23: Pergi

1184 Kata
Setelah meninjau lokasi terakhir dari hotel yang akan dijadikan sebagai resepsi pernikahan Mia dan Richard, juga setelah memastikan souvenir sudah siap seratus persen, Yura pulang ke kost-annya. Pernikahan Richard dan Mia tinggal empat hari lagi dan semenjak tiga hari ini dua orang insan itu tak kelihatan sama sekali. Biasanya memang ada beberapa pengantin yang memilih mengistirahatkan dirinya dengan memanjakan diri pada spa-spa salon atau jika tidak masih mematuhi adat istiadat bahwa sebelum benar-benar menikah, tak boleh bertemu antara keduanya. Yura tak merasa aneh sama sekali jika baik Richard atau Mia tak ada yang menghubunginya. Yang penting semua kerja kerasnya bersama tim telah luar biasa. Catering, dekorasi hotel, undangan pernikahan yang akan dibagikan dua hari menjelang pernikahan, souvenir, jumlah tamu undangan dan yang tak kalah penting adalah kesehatan fisik perias yang setiap hari selalu Yura cek lewat telepon. Besok ia masih harus bertempur dengan para pendekor untuk pernikahan mewah antara seorang Chief Execytive Owner dengan seorang model yang lumayan terkenal. Siapa lagi jika bukan Richard dan Mia. Semua keinginan Mia soal konsep dekorasi harus terwujud. Dan Yura akan mewujudkannya. Yura melirik jam di dinding dan di sana sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Ia sangat lelah dan ingin semua ini selesai secepat mungkin. Karena seluruh badannya lengket, Yura memutuskan untuk masak air dan ketika mendidih ia lalu menuangkannya ke bak mandi plastik yang ada di kamar mandi. Yura mencampur air panas itu dengan air dingin dan segera mengguyur tubuhnya. Rasa segar menjalar ke seluruh tubuhnya. Bayangan Mia dan Richard yang duduk di pelaminan membuatnya geli dan merasa aneh sekaligus. Yura menepis bayangan kedua insan itu dan segera mengguyur tubuhnya kembali untuk mendapatkan kesegaran lalu menyudahi acara mandinya. Yura mengeringkan rambutnya dengan hair dryer sembari sesekali menguap tak jelas di depan cermin. Karena sudah tak tahan lagi dengan rasa kantuk yang telah menderanya, Yura memutuskan untuk tidur segera mungkin. Tak butuh waktu lama baginya terlelap begitu saja. Yura masih sangat ngantuk sekali ketika pintu kamar kostnya diketuk berulang kali dan namanya dipanggil-panggil dari luar. Berulang kali juga ponselnya berdering dan ia berusaha mengabaikannya. Berbekal mata sipit karena masih ngantuk dan sangat lelah, ia melihat ke arah jam yang ada di dinding. Di sana masih menunjukkan pukul lima dini hari. Yura masih punya waktu dua jam untuk tidur sebelum pergi ke hotel lokasi pernikahan. Suara ketukan pintu kamarnya menghilang sejenak dan ia tersenyum lalu kembali memejamkan matanya dengan sempurna. Tak berselang lama suara ketukan pintunya kembali terdengar disertai dengan suara dering ponselnya yang benar-benar tak mau berhenti. Kesal dengan dua pengganggu yang membuat tidurnya berantakan, Yura bangkit dari posisinya dan meraih ponselnya lalu membaca nama yang tertera di sana. Yura menarik napas dalam-dalam dan mengumpat kecil kala membaca nama Richard di layar ponselnya. Tak dipedulikannya panggilan itu dan dilemparkannya kembali ponselnya di atas kasur, Yura berjalan ke arah pintu kamarnya dan membukanya. Ia langsung melihat tetangga kamarnya tersenyum garing ke arahnya. "Apaan sih San? Gue ngantuk banget loh!" kata Yura sembari menyandarkan kepalanya ke dinding tembok. Santi hanya meringis. "Sorry gue ganggu tidur lo." "Yura, lama sekali buka pintunya!" kata seseorang yang membuat Yura menoleh dan mendapati ibu kostnya berdiri di sebelah Santi. Dahi Yura berkerut heran, kenapa sepagi ini Ibu kost datang ke kostnya? "Ibu, bukannya Yura udah bayar kost buat tiga bulan ke depan, ya? Kenapa mau ditagih pagi-pagi kayak gini? Nanti Yura kasih lagi buat tiga bulan selanjutnya lagi." "Mata kamu buka dulu, Yura. Nieh calon suami kamu datang!" kata Ibu kostnya. Mendengar kata calon suami, mata Yura langsung terbuka. Ia yang semula mengira Dimas melakukan kebohongan lagi dan siap-siap marah tapi tak jadi karena ia melihat Richard berdiri di samping Santi dengan menatapnya serius. Kenapa ia ngenalin diri sebagai calon laki sih? Santi dan Bu Kost lalu meninggalkan Yura yang masih berdiri di ambang pintu dengan Richard di hadapannya yang detik berikutnya mendorong tubuh Yura masuk ke dalam kamar kostnya berikut dirinya. Richard akan menutup pintu kamar Yura tapi Yura mencegahnya dengan membukanya. "Gue mau ngomong sama lo, penting!" "Buka aja kamarnya karena kalo nggak ntar temen-temen kost gue bilang kita m***m!" kata Yura yang kesadarannya sudah puling dengan sempurna. "Gue mau bicara penting sama lo dan gue gak mau ada yang nguping." "Justru kalau ditutup pintunya, temen-temen kost gue bakalan nguping. Gak enak juga sama bu Kost, ini kost putri soalnya." kata Yura bersikukuh membuka pintu kamarnya. "Satu lagi kita bisa bicara di pojokan kamar dengan suara pelan biar gak ada yang denger." kata Yura yang langsung ditanggapi anggukan cepat dan tatapan terserah oleh Richard. Richard kemudian berlalu masuk ke dalam kamar Yura dan duduk di atas kasur sederhana milik Yura. Ia melihat ke sekeliling kamar Yura yang hanya berukuran tiga kali tiga dengan dekorasi estetik yang cukup nyaman. Ia tak penah membayangkan seorang Yura akan tidur di kamar sekecil itu berbeda jauh dengan Mia yang masih memiliki setidaknya apartemen di tengah kota. "Mau ngomong apaan?" tanya Yura sesampainya ia di dekat Richard. Richard memandangnya sejenak dan ia kembali melihat kamar Yura yang kecil. Yura pun mengikuti arah pandangan Richard dengan menelisik kamarnya. "Gue yang dekor sendiri kamar gue biar meski kecil kelihatan nyaman. Kalo lo gak nyaman di sini, kita keluar yuk, tapi gue mandi dan ganti baju dulu, ya." kata Yura pada Richard. "Kita keluar bareng-bareng." kata Richard. "Tapi sebelum itu semua, gue mau ngomong sama lo." kata Richard lagi dengan serius. Ketika Richard ingin memulai ucapannya, ponsel Yura berdering. "Bentar." kata Yura seraya menuju ponselnya dan mengambilnya dari atas kasur lalu melihat siapa yang sedang meneleponnya. "Ibu gue, gue angkat dulu, ya." kata Yura seraya berjalan menjauh dari Richard. "Halo, Nak." "Iya, Ma? Ada apa?" "Kamu bisa pulang hari ini? Mama butuh bantuan kamu." "Memang ada apa, Ma?" "Kalau sudah sampai di rumah, Mama ceritakan." "Gak bisa ngomong by phone saja?" "Mama tunggu kamu ya, nak, segera ke sini, ya." "Tapi, Ma... " "Mama tunggu." potong Mama Yura cepat-cepat seraya mematikan ponselnya. Yura merasa aneh tapi ia mengacuhkannya dan berjalan mendekati Richard. "Tadi lo mau ngomong apa?" tanya Yura santai seraya menguap sesekali. Richard menatapnya lesu. "Mia ... Dia ninggalin gue, Yur." kata Richard lesu. "Ninggalin? Maksud lo apaan?" "Dia pergi dan gue dua hari ini udah nyari dia kemana-mana tapi gak ketemu. Dia pergi mutusin gue dan hanya ninggalin gue surat." kata Richard. Yura yang terbengong sejenak kemudian tertawa terbahak-bahak. "Lo lucu, Chad! Masak jaman canggih gini masih pake surat-suratan? Aneh. Ha ha ha. Gue gak perlu makan dua hari, kenyang gue sama lelucon lo! Udah selesai ngepranknya, kan? Gue udah kenyang ketawa nieh!" ujar Yura seraya menatap ke arah Richard dengan masih tertawa renyah tapi Richard malah balas menatapnya datar dan lesu. Detik berikutnya Richard mengeluarkan sesuatu dari dalam jas kebesarannya. Sebuah amplop dan ia menyodorkannya ke Yura yang seketika itu tawanya langsung sirna. "Ini angpao, kan?" tanya Yura sembari menepis bahwa itu adalah surat dari Mia. "Itu surat dari Mia." jawab Richard tak berdaya. Yura diam. Ia merasa kacau sekarang ini. Bayangan pernikahan spektakuler yang didapatkannya bersama tim tiba-tiba harus batal karena pengantin perempuannya menghilang? Yura tak bisa membayangkan bagaimana kecewanya semua teman timnya nanti dan perasaan Richard juga. Tapi, benarkah? Benarkah surat itu dari Mia? Benarkah?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN