai enam belas, kawan seperjuangan kita juga,” ucap Supri, petugas keamanan yang merupakan teman Kalingga itu. “Oh gitu, ya sudah nih nomor urutnya, jangan telat lagi ya, kamu dapat nomor terakhir,” ucap petugas keamanan itu. Kalingga menanda tangani tabel di buku itu setelah menulis nama lengkapnya, dia pun memeluk petugas keamanan yang merupakan temannya. “Makasih ya Pak,” ucap Kalingga tersenyum lebar. “Teman-teman kamu lainnya sudah naik ke lantai dua puluh, kamu semprot parfum dulu, keringetan gitu nanti belum interview sudah ditolak,” kekehnya. “Iya, Pak. Pasti,” ujar Kalingga. Dia pun melangkah masuk dengan senyum lebar tercetak di wajahnya, yang membuat lesung pipinya terlihat jelas. Kalingga menuju lantai dua puluh, di mana terdapat perusahaan ALE Corp. Saat ini Kalingga juga bekerja sebagai office boy di lantai enam belas, dia baru akan resign jika diterima kerja. Karena dia pun mengambil jurusan accounting ketika kuliah. Karena urusan interviewnya maka Kalingga mengambil cuti agar bisa fokus. Kalingga menyempatkan diri ke toilet lantai tersebut, dia membasuh wajahnya dan mengeringkan dengan tissue, dia menyeka tangannya dan mengeluarkan parfum murah dari tasnya. Dia menyemprotnya sebentar seraya merapikan bajunya. Setelah cukup siap, dia pun keluar dari toilet. Dia tak sengaja berpapasan dengan beberapa orang karyawan yang akan menginterviewnya, dia membungkuk sopan dan memberikan mereka jalan. Satu diantaranya seperti mengibaskan hidungnya, mungkin parfum murah Kalingga membuatnya tak suka. Kalingga mundur beberapa langkah dan menghirup aroma bajunya sendiri, dia mengibaskan kemeja itu agar wangi parfumnya menguar dan tidak mengendap lama. Tak mau nilainya turun karena wangi itu. Dia pun duduk di kursi yang disediakan, beberapa orang di sampingnya terlihat sudah sangat siap, pakaian mereka rapih, beberapa bahkan memakai jas di luar kemeja putih mereka. Kalingga terdiam di urutan terakhir, dia mempelajari jawaban-jawaban interview hingga dia melihat kakinya, astaga, sepatunya robek lagi. Sepertinya karena tadi dia berlari terlalu kencang dan dia tak sengaja menendang trotoar. Dia menarik kebelakang kakinya, berharap tidak ada yang melihat sepatu itu yang agak koyak di bagian depan. Ashana memasuki ruang interview, tiga orang staff yang akan menginterview berdiri ketika dia masuk lalu mempersilakan Ashana duduk di tengah. Satu orang moderator yang merupakan karyawan bagian personalia, satu orang manager finance, satu orang manager accounting. Ashana melihat jam tangan mahalnya, tepat waktu dia hadir pukul sepuluh. Dia pun mengangguk pada karyawan bagian personalia untuk memulai interview. Interview berjalan dengan baik, sepertinya orang-orang yang lolos test itu memang cukup berbakat, meskipun dari segi manner ada beberapa yang membuat Ashana langsung menyilang formulir biodatanya. Dia tak hanya butuh karyawan yang cerdas, namun juga memiliki sikap yang baik. Pertanyaan jebakan pun sudah disiapkan olehnya untuk menilai karakteristik orang-orang yang akan bekerja bersamanya itu. “Tinggal lima terakhir Bu, sekarang atau dijeda makan siang dulu?” tanya karyawan personalia itu. Ashana melihat jam tangannya lagi. Sudah waktunya makan siang, namun dia menoleh pada dua manager yang tampak kelelahan itu. “Kita interview saja ya, pukul tiga nanti saya ada urusan, khawatir telat. Bagaimana?” tanya Ashana. Dua manager itu saling tatap dan mengangguk. “Iya Bu, lagi pula kasihan kalau kita jeda satu jam,” ucap kedua manager itu. “Baik suruh mereka masuk,” ucap Ashana. Karyawan personalia itu keluar dan memanggil lima orang terakhir. Kalingga merasa detak jantungnya berpacu cepat, langkah kakinya menjadi aneh karena dia menutupi sepatunya yang robek. Dia melangkah paling belakang, dia mencoba mengangkat wajahnya agar percaya diri. “Silakan duduk dan perkenalkan diri kalian satu persatu,” ucap Ashana. Dia melihat ke arah calon karyawan itu, menilai penampilannya satu persatu hingga matanya memandang satu orang paling ujung. Pria itu cukup tampan, namun dia melihat sepatunya yang robek itu dengan kening berkernyit. Apakah dia semiskin itu? Setelah semua memperkenalkan diri, manager accounting mulai bertanya beberapa pertanyaan yang seperti template sejak tadi. Mungkin dia pun bosan dengan pertanyaan itu dan jawaban semuanya klise. “Jawabannya hampir sama semua, saya curiga kalian di luar dapat bocoran jawaban?” ujar manager accounting itu membuat semua calon karyawan tertawa karir, ya tawa tidak tulus. Terkecuali Kalingga yang memperlihatkan senyum lebarnya yang sangat manis. Hal itu menarik perhatian Ashana. Dia membuka biodata Kalingga. “Kalingga Natha, usia kamu dua puluh lima tahun ini, benar?” tanya Ashana. “Iya, Bu.” Semua pun menoleh ke arahnya. “Kamu tahu dibanding semua pelamar, usia kamu paling tua? Padahal kami mencari fresh graduate dan kamu menulis kamu lulus S1 tahun ini? Bukankah seharusnya usia kamu dua puluh dua atau dua puluh satu?” tanya Ashana. Kalingga tersenyum ke arahnya, senyum yang sama seperti tadi membuat Ashana terpaku pada wajah tampannya. “Saya memutuskan bekerja sebelum kuliah untuk mengumpulkan uang Bu, lalu saya kuliah sambil kerja sehingga saya telat dibanding teman-teman seusia saya,” jawab Kalingga. “Kamu bekerja di mana? Dan sebagai apa sebelumnya?” tanya Ashana. “Saya juga bekerja di Berlian Tower, Bu. Sebagai Office boy di lantai enam belas,” ucap Kalingga. “Oh perusahaan periklanan ya, sudah berapa tahun bekerja di sana?” “Enam tahun, sejak lulus SMA, Bu,” jawab Kalingga. Ashana pun mengangguk. “Kamu tinggal di dekat sini? Kost? Atau bersama orang tua?” “Kost Bu, orang tua saya di kampung, petani,” jawabnya penuh percaya diri, terlihat sekali bahwa dia tak malu dengan pekerjaan orang tuanya. Ashana pun mengangguk, lalu interview selesai. “Kami akan menghubungi dalam waktu satu minggu setelah interview, jika memang kalian diterima kami akan mengirim email, namun jika tak mendapat email maka kami mohon maaf karena itu berarti kalian tidak lolos, terima kasih atas waktunya,” ujar karyawan bagian personalia itu. Mereka semua pun menunduk sopan untuk berpamitan dan keluar dari ruangan itu satu persatu. Ashana dan dua manager itu bersandar di kursi, wajah lelah tampak dari mereka. “Buat penilaian, jam dua kita kumpul untuk keputusan ya,” ucap Ashana seraya berdiri. “Baik, Bu,” jawab semua yang ada di dalam, mereka membereskan berkas-berkas interview, sementara Ashana membawa berkas pelamar yang telah dia centang itu ke ruang kerjanya. Disha mengekornya lagi dan menanyakan makan siang Ashana, Ashana meminta Disha membeli makanan online saja karena dia ada pekerjaan. Ashana kembali melihat biodata Kalingga, dia melihat riwayat pendidikan dan tanggal lahirnya. Sebulan lagi dia ulang tahun ternyata. Ponselnya berdering, panggilan masuk dari kakak laki-laki satu-satunya yang dia miliki. Sejak kecil, kakaknya adalah pelindungnya dalam hal apa pun, dia tak malu menunjukkan kasih sayangnya meskipun istri dari kakaknya sering cemburu pada kedekatan mereka yang sudah berusia tua namun masih sangat harmonis. “Kenapa, Mas?” tanya Ashana. “Bagaimana interview hari ini?” tanya Navarro. “Yah seperti biasa, mas di kantor?” tanya Ashana. “Iya, tadi lihat di lobby banyak karyawan yang mau interview ya?” “Lowongan pekerjaan enggak terlalu banyak, sementara lulusan baru setiap tahunnya semakin banyak.” “Yah begitulah. Kamu sudah makan siang? Minggu lalu Mas lihat kamu jalan sama laki-laki lain lagi? Bukan pacar kamu?” “Cuma minta ditemani hang out aja, bosan sendirian,” jawab Ashana. “Enggak mau nikah lagi?” “Untuk apa? Kalau hanya untuk ditinggalkan saja. Lagi pula aku mandul,” jawab Ashana tertawa miris. “Kata siapa? Hasil test waktu itu kan bilang kalau kamu juga subur.” “Yah nyatanya dia bisa tuh langsung punya anak setelah nikah.” “Oh masih belum move on?” “Bukan begitu.” “Mau sampai kapan kamu gonta ganti pacar, buang-buang uang. Mas tahu kamu bayar mereka semua.” “Hadeh mata-mata dari mana yang Mas bayar kali ini?” kekeh Ashana. “Cari satu dan nikahi, enggak peduli latar belakangnya apa? Jabatan dan kedudukannya? Lagi pula papa mama sudah meninggal, Mas enggak akan pilih-pilih. Selama kamu suka, Mas akan nikahkan kalian,” ucap Navarro bijak. Ashana hanya berdehem saja. “Oiya dua bulan lagi Illiana wisuda kan? Dia mau kembali ke Indo?” tanya Ashana. “Iya mau kerja di perusahaan kamu katanya, dia kan ngefans banget sama tantenya yang dijadiin role model,” ujar Navarro. “Hahaa yaa nanti dia training di sini sebelum naik ke atas,” ucap Ashana, Disha mengetuk pintu ruang kerjanya. “Makan siang aku datang, makan duluan ya Mas, jangan lupa Mas juga makan,” ucap Ashana. “Iya ini mau makan, selamat makan ya, malam minggu jangan keluyuran, lebih baik temani Mas di rumah nonton film,” ujar Navarro. “Ish enggak mau!” cebik Ashana, hanya pada kakaknya ini dia bisa bermanja. Sejak dulu hanya kakaknya yang melindunginya dari apa pun juga, termasuk dari kekerasan yang dialaminya, yang dilakukan oleh orang tuanya sendiri. Yang membuat hati Ashana sangat terluka. Mereka memang orang tua yang kolot dan keras kepala, yang sialnya kekeras kepalaan mereka justru menurun padanya. Ashana menikmati makan siangnya sambil melihat program berita terkini dari televisi yang ada di ruangannya, berita tentang saham adalah hal yang paling menarik minatnya. Dia melihat saham Berlian Group yang masih stabil, ketika makan dia tidak suka diganggu. Itu sebabnya Disha biasanya akan berjaga di ruang kerjanya sambil melihat orang yang lalu lalang agar tidak mengganggu ke ruang kerja Ashana. Jam makan siang, Kalingga makan di warung Tegal dekat kantor, dia bertemu dengan petugas keamanan tadi. “Bagaimana interview tadi Kal?” tanya Supri sambil memesan makanan. “Saya pesimis, Pak, lihat penampilan yang lain baik-baik, mereka jawab pertanyaan dengan baik. sementara saya? Lihat penampilan saya buruk, sepatu saya robek karena lari,” ujar Kalingga menyuap nasi dengan telur dadar itu. Hanya satu lauk dengan kuah sop, bukan karena ini makanan favoritnya, namun makanan ini adalah yang termurah yang bisa dia beli. Tidak sampai sepuluh ribu. “Astaga, tahu gitu pinjam sepatu saya tadi Kal, sekarang perbanyak doa saja,” ucap Supri menepuk bahunya. Kalingga mengangguk, matanya berkaca-kaca. Padahal dia sangat berharap bisa memperbaiki nasib keluarganya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN