POV Satria
"Ayah susul ibumu dulu," kataku, sengaja membahasakan 'ibumu' untuknya agar dia tidak memanggil Nina sayang. Nina pasti kesal jika tahu, tapi mau bagaimana lagi. Kenyataannya memang sekarang dia adalah ibu Zaki.
"Ayah, aku mau keluar sebentar. Mau ke rumah ibu, Yah. Besok ke rumah nenek."
"Zaki," kataku, saat teringat beberapa hari lalu bertemu Nuri di pasar, ia bertanya tentang keberadaan Zaki.
"Ya, Yah, ada apa?" tanya Zaki heran karena aku hanya diam saja.
"Emp, begini." Aku ragu mengatakan mengingat Zaki sangat tak menyukai Nuri.
Walau sudah berkali-kali dijelaskan bahwa Nuri tak pernah membuangnya saat dia kecil dulu, Zaki tetap membenci perempuan yang telah melahirkannya itu. Kenyataannya, Nuri memang tak pernah membuang Zaki. Setelah melahirkan, Nuri dibohongi. Keluarganya mengatakan pada Nuri bahwa Zaki yang adalah anak di luar nikah meninggal, maka untuk melupakan masa lalunya dengan sang pacar, Nuri keluar kota. Nuri baru tahu jika Zaki tidak meninggal belum lama ini, begitu pun Zaki ia juga baru tahu bahwa ternyata ibunya bukan Wulandari melainkan Nuri. Wulandari adalah mantan istriku. Aku yang saat itu tergila-gila dengan Nuri yang hanya menganggapku sahabat, memutuskan mengadopsi Zaki yang dibuang ke panti asuhan oleh keluarganya. Dengan mengasuh Zaki, aku berharap Nuri mau mempertimbangkan menjadi istriku saat dia kembali lagi.
Ibu tentu saja menentang keras keputusanku mengurus Zaki. Ibu Akhinya memberi sarat aku boleh mengadopsi Zaki asal aku mau menikah dengan Wulandari anak temannya. Aku yang tak punya pilihan menyetujui. Wulandari sangat menyayangi Zaki, tapi sikapnya pada Zaki tak membuatku lantas menyayanginya. Sikapku yang terus menerus dingin, membuat Wulandari memilih pergi dari kehidupanku. Walau begitu, ia terus berkomunikasi dengan Zaki yang terus menyangka bahwa Wulandari adalah ibu kandungnya. Bahkan setelah diberitahu kebenarannya, tetap saja yang Zaki anggap ibunya adalah Wulandari bukannya Nuri.
"Apa, Yah?" Zaki terlihat tak sabar.
"Hmp, jadi kemarin, ayah bertemu ibumu. Kamu mainlah ke sana agar ibumu senang."
Zaki menatapku seolah ingin memastikan siapa ibu yang kumaksud. Wulandari atau Nuri.
"Ibu kandungmu," kataku. "Kasihan dia sangat ingin bertemu lagi denganmu, Ki."
Zaki tertawa kecil. "Jika aku harus pergi menemui seseorang, maka aku ke rumah perempuan yang merawatku dari kecil yaitu ibu."
Itu artinya Wulandari yang dimaksudnya. Aku menghela napas. Jelas sulit membujuk Zaki agar mau menerima Nuri.
"Baiklah, Yah, aku ke rumah ibu dulu keburu magrib." Zaki mengusap gemas kepala si kembar dengan kedua tangannya lantas berdiri.
"Mungkin aku pulang malaman, Yah."
"Iya, hati-hati di jalan, jangan ngebut," kataku sambil merogoh saku celana mengeluarkan kunci. Zaki menerimanya. Begitu ia melangkah keluar, aku segera mengajak si kembar ke kamar di mana Nina sedang meringkuk di ranjang. Pasti ngambek dia. Kuletakkan Hanif dan Hanifa di samping kiri Nina lalu aku duduk di samping kanan istriku, mengusap lembut rambutnya.
"Jangan pegang-pegang!" Dia menepis tanganku.
"Sayang, malu diliat si kembar."
Dia beranjak duduk, dengan bibir mengerucut mendelik padaku. "Biarin! Habisnya Mas ngeselin! Katanya mau bilang sama Zaki agar gak panggil aku ibu lagi! Tapi apa?!" Nina menatapku sebal.
Aku mengusap lembut rambutnya tapi kembali dia tepis.
"Jangan pegang-pegang! Aku kesel sama Mas!" Teriaknya.
Aku menarik napas, harus ekstra sabar menghadapinya. Nina, apa saja harus dijelaskan dengan pelan-pelan.
"Kenyataannya, kamu kan ibu Zaki sekarang, Sayang. Jika adik tidak menikah dengan Mas, pasti Zaki tidak panggil adik ibu. Tapi karena adik menikah dengan mas ...."
"Nyebelin!" Dia kembali merebah. Hanif dan Hanifa mendekat padanya, Nina langsung memeluk Hanifa. Hanif yang tidak dipeluk jadi menangis.
"Sini, Hanif sama ayah, ya?" kataku sambil menggendong Hanif.
"Nyebelin!" ucap Nina saat bersitatap denganku.
"Iya, Mas menyebalkan." Aku menyahut. Nina beranjak duduk, lalu mengeluarkan p4yud4ranya. Saat Hanifa hendak menghisap air kehidupan itu, tanganku langsung menghalanginya membuat Hanifa langsung menangis. Nina menatapku jengkel.
"Ada apa sih, Maaas? Nyebelin, deh."
Hanif merangkak ke arah Nina, dan aku kembali menghalangi dengan telapak tangan agar si kembar tidak minum ASI.
"Sayang, Al bilang sebaiknya adik tidak memberi ASI si kembar lagi. Jadi mulai saat ini full s**u formula."
ASI Nina cukup melimpah, tapi tidak mencukupi untuk Hanif dan Hanifa jadi terpaksa disambung s**u formula.
"Emangnya kenapa sih kok gak boleh? Kan kasian mereka." Nina menatap si kembar bergantian. Dua-duanya langsung menangis saat aku memasukkan sumber air kehidupan ke tempatnya. Nina mendelik saat aku mengancingkan bajunya.
"Kan kasian, Mas! Masa dikasih dikit aja gak boleh, sih."
"Sebaiknya jangan karena adik sedang hamil muda, bukan hamil satu melainkan dua. Juga adik menyusui bisa memicu kontraksi palsu, begitu kata Al tadi."
"Yaudah kalau gak boleh, aku buat s**u buat tuyul-tuyul," katanya sambil beranjak berdiri. Aku menggelengkan kepala mendengarnya selalu menyebut anak kami tuyul-tuyul. Kalau ibu dengar, sudah dipastikan ibu bisa ngoceh-ngoceh.
Kalau diberi tahu jangan panggil si kembar tuyul-tuyul, Nina pasti jawab, coba aja lihat tingkah mereka, Mas, gak bisa diam. Kayak tuyul di sinetron Tuyul & Mbak Yul. Aku menggelengkan kepala mendengarnya.
Aku menggenggam tangan Nina lalu menariknya hingga kini dia terduduk di sanpingku.
"Biar Mas saja, adik jaga si kembar."
"Iya jangan lama-lama!" Teriaknya dengan wajah ditekuk.
"Sudah jangan ngambek lagi. Nanti kalau Zaki sudah kembali ke Metro, tidak ada yang panggil adik ibu lagi. Sabar ya, Sayang?" Aku mengusap kepalanya.
"Mana kuat aku selama sebulan dipanggil ibu, Mas! Ngeselin deh mas ini! Katanya mau bilang pada Zaki agar gak panggil aku ibu, tapi apa?!" Huh! Dia mengembuskan napas keras.
"Sebulan, Sayang?" tanyaku tak percaya. Zaki tinggal di sini sebulan? Semoga saja tidak akan ada yang namanya cinta lama bersemi kembali antara istriku dan Zaki. Membayangkan Zaki di sini hampir sebulan, aku takut sendiri. Mungkin sebaiknya besok ajak Zaki ke toko. Tidak akan kubiarkan Zaki di rumah hanya dengan Nina dan si kembar, bahaya.
"Kenapa sih, Mas, kok tiba-tiba bengong gitu?"
"Tidak papa, Sayang. Mas mau buat s**u. Awas ya sampai adik ganjen-ganjen dengan Zaki. Ingat adik sudah punya suami."
"Auk, ah! Ngomong gitu mulu tapi gak mau tepatin janji bilang sama Zaki agar gak panggil aku Bu!"
Aku hanya nyengir. Andaikan kamu tahu Dik, Zaki bilang pada Mas jika tidak boleh memanggilmu ibu maka akan memanggilmu sayang. Mas tidak rela.