"Hah?" kata Yura dengan wajah sok polosnya yang memandang wajah Richard dengan terbengong-bengong dan tatapan tak percayanya. Ia kembali memastikan tas yang dimaksud oleh Richard dengan melihatnya kembali dan ia mengumpat dalam-dalam rasa malu luar biasa yang ia rasakan kini.
Ia mengangkat wajahnya dan memandang Richard yang memandangnya datar, sedangkan ia nyengir salah tingkah.
"Yura!" Yura menoleh ke arah asal suara dan melihat Mia beserta yang lainnya berlari menuju ke arahnya. Yura menelan ludah. Sampai di depan Yura, Mia langsung melihat ke tas yang di bawa Mia.
"Gue mau pulang duluan, eh calon suami lo ngejar gue dan bilang kalau tas yang gue bawa tas lo dan bukannya tas gue." kata Yura yang langsung disambut senyuman.
oleh Mia dan Neli juga Ilham dan Satria. Yura menyerahkan tas Mia kepadanya dengan rasa malu-malu.
"Ayo, masuk lagi ke dalam Yur, makannya, kan, belum selesai." ajak Mia kepada Yura. Tapi kali ini Yura dengan sangat tegas menyingkirkan tangan Mia dari lengan kirinya dan menatapnya dengan tatapan sungkan.
"Aku benar-benar harus pulang, ada beberapa desain yang harus aku kerjakan." kata Yura kepada Mia. Yura kemudian melihat ke arah teman-temannya satu persatu, kemudian ia melihat Richard dan masih merasa sangat malu dengan apa yang baru saja terjadi di antara mereka berdua.
Yura kemudian berjalan kembali ke dalam restaurant dan memasukinya lalu menuju ke meja makan tempat ia dan teman-temannya berada. Ia meraih tasnya dan berbalik lalu tersenyum ke arah Mia dan para rekannya. "Aku sungguh-sungguh harus pergi, jangan memandangku dengan tampang seperti itu. Besok bukannya kita rapat terakhir?" tanya Yura seraya memeluk Mia yang menatapnya dengan wajah yang cemberut. Yura kemudian melepaskannya dan berpamitan kepada yang lainnya lalu berjalan pergi tanpa menoleh sedikit pun ke belakang, tanpa ia sadarai Richard menatapnya dari tempatnya berdiri hingga ia hilang dari pintu restaurant.
Yura menuju mobilnya yang terparkir di depan restaurant dan segera mengendarainya untuk menjauh dari restaurant tersebut. Ia menoleh sejenak ke dalam restaurat dan melihat para rekannya, Mia dan Richard kembali duduk untuk melanjutkan makan mereka. Yura juga melihat petugas kebersihan restaurant berjalan keluar menuju pohon yang disambar petir tanpa ada tanda-tanda akan turun hujan.
Lima belas menit kemudian Yura tiba di rumahnya. Ia menatap ke arah garasi rumah dan garasi itu kosong. Yura menghela napas lega. Tapi ketika ia turun dari dalam mobil dan menatap ke arah teras rumah, ia melihat sepasang sandal tergeletak di sana dan ia menyesal karena memutuskan untuk pulang ke rumah, jika tahu begitu ia akan pulang ke kostnya saja. Tapi ia sudah memarkir mobilnya dan ia tak bisa tiba-tiba pergi begitu saja sekarang. Lagi pula ia rindu Mamanya. Sudah tiga minggu ia tak pernah pulang ke rumah, padahal jarak kost dari rumahnya sangat dekat. Jarak rumah dari tempat kerjanya juga tak jauh. Tapi jika ketenangan tak bisa Yura dapatkan dari dalam rumah, bukankah keluar dari rumah adalah solusinya?
Yura melangkahkan kakinya dengan sangat enggan menuju teras rumah dan langsung masuk ke dalam rumah setelah membuka pintu tanpa dikunci. Yura berdiri terpaku di ambang pintu setelah melihat ke dalam rumahnya yang nampak lenggang. Kosong tak ada barang apapun di ruang tamunya yang luas. Seperti orang-orang baru saja mengemasi barang-barangnya untuk pindah.
Hanya jam dinding yang tersisa di sana. Sofa set cantik yang Yura beli dua bulan lalu tak ada. Rak-rak dan pot bunga sebagai pemanis ornamen ruang tamunya juga tak ada. Yura menarik napas kesal. Ia kembali masuk ke dalam rumahnya dan benar, karpet tebal yang biasanya digelar di belakang sofa untuk menikmati nonton televisi juga tak ada. Televisi LED yang ia beli bebarengan dengan sofa set juga tak ada. Beberapa hiasan dinding yang ia beli secara onlinepun juga tak ada. Dinding, ruang tamu dan ruang keluarga itu bersih sekali dari barang-barang yang ia beli secara berkala.
Kemudian ia mendengar pintu kamar terbuka dan ia pun menoleh ke arah suara pintu kamar tersebut. Di sana ia melihat lelaki paruh baya menatapnya dengan tatapan senang dan senyum yang mengerikan.
"Pulang, kau, Yura?" tanya lelaki paruh baya itu. Yura tak menghiraukan pertanyaannya tapi ia malah mengedarkan pandangannya ke sekeliling dan ke arah dapur yang untungnya perlengkapan dapur itu masih ada.
Lelaki paruh baya itu paham kalau tatapan sang putri itu seolah menanyakan ke mana perginya perabotan rumahnya.
"Papa pinjam sebentar. Kalau Papa sudah punya uang, Papa akan belikan barang-barang lebih bagus, Yura." kata lelaki paruh baya itu dengan rasa sungkan. Entah sudah berapa kali ia telah mengosongkan isi rumahnya untuk ia tukar dengan uang dan ia habiskan di meja judi. Lelaki paruh baya itu berjalan mendekati putrinya. "Kau pasti punya uang, kan? Sini kasih bagi Papamu inilah." katanya seraya mengulurkan tangannya.
"Yura gak punya uang. Ini tanggal berapa? Yura belum gajian." kata Yura tegas. Ia kemudian berlalu dari Papanya dan berjalan ke arah kamar di mana Papanya tadi keluar. Dari luar kamarnya ia melihat seorang perempyan paruh baya tengah duduk di tepi ranjang sembari memiringkan wajahnya sedikit ke arah tembok. Menangis. Yura kemudian menatap tajam ke arah Papanya sekali lagi dan berjalan kemudian meninggalkan rumahnya sebelum kekesalannya semakin memuncak karena kesalahan sang Papa.
Sang Papa mengejarnya dan meneriaki namanya berulang-ulang kali, tapi Yura tak menanggapinya dan tetap melanjutkan langkahnya untuk terus menuju mobilnya. Ketika ia sudah membuka pintu dan masuk ke dalam mobilnya lalu hendak menutup pintu mobilnya, sang Papa menahannya dengan sekuat tenaga, membuat Yura menatap dengan sangat kesal.
"Tolonglah, Yura, kasih sedikit uang ke Papamu ini." kata lelaki itu yang nampak sangat berantakan sekali dan bau alkohol.
"Sudah Yura bilang kalau Yura belum gajian."
"Tapi sisa gajimu pasti masih ada, kan?"
"Itu untuk biaya hidup Yura, Pa!"
"Bagi sedikit dengan Papa!"
"Mana cukup?!" teriak Yura kesal. Yura menarik napas dalam-dalam kemudian seraya menatap sang Papa yang perutnya baru saja berbunyi itu. Yura merasa prihatin. Ia lalu meraih tasnya dan memberikan selembar uang seratus ribu kepada Ayahnya.
"Uang ini mana cukup, Yura!" protes sang Papa kesal dengan melempar uang itu ke Yura. Yura terhenyak kaget. Ia menatap tajam ke arah Papanya.
"Yura kasih buat makan bukan buat judi!" seru Yura tajam. "Dan Yura tak akan beli perabotan rumah lagi! Percuma!" keluhnya kecewa. Lalu ketika Papanya lengah, Yura menutup pintu mobilnya cepat-cepat dan menyalakan mesinnya. Saat mundur dari garasi rumahnya dan hendak memutar kemudinya, matanya tanpa sengaja menatap sang Mama yang masih berada di dalam kamarnya tapi Yura bisa melihat wajah sang Mama yang kini membuatnya kaget bukan main. Wajah sang Mama yang memiliki beberapa lebam.
Darah Yura seketika mendidih, ia pun mematikan mesin mobilnya dan gegas turun keluar dari mobilnya.