Bab 1. Positif
"Eh, jangan turun ranjang dulu! Angkat kakimu di dinding itu supaya benih yang aku masukin gak keluar lagi."
Dia, suamiku. Namanya Damian Adiwiguna. Kami terikat pernikahan terpaksa. Sama-sama saling membutuhkan. Dia membutuhkan rahimku, aku membutuhkan uangnya. Sekarang Damian menyuruhku mengangkat kedua kaki ke dinding setelah berhubungan badan dengan tujuan benihnya yang baru masuk ke rahimku tidak bercecer. Memangnya begitu?
"Kamu jangan ngada-ngada! Mana bisa yang udah masuk keluar lagi?"
"Bisa aja. Buktinya kita udah nikah tiga bulan, kamu belum juga hamil. Jangan-jangan kamu mandul."
"Eh, kalau ngomong jangan sembarangan. Bisa aja kamu yang mandul."
Jangan mentang-mentang dia bos mafia, beraninya membentak dan merendahkanku. Usia kami sebaya, sama-sama 25 tahun hanya beda bulan. Aku lahir bulan Juni, dia lahir bulan Agustus. Tak masalah jika aku bersikap tak sopan sedikit saja.
"Pokoknya aku minta, angkat kedua kakimu ke dinding! Aku gak mau, usahaku menanam benih sehari tiga kali enggak membuahkan hasil."
Dia pikir, masalah punya anak, manusia yang menentukan? Manusia ditugaskan berusaha, masalah hasil, tetap Tuhan yang menentukan.
"Sampai kapan aku begini?" tanyaku rendah. Memandang belakang tubuh lelaki tanpa sehelai pakaian.
"Sampai aku selesai mandi."
Astaghfirullah, tega amat dia? Damian kalau mandi, bisa sampai 15 atau 30 menit. Parah tuh orang.
Kalau bukan karena butuh uangnya, aku tidak mungkin menikah dengan lelaki yang hidupnya bergelut dunia hitam. Damian memang terlihat sangar, tapi di depanku, kadang tidak berkutik apalagi kalau aku sudah bilang, "Aku mau cerai kalau kamu marahin aku terus."
Setelah itu, ia minta maaf, berjanji tidak akan mengulanginya lagi.
Namaku Salsabila Arumi. Tetapi sayang, namaku hanya satu kali terucap dari bibir Damian saat mengucapkan ijab qobul sewaktu kami menikah. Selebihnya, selama tiga bulan menikah, dia lebih senang memanggilku "Eh!" atau "Cewek matre." Sangat tidak romantis.
Pernikahan kami pun tertulis dalam selembar surat kontrak. Di sana tertulis, jika aku sudah memberinya anak, maka pernikahan kami berakhir. Tidak masalah, yang penting utang-utang bapakku lunas. Saat ini, aku sedang bersembunyi dari kejaran debt collector. Damian tidak mau membantu melunasi utang itu kalau rahim ini belum mengandung benihnya.
Hampir 20 menit, Damian masih di dalam toilet. Bisa dibayangkan bagaimana posisi tubuhku. Kedua kaki terangkat, menempel di dinding, tubuh tanpa sehelai pakaian. Lengket di salah satu satu area sensitifku sangat terasa. Biasanya setelah berhubungan, bergegas masuk ke toilet, membersihkannya dan langsung mandi besar. Tapi, saat ini? Ya Allah ... ada-ada saja perintah si Bos Mafia itu.
Pintu toilet terbuka, bergegas turun dari ranjang, mendorong tubuh Damian agar menjauh dari pintu toilet, aku masuk ke dalam toilet dan mengunci pintu. Lalu, membersihkan badan. Sumpah, sangat lengket.
***
Satu Minggu berturut-turut aku melakukan perintah Damian mengangkat kedua kaki usai berhubungan badan.
"Oweek ... oweek ... Damian ... Dam ...."
Aku harus minta tolong padanya, mengambilkan minyak angin yang berada di laci meja rias.
"Kenapa?" Lelaki brewokan itu menyembul di balik pintu toilet.
"Tolong ambilin minyak angin di ... oweek .. owek ...."
Astaghfirullah, kenapa mual sekali? Jangan-jangan aku masuk angin. Semua ini gara-gara Damian. Membiarkanku tanpa sehelai pakaian, berlama-lama di atas ranjang.
"Kamu muntah-muntah?"
Tanpa kusadari, lelaki menyebalkan itu sudah berdiri di samping.
"Bukan. Lagi nyanyi-nyanyi," kataku kesal. "Iyalah muntah-muntah. Masih aja nanya. Mana minyak anginnya?" sentakku kesal.
"Belum diambil."
"Astaghfirullah, ya Allah ...."
"Iya, iya sebentar."
Bukan cuma mual, kepalaku juga pusing, badan lemas. Ya Allah, kenapa aku ini? Apa aku masuk angin atau ... eh, jangan-jangan aku hamil?
Kedua mataku membeliak mengingat ciri-ciri orang hamil. Aku pernah baca kalau wanita hamil perut mual, kepala pusing dan badan lemas.
"Dam! Damian!"
Keluar toilet tanpa menunggu Damian membawakan minyak angin.
"Ini minyak anginnya." Aku mengambil alih minyak angin dari tangannya.
"Kamu sekarang ke apotek atau ke minimarket. Beliin tespeck!"
"Apa itu tespeck? Soptek?"
"Bukan! Tespeck itu alat uji kehamilan," jawabku melotot. Dahi Damian mengkerut. Pasti Bos Mafia yang ditakuti banyak orang kecuali aku itu tidak mengerti.
"Siapa yang hamil?"
"Kucing kamu yang hamil. Makanya mau aku tes, bener gak dia hamil. Sekarang beli gih! Cepetan!"
"Ck, kenapa yang hamil malah si Miau bukannya kamu? Ya udah, aku mau nyuruh si Joni yang beli. Apa tadi namanya? Soptek?"
"Tespeck, Bod0h!"
Damian keluar kamar. Perutku mual lagi, masuk ke dalam toilet, muntah-muntah.
***
"Nih, tespecknya." Damian menyodorkan alat tes kehamilan sekaligus menggendong kucing kesayangannya. Ck, random banget nih bos mafia. Muka garang, hati penyayang binatang.
"Makasih."
Menyibak selimut, turun dari ranjang.
"Eh, kamu mau kemana?"
"Toilet. Mau cek kehamilan."
"Miau gak diajak?"
"Enggak."
Kening Damian mengkerut, pasti kebingungan lagi. Malas menjelaskan, lebih baik masuk ke dalam toilet, mengetes urin. Aku berharap hasilnya positif. Rasanya ingin sekali pernikahan ini berakhir. Pernikahan hanya diisi kehampaan, pertengkaran dan perdebatan tak jelas. Tanpa cinta, tanpa kasih sayang dan tidak romantis.
Hatiku harap-harap cemas menunggu hasil tes. Kedua mata terpejam, memanjatkan doa, semoga hasilnya garis dua, aku positif hamil. Aamin ya Allah.
Kedua mataku membeliak, melihat hasil tes. Alhamdulillah garis dua. Bergegas keluar toilet, menemui Damian.
Astaghfirullah, dia lagi menggosok-gosok pistolnya. Damian mau menembak siapa?
Baru kali ini, aku merasa takut. Kalau lihat Damian memegang pistol, hatiku ketar-ketir. Takut dia khilaf, lalu menembakku.
"Dam, pistol itu bu-buat apa?" tanyaku bergetar.
"Buat nembak orang."
Ya ampun santai amat dia jawabnya. Aku menghela napas panjang, berusaha menetralisir rasa takut dalam hati.
"Dam, lihat nih! A-aku habis tes urin." Kutunjukkan hasil tespeck ke hadapannya sambil menelan liur.
Damian mengambil alih tespeck dari tanganku. Sedangkan aku, mengambil pistol dari tangan Damian, memasukkan ke dalam laci meja rias.
"Ini garis tiga apa garis dua?"
"Mana ada garis tiga? Ini tuh garis dua. Artinya aku hamil."
Sontak, Damian menoleh padaku.
"Kamu hamil? Beneran?" Damian memegang kedua bahuku. Aku menganggukkan kepala seraya tersenyum manis.
"Benerlah. Makanya tadi aku sempat muntah-muntah, kepalaku pusing, badanku lemas, ternyata aku hamil. Selamat, ya? Sebentar lagi kamu punya anak."
Senyum lelaki itu melebar. Ia langsung memeluk, mengangkat tubuhku.
"Eh, jangan diangkat begini. Nanti aku jatuh."
"Aku senang, aku bahagia. Sebentar lagi, harta kekayaan keluargaku enggak akan jatuh di tangan si Ferdi. Aku yang akan menerimanya karena aku berhasil punya anak kandung. Kamu tau kan, papahku pernah bilang, kalau aku belum memberinya cucu, maka aku enggak berhak mendapat warisan. Nah sekarang, aku akan mendapat warisan."
Terlihat sekali kebahagiaan dari raut wajah Damian. Akhirnya cita-cita dia memiliki anak dari rahimku sebentar lagi akan terwujud.
"Eh, jangan lupa, 300 juta. Kamu kan pernah bilang, kalau aku hamil dari benihmu, aku akan mendapat uang 300 juta. Sekarang mana uangnya? Jangan berkelit! Cepat, mana uangnya?"