Bu Astuti menatapku menyelidik. "Enggak apa maksud kamu? Tidak mau ke dokter?" Ia memicingkan sebelah mata heran. Tanganku saling meremas karena ia terus menatapku mengintimidasi.
"Wajahmu pucat sekali. Kalau kamu sakit, bagaimana bisa kamu mengurus si kembar?" tanyanya lagi terus memandangiku.
"Aku gak sakit kok, Bu," sahutku pelan.
Ibu menatapku tak percaya. Begitu pun Pak kepala sekolah yang sejak tadi hanya diam memandangku. Hanif di pangkuannya, anak lelakiku itu diam anteng melumat biskuit sementara Hanifa digendong oleh Bu Astuti.
"Tidak sakit tapi wajahmu pucat." Bu Astuti lagi-lagi terlihat sangsi. Pasti wajahku benar-benar pucat sampai ia menatapku tak percaya begitu.
Aku pucat karena hamil, Bu, ucapku tapi hanya dalam hati saja. Kalau ibu sampai tahu, bisa-bisa diomeli karena si kembar masih kecil-kecil eh sudah diberi adik. Ini gara-gara Om Satria, niiih. Coba saja ia mau disuruh pakai pengaman, pasti gak akan begini jadinya.
"Mungkin karena semalam begadang, Bu," sahutku sambil tersenyum tak nyaman.
Ibu menghela napas. "Suamimu itu kerja sampai sore cari uang ya untuk kamu, jadi kalau sakit ya periksa jangan sayang uang," katanya yang kutanggapi dengan anggukan kecil.
"Aku gak sakit kok, Bu." Aku menggelengkan kepala. Ibu kembali menghela napas.
"Kalau mengantuk, begadangnya gantian dengan Satria. Jangan memaksakan diri, seorang ibu itu harus sehat agar bisa merawat anak-anaknya."
"Iya, Bu."
"Yasudah sana ambil piring, kita makan bersama."
Mataku membeliak. "Makan, Bu?" Samar-samar mencium bau ayam saja aku terus menahan diri agar tidak muntah, eh mau diajak makan bersama, pula. Ya ampun, bagaimana ini? Kalau aku mual nanti, bisa-bisa ibu curiga kalau menantunya ini sedang hamil.
Ibu mengibaskan tangan di depan wajahku membuatku tersentak kaget. "Malah melamun sih, kamu! Ibu masak pagi-pagi agar bisa makan bersama anak dan menantu. Cepat ambil piring lalu kita makan bersama." Titahnya dengan wajah terlihat gemas. Ibu mertuaku ini orangnya memang tidak sabaran, apa-apa harus sat-set. Harus cepat tidak boleh lambat seperti siput.
Karena aku tidak punya pilihan, akhirnya segera mengambil beberapa piring di dapur. Perutku seketika bergejolak saat tangan ibu yang dihias kutek merah pucat membuka bungkusan yang dibawanya. Aku terus menahan diri agar tidak muntah sampai badanku berkeringat dingin. Tahan, Nina, kalau tidak ditahan kamu pasti akan ketahuan.
"Assalamualaikum."
Alhamdulillah suamiku datang, aku mengembuskan napas lega, bebanku seolah minggat seketika. Om Satria pasti akan membantuku keluar dari situasi sulit ini. Aku pun menjawab salamnya begitu pun ibu juga bapak.
Om Satria berjalan masuk membawa plastik merah besar transparan berisi buah-buahan. Ada apel, per, jeruk, anggur, pepaya, mangga, ya ampun banyak banget sampai tatapan ibu terus tertuju ke buah yang dibawanya itu. Ibu mengerutkan kening memandang suamiku yang kini sambil nyengir terus melangkah mendekat. Suamiku tercinta lantas menggeser kursi ke belakang dan duduk di sebelahku. Dengan tatapannya seolah ia berkata, kamu tidak apa-apa, Sayang? Maka aku menunjuk ke piring di tengah meja berisi ayam goreng. Di piring lainnya tampak sambal yang sepertinya amat pedas juga lalapan.
"Oh ibuku tersayang, Nina sudah makan tadi. Jadi dia tidak akan makan lagi."
Ibu langsung mendelik pada suamiku. "Memangnya kenapa kalau dia makan lagi, Sat? Pelit sekali kamu jadi suami! Lihat wajah istrimu pucat sekali! Coba perhatikan!" Ibu menyentak napas keras, lalu menggelengkan kepala dengan wajah jengkel.
Suamiku sama sekali tidak pelit. Ia sangat royal. Ia sering sekali membelikanku kalung, gelang, baju-baju bagus dan mahal juga memberi ibu kandungku uang tiap bulan. Pak Bandi memperhatikanku sementara Om Satria menggaruk-garuk rambutnya. Ia pasti tidak ingin ibu tahu aku hamil. Pasti bakal diomeli habis-habisan kita berdua kalau ibu sampai tahu rahasia yang coba kami sembunyikan.
"Kamu beli buah banyak sekali, Sat." Tatapan ibu yang tadi ke wajah suamiku kini beralih pada buah yang diletakkan di atas meja. Ada satu bungkus pecal di plastik paling atas. Om Satria meraih plastik itu.
"Iya, Bu, untuk stok. Kan makan buah sehat, jadi beli banyak simpan di kulkas." Suamiku beralasan. Ia lantas berdiri dengan membawa buah itu. Tak lama kemudian ia kembali duduk di sampingku.
"Oh, yasudah, kalau begitu kita makan sekarang. Ibu sudah lapar." Lalu ibu mengambilkan Pak Bandi nasi. Ibu mengulurkan piring pada suaminya lalu menyipitkan mata padaku.
"Kok diam saja? Suamimu tidak dilayani, Nin?"
Oh iya juga. Biasanya aku selalu mengambilkan Om Satria nasi. Tanganku sudah akan terulur saat Om Satria dengan cepat meraih piring di meja, ditumpukan piring paling atas.
"Aku bisa ambil sendiri." Om Satria mengisi dengan nasi juga lauk, setelah itu ia makan dengan memunggungiku yang membuat ibu berlama-lama menatapnya dengan kening berkerut dan wajah sedikit kesal juga.
"Makan kok istri dipunggungi, Sat! Apa kalian sedang marahan?!" tanya Bu Astuti dengan tatapan jengkel. Pak Bandi mengusap-usap bahu ibu mencoba menenangkannya.
"Jangan tegang, Bu, nanti kena darah tinggi cepat mati." Pak Bandi terus mengusap-usap bahu ibu. Ibu menghela napas. Tangannya menuding tubuh Om Satria.
"Anak nakal itu ada-ada saja tingkahnya! Makan kok hadap samping tidak menghormati ibunya! Sat, apa kamu sedang marahan dengan istrimu?!"
Om Satria menoleh sekilas memandang ibu lalu ia mengangguk. Pasti dilakukannya agar ia tetap bisa makan dengan memunggungiku, dengan begitu aku tidak akan terlalu mencium bau amis. Sungguh aku terharu memiliki suami pengertian sepertinya sampai ingin memeluknya penuh kasih sayang.
"Iya Bu, aku dan Nina sedang marahan. Aku sedang jengkel padanya karena semalam tidak mau diajak gantian begadang."
Aku melebarkan mata. Bisa-bisanya ia beralasan yang menyalahkanku, membuat tatapan ibu padaku menajam.
"Katanya Nina, dia yang begadang sampai wajahnya pucat. Yang benar yang mana?"
Om Satria menoleh padaku. "Maksudku, kemarin malam aku yang begadang, Bu. Semalam dia yang begadang." Lalu Om Satria kembali memunggungiku. Bu Astuti berdiri, dengan gemas meraih sendok lantas menggetokkannya ke kepala Om Satria membuat suamiku menatapnya tak terima.
"Ada apa denganmu, Bu?"
"Kamu ini, jadi suami itu jangan mau enaknya saja. Jangan semua-muanya istrimu, Nina pasti capek dia sudah membersihkan rumah, memasak, mencuci, mengurus anak, kamu diajak gantian begadang saja tidak mau!" Tak. Sendok kembali dipukulkan ke kepala suamiku yang langsung meringis kesakitan. Tentu saja sakit. Itu sendok, lho.
"Mas Satria kelelahan, Bu. Kan seharian kerja." Aku membela suamiku yang diamini oleh Om Satria, tak rela suamiku terus dipukul.
Ibu menghela napas. "Sekarang kalian baikan, jangan seperti anak kecil!" Ibu melotot pada Om Satria. Om Satria memandangku, karena terus dipelototi oleh ibu, ia akhirnya menghadap depan. Ibu mengembuskan napas keras. Segera mengambil makanannya sendiri dan menatapku.
"Makan biar kenyang," katanya.
"Iya, Bu." Aku ragu-ragu meraih piring. Ya ampun, ini saja baunya sudah gak keruan begini. Aku dengan sangat pelan menyendok nasi ke piring, menyendok sambal, lalu meraih ayam paling kecil. Ibu terus memandangiku membuatku mau tak mau akhirnya menyuap nasi ke mulut, lantas menggigit ayam goreng. Enak, tapi baunya membuat perutku seperti diaduk-aduk. Rasanya ingin muntah. Tanganku membekap hidung dengan tubuh berkeringat.
"Hu-eeek!" Aku tidak tahan lagi. Segera berlari ke kamar mandi yang segera disusul oleh suamiku. Aku muntah-muntah, Om Satria memijit-mijit tengkukku dengan kepala neleng ke kiri dan satu tangannya membekap hidung.
Selesai muntah, aku dan Om Satria kembali ke meja makan. Lagi-lagi mencium bau amis, perutku bergejolak. Aku kembali berlari ke kamar mandi yang diikuti oleh Om Satria. Ia memijit-mijit tengkukku dengan kepala neleng ke kiri. Selesai muntah, aku menyiram bekas muntahan.
"Rasanya gak enak banget tau, Mas."
Om Satria mengusap kepalaku. "Sabar ya, Sayang. Sebentar lagi ibu pasti pulang."
"Bukan karena ibu, tapi karena ayam gorengnya aku jadi ingin muntah-muntah terus, Mas. Ya namanya hamil muda."
"A-pa?!"
Aku dan Om Satria refleks menoleh ke sumber suara di mana ibu menatapku curiga. Ia mengepalkan kedua tangannya ke udara lalu melangkah cepat ke arah suamiku yang langsung berlari keluar dari kamar mandi. Aku juga ikut melangkah keluar.
"Ibu am-puuun!" kata suamiku sambil terus berlari menghindar.
"Ada apa, Bu?" tanya Pak Bandi keheranan saat Om Satria bersembunyi di belakangnya yang menggendong Hanif sementara Hanifa duduk di lantai mainan boneka.
Ibu menuding Om Satria. "Dia membuat Nina hamil, Pak! Satri-aaaaaa! Lihat itu Hanif dan Hanifa masih kecil-ke-ciiil!" Ibu menuding anak-anakku yang langsung tersenyum padanya.
"Tidak direncanakan, Bu. Namanya juga kebobolan. Ibu, sakit, i-buuu!" Om Satria mengaduh saat ibu menjewer kuat telinganya dengan ekspresi jengkel campur gemas.
"Kebobolan, kebobolan katamu?! Ibu kan sudah suruh kamu pakai pengaman, Sat! Kamu ini! Hi-iiiiiih!" Ibu menjitak kepala suamiku kuat-kuat. Suamiku meringis kesakitan.
"Aku tidak suka pakai pengaman, Bu! Tidak enak. Ampun, Bu. Ha ha ha, i-buu, ha ha ha." Om Satria tertawa saat ibu mengelitikinya.
"Tidak enak-tidak enak! Kamu itu tidak memikirkan si kembar sama sekali, Sat! Anak na-kaaal!" Ibu kini menjewer suamiku kuat-kuat sampai telinga suamiku memerah. Hanif dan Hanifa yang melihat itu tertawa bersamaan dengan wajah riang. Ibu mengembuskan napas keras, akhirnya melepaskan telinga suamiku dan duduk di kursi.
"Duduk sini!" kata ibu sambil menepuk kursi di sebelahnya. Om Satria menurut, ia duduk di samping ibu.
"Kamu juga, duduk sini!" Ia menepuk kursi di samping kanannya. Aku menurut.
Ibu bersidekap. Menatap kami mengintrogasi lalu mengembuskan napas kuat. Ibu membuka mulut hendak berkata, tapi ia tak berkata apa-apa, sebagai gantinya ia malah memijit-mijit kepalanya dengan kuat.
"Tidak bisa ibu bayangkan bagaimana repotnya kalian nanti jika mengurus tiga anak, Sat. Pusing ibu memikirkannya! Sat, Sat!" Ibu kembali memijit-mijit keningnya. Entah akan seperti apa reaksinya jika ia sampai tahu aku mengandung dua anak sekaligus. Tidak usah dibayangkan.
Om Satria nyengir memandang ibu.
"Ya masa mau digugurkan, Bu, kan dosa." Om Satria kembali nyengir saat ibu melotot.
"Bukan itu maksud ibu, Sat! Ibu bilang, akan serepot apa nanti! Satri-aaaa!" Ibu mendekat ke arah Om Satria, suamiku dengan sigap berdiri lalu berlari cepat keluar rumah yang segera dikejar oleh ibunya.
"Ibu ampun ibu ampun!" Itu suara suamiku.