14

1223 Kata
POV Satria "Kenapa tersenyum?" Aku mengerutkan kening heran. "Memangnya kenapa jika aku tersenyum Yah? " Zaki menatapku tak percaya, lantas tersenyum kecil. "Memangnya Sejak kapan senyum dilarang Yah? "Dia menatapku heran. "Tidak. Ayah tidak melarang, ayah hanya heran kenapa kamu tersenyum seperti itu?" Aku memandangnya dan Zaki lagi-lagi tersenyum. "Ayah aneh. Aku tidak bilang ayah melarangku senyum, aku hanya bilang Sejak kapan senyum dilarang, Yah?" Dia mengulangi ucapannya dengan sorot menyebalkan seperti sedang mengejek. Itu membuatku jadi kesal namun aku tak mau meladeninya lebih lanjut. Namanya anak kecil ya maklumi saja. Anggap saja angin lalu. "Sudahlah, ayah mengantuk lebih baik ayah tidur takut kesiangan karena besok ayah harus ke toko. Kamu juga tidurlah." Aku membalikkan badan, melangkah menuju kamar dan menutupnya. Aku segera mendekati ranjang kemudian mengangkat Hanifa, meletakkannya ke box bayi yang lebar. Setelah itu ganti kuangkat Hanif, meletakkannya ke samping Hanifah. Setelah menyelimuti keduanya, mengecup kening mereka bergantian aku pun merebah di samping Nina, berbaring miring menghadapnya dan memandangi wajahnya yang terlihat polos saat tidur. Saat tatapanku turun ke perutnya, tanganku pun bergerak mengusap perut ramping itu yang tertutup daster bunga-bunga. "Kalian jangan nakal ya di dalam, biar mama kalian tidak menangis. "Aku mengusap perut Nina sambil tersenyum, lalu dengan gemas mengusap kepala. Aku mendekat dan memeluknya, mencium keningnya. "Tidur yang nyenyak sayang. Jangan suka menangis, ya?" Aku menyentuh pelan hidungnya. "Juga tidak boleh ganjen-ganjen pada Zaki." *** Rasanya aku baru saja tidur saat tubuhku diguncang-guncang dari belakang. "Mas, bangun udah pagi. Buruan mandi lalu salat keburu pagi." Aku membuka mata perlahan, tanganku menggenggam pergelangan tangan Nina lalu menariknya hingga dia terjatuh di dadaku. Nina seketika memberontak melepaskan diri namun aku kembali menariknya hingga kembali jatuh ke dadaku, tanganku segera melingkar ke tubuhnya agar ia tak berlari pergi. "Mas apa-apaan sih, aku kan mau masak." Dia menatapku dengan mata sedikit mendelik. Aku mempererat pelukan, memejamkan mata dan mengecup keningnya. "Masih enak begini, sayang." "Ih, mas, aku kan harus masak." Dia mengerucutkan bibir. "Dan juga aku masih ngambek sama mas! "Lanjutnya sambil melepas tanganku. "Kok ngambek terus, Sayang? Memang tidak lelah, ngambek terus? Kan, kalau dipikir-pikir Zaki tidak salah. Kan, kamu menikah dengan Mas, jadi, otomatis Zaki jadi anak adik, "jelasku dengan hati-hati agar dia mengerti. "kalau adik tidak menikah dengan mas, Zaki tidak mungkin memanggil adik dengan sebutan Ibu. Benar tidak, Sayang?" tanyaku sambil menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. Harumnya dia sehabis mandi membuatku jadi ingin. "Iya, siiih. Tapi aku nggak mau dipanggil ibu. Ya masa dia panggil aku ibu, Mas, aku sama dia kan seumuran harusnya dia panggil aku Nina aja kayak dulu. " Aku tersenyum melihatnya cemberut. Padahal realitanya dia sekarang adalah Ibu Zaki. Walau dia dan Zaki dulu adalah kekasih, tapi sekarang situasinya sudah berbeda. "Pokoknya, aku nggak mau dipanggil ibu." Nina menyentak napas keras. "Lalu, adik maunya dipanggil apa? Mama? Atau, Ibu? Bunda? Umi? Nenek?" Aku tersenyum kecil membayangkan ia dipanggil nenek oleh Zaki. Nina pasti akan ngoceh tak berkesudahan. Dengan wajah jengkel Nina mencubit pinggangku. "Ya nggak panggil nenek juga kali, Mas. Panggil Nina aja! Masa aku dipanggil ibu! Aku sama Zaki kan seumuran." "Iya sayang. Kalian seumuran, tapi, walau seumuran tetap saja Zaki sekarang adalah anak adik karena adik sudah menikah dengan mas. "Tekanku. Nina menyentak napas keras. "Pokoknya aku ngambek sama Mas!" Lalu dia melangkah cepat keluar kamar. Aku mengejarnya menuju dapur. Nina meraih dua ikat bayam di kulkas, saat melihatku dia langsung melengos ke arah lain. "Ngapain ke sini?! Aku lagi kesel sama mas yang nyebelin!" Aku menggelengkan kepala menanggapi sikapnya yang kekanak-kanakan. Padahal Zaki sudah jadi anak tirinya, Tapi tetap saja dia tidak mau dipanggil ibu. Aneh sekali kan, istriku ini? "GR. Mas ke sini bukan karena adik, tapi mas mau mandi lalu salat." "Yaudah sana salat!" ketusnya. "Ngapain, juga, lama-lama di sini!" Aku menjawil pipinya, membuat Nina langsung mendelik. "Ngapain sih sentuh-sentuh?!" Dia menatapku jengkel. "Mau ikut mandi sama mas, tidak?" tanyaku sambil mengedip menggodanya, sementara tanganku kembali menoel pinggangnya. "Ih Mas apan sih nggak lucu tau!" Aku tersenyum. "Ya sudah kalau tidak mau diajak mandi, Mas mandi dulu ya Sayang?" "Ya udah sana mandi!" Aku menoel pinggangnya. "Iiiiih!" Nina menepis tanganku. Aku tersenyum lantas kembali menoel pinggangnya. Nina mengambil panci, mengangkatnya ke udara sambil mendelik. "Pergi gaaak?!" "Iya ini mau pergi, Sayang." Aku menoel pinggangnya, saat ia memajukan panci sambil melangkah cepat ke arahku, aku langsung buru-buru berlari ke kamar mandi. "Tidak kena, Sayang! Week!" kataku penuh kemenangan lalu menjulurkan lidah. Nina mendesah kuat. Aku melempar ciuman jarak jauh kemudian menutup pintu kamar mandi, segera mengguyur tubuh. Begitu selesai mandi, celingukan, baru sadar tidak membawa handuk. "Sayang, tolong ambilkan mas handuk," kataku sambil membuka pintu kamar mandi sedikit. Nina yang sedang membalik sesuatu di penggorengan menoleh, ia berkata penuh kemenangan. "O-gaah! Week!" Sambil ia menjulurkan lidah. Balas dendam dia. Astaga. Sungguh sikapnya seperti anak TK. "Sayang, masa mas ke kamar tidak pakai baju, Sayang?" "Alah biasanya juga gi-tuuu! Sok lupa, deh." Aku menggaruk rambut. Iya memang jika tidak membawa handuk dan Nina sedang menenangkan si kembar yang menangis maka aku akan berlari ke kamar seperti bayi baru lahir. Tapi sekarang, yang benar saja, ada Zaki, bisa-bisa dia melihat dan tidak lucu itu. "Sayang, tolong ambilkan handuk. Mas belum salat, keburu langit terang, Sayang." "Gak dengar!" Dia melengos. "Tidak diambilkan juga, Mas ke situ tidak pakai baju ya?" Godaku. "Serah, deh!" Benar-benar dia. Harus sabar punya istri anak kecil. Pokoknya harus ekstra sabar. "Mas hitung sampai tiga ya? Tidak diambilkan juga, Mas ke situ hanya pakai celana dalam. Satu, dua, ti ...." Benar-benar istriku. Aku celingak-celinguk, setelah memastikan tidak ada orang maka dengan gemas aku keluar dari kamar mandi. Nina membalikkan badan menghadapku, mendelik melihatku benar-benar berjalan ke arahnya. "Mas, ada apa denganmu? Zaki ada di sini!" Dia menatapku panik. Didorongnya tubuhku menuju kamar mandi namun belum sempat aku masuk, tiba-tiba sebuah sandal mendarat di kepalaku. Disusul lengkingan suara yang tak asing. "Satri-aaaaa! Dasar anak na-kaaal! Istri sedang hamil muda kamu mau apa?!" Ibu mendelik jengkel. Karena aku hanya pakai celana dalam, maka aku buru-buru menutup pintu dengan Nina berada di kamar mandi. "Satri-aaa! Buka! Bu-kaaa! Bisa-bisanya kamu mau lakukan saat ada ibu di sini! Satri-aaa, keluar!" Suara ibu terdengar gemas. Brak! Brak! Brak! Pintu kamar mandi berderak-derak digedor ibu. "Ibu jangan salah paham. Aku lupa bawa handuk jadi semua tidak seperti yang ibu pikirkan kalau-kalau ibu berpikir jelek." Terdengar sentakan napas. "Kalau tidak seperti yang ibu pikirkan, kenapa seperti tuyul kamu?!" "Habis mandi Bu, ya ampun tidak percaya. Tolong ambilkan handuk, Bu." Hening. Tak lama pintu kamar mandi akhirnya diketuk. "Ini." Suara ibu. Aku membuka pintu sedikit, meraihnya lalu melilitkan handuk ke pinggang. "Sejak kapan ibu ke sini?" "Jam setengah lima, Mas." Nina yang menjawab. Dia selalu terlihat manis jika ada Ibu. "Kenapa tidak bilang kalau ada ibu?" Aku memandang Nina. "Ini aku mau bilang, Mas. Mas, ada ibu, ibu datang jam setengah lima pagi." Aku menatap Nina tak percaya. Sungguh gemas rasanya melihat wajah polosnya itu. Kalau tidak ada ibu, pasti sudah kuajak 'olahraga' pagi lalu berakhir dengan mandi bersama. Sejak melahirkan si kembar, kami jadi jarang olahraga. Kadang 10 hari baru dapat jatah. "Satria, cepat keluar," kata Ibu. "Iya ini keluar, Bu." Aku pun membuka pintu kamar mandi, nyengir kecil saat melihat Zaki berjalan kemari sambil mengusap-usap matanya yang mengantuk. Walau terlihat mengantuk, sempat-sempatnya dia bergantian menatapku dan Nina dengan ekspresi seperti ... ya seperti itu sorot matanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN