Beberapa pekan sudah terlalui dengan aku sebagai penghuni rumah ini, rumah Pak Raharja dan ibu Rita mertuaku, aku selalu bisa menjadi istri dan menantu yang baik di sini. Orang tua Mas Ridho juga sangat bersikap baik padaku mereka tidak menganggap aku sebagai menantu tetapi putri kandung mereka sendiri.
Setiap hari semua penghuni rumah ini selalu sibuk dengan kegiatan masing-masing, Bapak mertuaku selalu menghabiskan hari-harinya di balai desa, Ibu mertuaku menghabiskan sepanjang harinya di toko pakaian miliknya di pasar, terkadang aku turut serta membantunya tapi aku lebih senang berada di rumah mencuri waktu untuk berduaan dengan Arman, sementara Risti pergi bersekolah dia sudah kelas tiga Sekolah Menengah Kejuruan sekarang wajar bila sering pulang sore hari, banyak tugas menjadi alasan, tapi apapun alasannya aku tidak peduli selama itu bagus untuk kami agar dia tidak mengganggu waktuku dengan Arman.
Suamiku bekerja di sebuah perusahaan besar yang bergerak di bidang ekspedisi kadang baru pulang menjelang malam, sedangkan Arman adalah pengusaha muda, dia mulai merintis bengkelnya sejak lulus Sekolah Menengah Atas hingga kini sudah berkembang pesat dan memiliki banyak cabang di kota ini.
Itulah kenapa dia tidak terikat jam kerja.
'bos mah bebas' begitu jawabnya setiap kutanya kenapa lebih sering l berangkat siang ke bengkelnya, sejak aku jadi menantu di rumah ini dia jadi lebih betah di rumah agar dia bebas memeluk dan menciumku saat kami hanya berdua, dan aku lebih bahagia berada di pelukannya daripada dalam pelukan suamiku sendiri.
* Dita Andriyani *
Aku dan ibu Rita telah selesai menyiapkan makan malam, ada hal yang menjadi perhatianku selama tinggal di sini, ibu Rita selalu memasak makanan kesukaan Pak Raharja, Mas Ridho ataupun Risti bahkan kadang menanyakan apa makanan kesukaanku dan memasakkannya tapi tidak pernah memasakkan makanan kesukaan Arman, atau itu hanya perasaanku saja karena aku yang terlalu perhatian pada Arman.
Tidak seperti biasa malam ini personilnya lengkap, kami sekeluarga berkumpul di meja makan, hanya saja semua sibuk dengan makanan dan fikiran masing-masing hingga Pak raharja angkat bicara.
"Man, Bapak rasa secara financial kamu sudah cukup mapan, usia kamu juga sudah lebih dari 26 tahun, kapan kamu menikah?" tanya Pak Raharja di sela suapannya.
Seketika pandangan kami semua tertuju pada Arman yang tampak bingung hingga batal memasukkan makanan ke mulutnya.
Sementara yang di tanya hanya tersenyum dan berkata, "Arman belum siap, Pak."
Hhuuhh... Lega rasanya hati ini mendengar jawabannya.
"Tapi Bapak nggak pernah denger kamu punya pacar, apa lagi membawanya ke rumah ini."
Arman hanya tersenyum sambil melirikku.
"Apa kamu mau Bapak carikan calon istri, anak temen Bapak cantik-cantik lho," imbuh Pak Raharja seraya mengulum senyum.
"Uuhhukk ... uuuhhuukk." Aku tersedak sambel teri saat mendengar kata-kata Bapak mertuaku, rasa pedasnya terasa dari tenggorokan hingga hidungku tetapi rasa pedas dalam hati lebih mendominasi.
"Dek kamu nggak apa apa?" tanya Mas Ridho khawatir sambil memberiku segelas air putih, segera kuhabiskan air putih itu, berharap bisa menyejukkan hatiku yang terasa memanas.
"Kalo makan hati-hati, Nduk, jangan buru-buru, jadinya keselek gitu 'kan," ucap Ibu Rita yang sedari tadi hanya diam saja, nampak tak acuh pada pembicaraan tentang Arman.
"Iya Bu, aku nggak apa-apa. Aku ke dapur dulu mau beresin bekas masak tadi," pamitku sambil mengambil piring bekas makan kami, dibantu Risti yang sedari tadi duduk di sampingku.
"Mbak, aku yang nyuci piring, ya," ucap Risti menawarkan bantuan.
"Nggak usah biar Mbak aja, sana kamu belajar aja biar pinter," jawabku sambil mencubit gemas pipi tembemnya.
"Beneran Mbak? Mbak tuh emang paling baik deh! makasih ya mbak," jawabnya lalu berlalu riang meninggalkanku dengan tumpukan piring kotor yang siap jadi pelampiasan kekesalanku pada Bapak mertua, apa-apaan seenaknya saja mau menjodohkan Arman sama perempuan lain.
.
"Eehheemm ...." Arman tiba-tiba sudah berada di sampingku berpura-pura mencuci tangan agar tidak ada yang curiga pada kami.
"Apa! bahagia banget ya yang mau dijodohin ama cewek cantik," sungutku. Kesal hingga tanpa sadar bibirku mengerucut.
"Cciiee ... cciiee ... ada yang cemburu, keliatan makin cantik deh. Kamu pikir aku nggak cemburu tiap liat kamu mesra-mesraan sama Mas Ridho." Arman malah menggodaku.
"Tolong bikinin kopi dong, Mbak." pintanya hanya sebagai alasan agar bisa lebih lama di dapur.
"Mbak, Mbak, emang aku Mbakmu," jawabku masih kesal, sambil membuat tiga cangkir kopi.
"Iya deh sayangku, cintaku, i love you. Jangan cemberut lagi, aku nggak akan menikah dengan siapa pun, aku ini hanya milik kamu." bisiknya di telingaku berlanjut mengecup bibirku aku menahannya dengan memegang tengkuknya memagut bibirnya dengan halus, namun ia balas pagutanku dengan ciuman yang memburu, ia hisap bibirku dengan kuat lalu memeluk erat tubuhku hingga buah dadaku menempel pada d**a bidangnya seraya lidahnya yang menjelajah di langit-langit mulutku. Tentu saja dengan jantung yang berdebar lebih kuat karena takut ada yang melihat kegiatan kami. Tak begitu lama ia melepaskan ciuman kami, lalu meninggalkanku pergi ke ruang tamu.
"Eh tunggu dulu, ini kopinya bawa," Dia berbalik hendak mengambil nampan berisi cangkir kopi di atasnya saat aku mendekatkan bibir di telinganya untuk berbisik,
"I love you" lalu kudaratkan bibirku di pipinya.
*******
"Mas, boleh aku menanyakan sesuatu, tentang keluarga Mas?" tanyaku pada Mas Ridho.
"Ya boleh dong, 'kan keluargaku keluarga kamu juga," jawab Mas Ridho seraya menatap lembut padaku.
"Maaf Mas, tapi selama ini aku perhatikan keluarga kamu selalu hangat satu sama lain kecuali pada Arman, terutama Ibu yang selalu acuh dan nggak pernah perhatian, tidak sama perlakuannya seperti kepadamu dan Risti," selidikku, karena memang hal itu nampak sekali selama aku tinggal di sini.
"Ah nggak kok itu cuma perasaanmu saja, ya memang Arman itu dari kecil anaknya mandiri, beda sama Mas yang manja makanya perlakuan Ibu juga beda, udah ah udah malem kita bobo aja ya," ujar mas Ridho sembari menarikku ke dalam dekapannya, tapi aku merasa ada yang dia tutupi.
Sekilas kulirik pria berusia 32 tahun yang kini memelukku sudah terpejam menikmati mimpinya, tapi mataku masih enggan terpejam juga, aku malah teringat saat aku menanyakan hal yang sama pada Arman beberapa hari yang lalu.
Sama saja tidak kudapatkan jawaban yang sesungguhnya.
"Hanya ada satu alasan bagi keluarga ini kenapa aku ada di kehidupan mereka, dan hanya ada satu alasan kenapa aku ada di keluarga ini," hanya itu yang terucap dari mulutnya, lalu kembali membenamkan kepalanya dalam pelukanku seraya tertumpahnya bulir-bulir bening dari matanya, hatiku ikut teriris melihat Armanku terluka.
Malam semakin larut seiring bulatnya tekadku untuk menemui Ibu, Ibu bilang almarhum Ayah adalah teman baik Pak Raharja, Ibu pasti tau hal yang sebenarnya.