1. ERLY NATASHA

1579 Kata
Erly Natasha, that's my name. Beberapa kali aku pernah bertanya tentang namaku itu. Apa maksudnya? Apa visi dan misi Umi serta Abi menggunakan nama itu untukku. "Kamu lahir sangat cantik Nak," Umi menjawab. "Kehadiranmu adalah anugerah untuk kami," Abi menambahkan. "Kita tidak dinilai karena rupa semata Dek." Ayuk Aisyah ikut meyakinkan. Begitulah jawaban yang paling sering kudapatkan. Nama ini sebenarnya terlalu bagus untukku. Harusnya ada satu nama lain yang lebih cocok, setidaknya yang lebih sepadan dengan kulit sawo matengku dan hidungku yang minimalis, tapi sudahlah. Percaya saja, segala sesuatu ada sisi baik buruknya, seperti bentuk percomblangan yang akan selalu berhasil dengan namaku. Yah, sampai para lelaki itu harus penasaran, lalu dikecewakan dengan wajahku atau bentuk tubuhku. Aku tidak membenci siapapun atau berkeinginan untuk protes kepada Sang Pencipta atas kehidupanku yang unik ini. Aku bersyukur, sungguh bersyukur. Aku sekarang duduk berdua, dengan nyamannya desau angin Pantai Pasir Padi sambil merenungi segala keistimewaan yang membanjiri hidupku. Aku masih hidup, dan tugasku hanya bertahan. "Kamu Erly Natasha?" Sebuah suara ringan mengusikku, secara normal aku mendongkak. Itu benar namaku dan ini benar diriku. Mataku sejurus menatap sepasang mata hitam. "Ya." Lelaki itu tersenyum. Senyuman aneh yang sepertinya pertanda lega. Lalu dia duduk di sebelahku tanpa permisi. Tapi it’s okay. Di sini sangat ramai. Dia tidak mungkin berani berbuat macam-macam terhadapku. Dan, apa pula yang akan dilakukan lelaki tampan ini, terhadap seorang wanita mungil istimewa sepertiku. Oh, sudahlah! "Kamu sudah menikah?" Dia bertanya padaku, tapi matanya menatap lurus ke arah pantai yang membentang di depan kami. "Belum. Kenapa? Tidak, maksudku, kamu siapa?" Aku patut untuk bertanya kepada lelaki yang baru bertemu denganku ini. Yang juga bertanya tentang statusku dalam dialog percakapan kami yang belum genap dua menit. Dia menatapku dengan mata heran, mungkin juga terkejut. Aku jelas belum pernah bertemu dengannya, karena kalau sudah, aku mungkin akan mengingat dia. "Berita bagus." Aku sempat melongo, kalimat aneh itu dan senyum abstrak itu. “Menikahah denganku.” Cuaca panas, tapi suara petir berhamburan dalam kepalaku. Aku mendengarnya dengan jelas, tapi apa ini mungkin? Mungkin! Mungkin tidak nyata. Aku melirik orang lain, mencari tahu apa mereka melihatku berbicara sendiri. Tapi dari sekian banyak meja dengan pengunjung yang kulihat, tidak ada tatapan curiga apapun atau siapapun yang peduli. Aku menatapnya sekali lagi. Aku memang sering berfantasi semauku, tapi kali ini keterlaluan. Apa aku mulai gila? "Aku nyata, dan memang, aku melamarmu saat ini. Katakan jawabanmu." "Kenapa kamu berpikir aku akan menerimamu? Aku tidak mengenalmu." Aku curiga lelaki ini mungkin orang gila yang kebetulan melarikan diri, tapi tidak ada lebel di kemeja putihnya atau tanda-tanda ketidakwarasan. Ini membingungkan. "Kamu sekolah di SMK Pariwisata. Lulusan 2012, jurusan Perhotelan," katanya tenang, yakin dan pasti dengan senyum manis kepadaku. Ini lebih membingungkan lagi. "Bagaimana kamu tau?" "Aku mantan ketua OSIS yang ikut kegiatan MOS kalian. Kamu tidak ingat?" Aku mengerutkan dahi, mencoba mengingat. Setengah berusaha menyingkirkan kenangan-kenangan unikku saat itu, lalu menemukan sebuah kenangan pahit. Sebuah surat pernyataan apresiasi yang kemudian menjelma jadi legenda di masa putih abu-abuku. Siapa namanya? Aku menguburnya lama sekali, hingga rasanya memilih ingin pingsan daripada mengingat nama itu lagi. "Hans..." Aku lupa. Sebenarnya aku berharap bisa mengubur hidup-hidup semua lelaki bernama itu, termasuk salah satu tokoh Pangeran Hans dalam animasi Frozen yang pernah kutonton. "Abdul Abdillah,” sambutnya riang. "Ya, aku ingat." Benar dan dia tersenyum lega. Rasanya aku ingin mencakar wajahnya supaya dia sadar diri, betapa buruk kenanganku atasnya. "Jadi, apa kamu menerima lamaranku?" "Tidak. Tidak akan." Aku berdiri dan ingin pergi sekarang juga. Masih seperti dulu, aku sangat tidak suka dengan lelaki ini. Meskipun dia lebih tampan daripada yang terakhir. Seingatku begitu, tapi sudahlah. "Kenapa?" Suaranya mencegahku. Kupikir dia mengolokku, tapi raut wajahnya sekarang sama sekali tidak seperti itu. "Kenapa... kenapa kamu berpikir ingin menikah denganku? Apa kekasihmu baru saja meninggalkanmu?” "Tidak. Aku sedang tidak punya kekasih dan aku, ingin menikah denganmu." Lelaki bernama Hans ini menampakakan wajah serius. Dia sudah gila! Pastinya begitu. "Menikah bukan lelucon, KAKAK!" balasku tegas. Panggilan itu, senioritas turun temurun yang terdengar imut menurutku. "Aku sama sekali tidak senang bertemu denganmu. Lain kali, pura-puralah tidak mengenalku!" Aku segera menjauh supaya tidak terbakar emosi. "Aku tidak menganggap pernikahan lelucon, Erly." Wah, suaranya ketika menyebut namaku terdengar fantastis. "Aku memang pengecut selama ini. Dan sekarang aku akan memberanikan diri." Hans berdiri tegak dan aku masih diam, sedikit menikmati pengakuan bodoh yang tidak ada hubungannya denganku. "Kalau kamu ingin bukti, aku akan mengantarmu sekarang. Aku akan langsung melamarmu kepada Abi-mu." Bagaimana dia tau aku memanggil Abi? Bukan ayah, bapak atau bak. "Bercanda sejauh itu untuk membuatku terkesan? Maaf, Kak. Aku sekarang 22 tahun, tidak akan terkecoh!" Aku berjalan menjauh, mengabaikannya. Tidak ada baiknya juga berdebat dengan lelaki ini. Tapi dia lebih cepat memblokir jalanku. "Sekarang September. Januari 2017 usia 23 tahunmu. Biarkan aku untuk membuktikan kesungguhanku kepadamu," katanya memohon. Aku hanya menggidikkan bahu tanpa dosa, mengatakan 'terserah' dengan gerakan tubuhku. Meskipun aku sedikit terkesan dengan usiaku yang diketahuinya. Aku melihatnya lewat spion. Ternyata dia menggunakan mobil keluaran terbaru. Apa pekerjaannya? Bisa membeli mobil mewah seperti itu? Oh, mungkin hanya rental. Sesaat aku berpikir dia mungkin akan berbelok ke arah lain, tapi ternyata tidak. Dia benar mengikutiku? Apa dia serius? Mana mungkin! Tapi aku tetap menarik gas lebih kuat, melarikan diri dengan metik hijau kesayanganku. Bukannya aku berharap dia serius, aku hanya benar-benar tidak ingin menikah dengannya dan kurasa dia sulit mengejarku saat ini. Yang lebih pasti adalah, dia tidak mungkin tau rumah tempatku tinggal. Memikirkan itu saja membuatku tersenyum menang. Aku berharap tidak bertemu lagi dengannya. Selamanya. *** Aku anak ke dua dalam keluarga ini, keluarga kecil kami yang berbahagia. Kami sudah selesai makan malam, Ayuk Aisyah, kakakku satu-satunya bahkan sudah kembali ke kamarnya. Dia memiliki kehidupan yang jauh sangat normal dibanding diriku. Wajahnya cantik, hidung mancung, dia juga punya tinggi normal dan yang terpenting, dia ayuk yang baik. Aku kembali ke kamar setelah mencuci piring, lalu sholat isya. "Umi memintamu untuk menghidangkan teh," ucap Ayuk saat menerobos masuk kamarku yang memang tidak dikunci. "Biasanya Ayuk yang melakukan itu." Aku bukan ingin menolak atau merasa cemburu, hanya sedikit penasaran. Siapa yang datang? Anak laki-laki seperti apa yang dimiliki Si tamu ini, hingga Umi meminta aku yang menghidangkan minuman. Aku tentu saja hafal siasat Umi dan Abi tentang status gadis ke dua putri mereka. Mungkin sebenarnya lebih tepat dikatakan kekhawatiran daripada siasat. "Kali ini tamunya sangat spesial, harus kamu yang melakukannya." Senyuman ayuk mengisyaratkan sesuatu yang sangat baik, tapi tetap saja aku bingung. Aku menuruti saja harapan mereka, segera menuju dapur. Lagi pula ini tidak akan menyulitkanku. Aku terkadang juga menghidangkan kopi untuk Abi. "Abi berharap kamu bisa memberikan kehidupan yang baik bagi putri kami." Aku mendengar sayup suara Abi. Terkaanku benar, ayuk akan menikah. Senyumanku tidak bisa dibendung lagi. Yuk Aisyah saudariku satu-satunya, aku bisa menjamin lelaki yang mendapatkannya akan sangat beruntung. "Adek anak yang tidak banyak tingkah. Dia pasti akan jadi istri yang sholiha, aamiin." TUNGGU! Adek?! Jadi ini tentang AKU?! Siapa yang akan... tiba-tiba aku ingat kejadian sore tadi dan seketika merinding. Tidak mungkin! Aku hampir melewati skat penghalang antara ruang tengah dan ruang tamu. Perasaanku? Jangan ditanya betapa gugupnya aku. Demi apapun! Semoga bukan lelaki itu. "Adek datang, Umi." Ayuk berbisik gembira. Umi di sisinya, lalu Abi yang berhadapan dengan seseorang. Aku menyipitkan mata untuk mengenali wajahnya. Senyumnya sungguh membuat tanganku gemetar dan terjadi begitu saja. Semua yang kupengang meluncur, menyisakan tumpahan hitam dan cangkir yang terberai di lantai putih. "Adek!" Ayuk langsung berlari ke arahku. Senyumnya musnah berganti raut cemas. Mereka menatapku, mungkin khawatir, termasuk Hans Abdul Abdillah! Sesaat aku melihatnya. Sedetik itu aku berpikir dia akan menghampiriku, tepat sebelum dicegah Abi. "Kenapa, kenapa kau di sini? Bagaimana kau tau aku di sini?" Aku sengaja menggunakan 'kau' sambil menatap sosok Hans yang terlihat rapi, seolah dia sedang interview melamar pekerjaan. "Adek!" Abi menyentakku dengan suaranya, membuatku langsung tertunduk diam. Memang, aku mengakui tidak sopan berbicara seperti itu kepada tamu, terlebih lagi kepada seorang yang datang untuk melamarku. TAPI ini lelaki itu, Hans Abdul Abdillah! Kalau kalian ingin tau siapa dia bagiku, biar kuteruskan kisah ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN