Iya memang aku menikah dengan ayahnya, tapi ya gak harus memanggilku dengan sebutan Bu juga, ka-lii. Apalagi dulu kami satu kelas bahkan sempat pacaran juga. Jadi aneh banget kedengarannya ia memanggilku Bu, seolah aku udah tua banget padahal usiaku dan Zaki sepantaran.
"Ayah mana, Bu?" tanya Zaki, senyumnya terkembang saat melihat Hanif dan Hanifa merangkak kemari cepat-cepatan.
"Akhirnya bisa melihat si kembar secara langsung,"ujar Zaki. "Hay, Baby?" ucapnya sambil berjalan mendekati mereka, membungkuk lalu mencoba menggendong Hanifa yang langsung menangis keras dengan tangan memberontak. Bukan hanya Hanifa Hanif juga ikut menangis.
Aku mendekat lantas berjongkok di hadapan mereka, si kembar langsung rambatan padaku, aku pun memeluk keduanya yang sama-sama mengulurkan kedua tangan minta digendong. Karena sedang hamil muda, aku hanya menggendong Hanifa saja.
Tatapan Zaki tertuju pada Hanifa lalu tangannya terjulur menjawil pipi tembam Hanif dan Hanifa bergantian membuat keduanya kembali menangis. Mata polos anakku dihiasi kaca-kaca membuatku kasihan.
"Ini Mas, Dik. Mamas kalian." Zaki tersenyum pada keduanya yang semakin ketakutan saja.
"Si kembar ini penakut, Ki, jadi pelan-pelan aja deketin si kembar. Nanti kalau sering liat pasti si kembar gak takut lagi sama kamu," jelasku karena tak ingin si kembar terus menangis.
Zaki mengangguk kecil. Ia melepas ransel dari punggungnya dan menarik resletingnya, mengeluarkan mainan dari bahan karet berbentuk buaya yang jika ditekan perutnya akan mengeluarkan bunyi, tuuuut, tuuuuut.
"Untuk Hanif." Diberikannya mainan buaya warna hijau pucat pada Hanif, yang langsung menerimanya takut-takut. Bukan takut pada mainan buaya melainkan takut pada Zaki. Zaki kembali merogoh ransel mengeluarkan boneka barbie memakai gaun pengantin pada Hanifa. Sama seperti kakaknya, Hanifa pun menerimanya dengan takut-takut.
"Sungguh menggemaskan sekali adik-adik mas ini." Zaki mengusap gemas kepala keduanya. Ia tersenyum padaku lalu menatap ke arah pintu.
"Ayah mana, Bu?" tanyanya.
Aku mendelik. Kesel, deh, panggil aku ibu mulu. "Jangan panggil aku ibu terus dong, Ki. Risih aku dengernya." Aku menatapnya protes yang dia tanggapi dengan sorot geli.
"Kamu kan memang ibuku sekarang, Nin. Memangnya, aku harus panggil apa?" tanyanya, tatapannya lekat ke wajahku dan tak lama kemudian bibirnya yang kemerahan mengulum senyum.
"Ya panggil aja Nina seperti biasanya, gitu."
Ia tertawa kecil. "Tidak sopan itu namanya. Kamu kan sudah jadi istri ayahku, otomatis jadi ibuku. Jadi, gak mungkin aku memanggilmu Nina, namanya ngelunjak."
Aku mengembuskan napas. "Pokoknya jangan panggil aku Bu lagi!" Aku sedikit mendelik yang disambutnya dengan tawa kecil.
"Baiklah." Ia mengangguk masih setengah tertawa. "Kalau gitu, aku panggil mama aja."
Kusentak napas keras. "Itu sama aja, Ki!"
Dengan sorot geli ia memandangiku, mengulum senyum di bibirnya membuatnya terlihat rupawan.
"Oh, ya, mama dapat salam dari Putri, disuruh main ke rumah dia, katanya."
"Putri pulang juga?" Tatapku dan ia mengangguk membenarkan.
"Iya, kan liburan semester lumayan lama hampir satu bulan."
"Nanti aku WA dia," kataku.
Hening. Aku dan Zaki sama-sama diam. Tak sengaja kami bertemu tatap, itu membuatku jadi canggung. Zaki juga sepertinya terlihat tak nyaman, ia berdiri lantas berjalan menuju kamarnya. Setelah meletakkan tas juga ransel, ia kembali keluar.
"Ibu, bisakah membuatkanku es teh? Jujur aku sangat lelah. Om Redi sama sekali tidak berhenti di rumah makan."
"Kamu pulang bareng Putri?"
"Iya."
"Oh." Aku hanya menjawab begitu, lagi-lagi menatapnya canggung. Saat kembali bersitatap dengan Zaki, aku seketika mengalihkan pandang dari tatapannya yang dalam seolah masih mencintaiku.
Aku dan Zaki sepasang kekasih dulunya, dia pacar aku. Jadi terasa aneh banget kami berada dalam satu rumah dengan status anak dan ibu, dia adalah anak tiriku sekarang. Rasanya, canggung. Tidak nyaman. Apalagi melihat tatapan Zaki yang tajam dan dalam, seolah ia masih ada rasa padaku. Tatapannya itu masih seperti dulu, menghanyutkan. Dia terlihat masih begitu mencintaiku.
Lalu, apakah aku juga masih ada rasa dengannya? Entahlah, aku tak pernah lagi memikirkannya seperti awal perpisahan kami dulu saat ia pergi dari rumah meninggalkanku dan Om Satria untuk kuliah, hanya saja duduk berdekatan begini dengan Zaki, aku begitu grogi, salah tingkah. Kebersamaanku dan Zaki saat masih menjadi kekasih telah mencipta hal-hal yang manis juga indah. Dulu Zaki selalu menatapku seperti ini, begitu dalam terlihat penuh cinta.
Aku menggelengkan kepala saat menyadari aku telah berpikir terlalu ngelantur. Istighfar, Nina. Kamu sudah memiliki suami yang sangat kamu cintai yang sangat mencintaimu juga. Aku lagi-lagi beristighfar dalam hati.
"Emp, aku buatkan kamu es teh. Titip si kembar bentar."
Zaki pun mengangguk. Baik Hanif maupun Hanifa langsung menangis keras dengan kedua tangan terulur saat aku. Zaki mengangguk, dengan tatapannya mengatakan ia bisa mengatasi mereka. Aku pun berjalan menuju dapur, semakin lama suara Hanif juga Hanifa melirih lalu lenyap sama sekali. Aku segera membuatkan Zaki es teh, memberikan padanya lalu menggendong Hanif.
"Aku mau tidurkan mereka dulu," kataku. Daripada tak nyaman berada dekat Zaki lebih baik di kamar saja.
Zaki langsung menggendong Hanifa, mengiringi langkahnya menuju kamar. Zaki berhenti di ambang pintu kamar, ia menurunkan Hanifa yang langsung merangkak ke arahku. Aku pun mengangkat Hanifa, mendudukkannya di ranjang samping Hanif duduk.
"Aku mau tidurin mereka, Ki," kataku karena Zaki terus berdiri diam di ambang pintu kamarku.
"Iya." Zaku menganggukkan kepala. Dilangkahkannya kaki pelan keluar kamar. Sepeninggalnya, langsung kututup pintu. Lalu tanganku memegangi dadaku yang tiba-tiba berdebar keras.
Ya Allah apa-apaan aku ini. Setelah sekian lama tak bertemu, dadaku tetap saja berdebar saat di dekatnya. Lupakan dia seutuhnya, Nina. Aku menarik napas dalam-dalam. Mendekat ke arah si kembar lalu menepuk-nepuk pelan paha mereka agar ia berhenti berceloteh. Setelah cukup lama, ternayata si kembar terus saja mengoceh tak mau tidur.
Bakda asar, terdengar bunyi motor di halaman rumah. Si kembar sudah kumandikan, kini sedang tertawa-tawa karena ulah Zaki. Aku menuju pintu untuk menyambut suamiku. Aku mencium punggung tangannya dan Om Satria mencium keningku.
"Katanya hanya bentar perginya, ini sampai habis asar baru pulang."
"Tadi di KTM sangat sibuk, Sayang. Jadi mas bantu karyawannya." Om Satria mengernyit saat menatap sandal Zaki di teras. Sepertinya masih baru karena aku gak pernah melihat sandal cokelat s**u itu sebelumnya.
"Itu sandal Zaki, Mas." Jelasku membuat mata suamiku melebar kaget.
"Zaki pulang?" tanyanya yang kusahut anggukan.
"Libur lama katanya." Lanjutku lagi, menuntun suamiku masuk ke dalam. Om Satria berdeham saat melihat Zaki sedang mengajak Hanif dab Hanifa bermain, bayi kembarku itu sesekali tertawa ngakak.
"Ehemp." Om Satria berdeham dengan sorot terlihat cemburu membuat Zaki seketika menoleh.