Suara tepuk tangan bergemuruh di dalam sebuah ballroom hotel berbintang lima di ibu kota, suasana meriah dan megah masih terasa hampir di semua meja bundar besar yang masing-masing di kelilingi sepuluh kursi itu, terdapat kehangatan dari orang-orang yang duduk di sana.
Suasana begitu dipenuhi kegembiraan dan keceriaan juga kehangatan dari semua tamu undangan, mereka semua yang berkumpul di acara itu adalah para penulis n****+ online yang bernaung di salah satu platform ternama.
Acara itu adalah acara puncak dari serangkaian acara meet and greet yang digelar oleh perusahaan yang menaungi para penulis dari seluruh Indonesia, hingga acara itu begitu meriah dan dihadiri oleh banyak orang meski tidak semua penulis beruntung mendapatkan undangan untuk menghadiri acara itu.
Salah satu dari penulis yang beruntung itu adalah Fajar, pemuda berusia dua puluh lima tahun yang memakai nama pena Arutala. Dia datang jauh-jauh dari kota Jogjakarta untuk menghadiri acar istimewa itu, dengan menyembunyikan sebuah harapan yang istimewa juga dalam hatinya.
"Semoga silaturahmi kita bisa terus terjaga, bukan hanya karena acara ini aja ya, Bebs," tutur penuh harap Ayu seorang penulis dari kota Solo pada teman-teman yang baru pertama kali bertatap muka secara langsung dengannya, walau acara itu adalah acara pertama yang menjembatani pertemuan mereka tetapi nyatanya antara satu dan lainnya terlihat sudah begitu akrab dan dekat karena mereka telah terbiasa bersama walau hanya di dunia maya.
"Kapan-kapan kita kumpul lagi, ya. Enggak perlu nunggu perusahaan bikin acara, kita modal sendiri enggak apa-apalah, demi silaturahmi," timpal Heny, wanita bertubuh mungil berasal dari Banjarmasin.
"Iya, semoga ada rejekinya ya, Say," jawab Rika penulis yang berdomisili di Nganjuk Jawa timur.
"Aamiin ... Kalau rejeki, sih, In shaa Allah ada cuma waktunya itu loh yang susah, ini aja harus kosongin jadwal dari jauh-jauh hari. Apalagi kita para emak-emak, iya, 'kan, Say?"
"Iya, bener banget itu!" Vina membetulkan apa yang Niki ucapkan.
"Eh, Mbak Hita dari tadi diem aja! Ternyata bukan hanya novelnya, ya, ternyata orangnya juga kalem banget!" celetuk Ayu, yang lainnya langsung mengiyakannya membuat wanita yang dimaksud tersenyum manis.
"Kalian bisa aja!" jawab wanita cantik berambut ikal itu. "Kalau suatu saat ada acara kumpul-kumpul, acaranya di Jakarta lagi aja, di rumahku."
"Ye ... masa di Jakarta terus keenakan Mbak Hita, dong! Nanti acaranya di Surabaya aja, ya di rumahku," sambar Wulan.
"Jangan di Banjarmasin aja."
"Jangan di Nganjuk aja."
"Di Bogor aja nanti aku beliin asinan."
"Alah, di Lampung aja, di tempatku, luas."
Wanita yang sedari tadi disapa dengan panggilan Hita itu tersenyum melihat teman-temannya berebut tempat pertemuan yang tidak tahu kapan akan terjadi bahkan benar-benar terlaksana atau tidak juga tidak ada yang bisa memastikan.
Setidaknya mereka sudah bertemu dan semua berbahagia saat ini, sama seperti seorang pemuda yang juga sedang berbahagia menikmati senyum manis Senja Suraduhita, seorang penulis n****+ kisah-kisah cinta romantis berusia tiga puluh tiga tahun yang tadi disapa Hita.
* Dita Andriyani *
"Tunggu! Tunggu dulu!" Pintu taksi yang sudah ia buka hanya dipegang saat mendengar ada seorang pemuda memanggilnya, Hita mengerutkan keningnya saat melihat pemuda tinggi berambut cokelat agak berlari mendekatinya.
"Apa apa?" tanya Hita saat pemuda itu sudah semakin dekat dan benar-benar menghentikan langkahnya cepatnya.
"Aku mau kenalan." Kening Hita semakin mengerut mendengar gumaman pemuda yang tengah membenarkan kemejanya, kemeja tidak terkancing yang menjadi luaran dari kaus putih yang ia kenakan. "Perkenalkan, Fajar yang akan setia pada sang senja meski selalu kegelapan yang diberikannya, tetapi tidak mengapa karena kegelapan setelah senja adalah hal yang indah."
Hita hanya menggelengkan kepala mendengar apa yang pemuda itu ucapkan bahkan tangannya yang terulur ia biarkan mengambang di udara, wanita itu hanya tersenyum tipis merasa jika pemuda itu 'aneh'
Tin ....
Suara klakson dari mobil yang berada di belakang taksi yang pintunya sedang Hita pegangi itu menyadarkan keduanya jika mereka masih di depan pintu hotel dan banyak mobil yang menunggu taksi itu berjalan.
"Maaf, aku buru-buru," ucap Hita yang dengan cepat menaiki taksi sadar jika mereka sudah membuat banyak orang menunggu.
Tetapi wanita itu terkejut hingga kedua mata indahnya mendelik saat menyadari jika pemuda itu juga memasuki taksi dan duduk di sebelahnya spontan Hita menggeser duduknya hingga mendekati pintu, wanita itu terang tidak bisa berbuat apa-apa karena taksi sudah berjalan dan tidak bisa ia hentikan atau akan membuat kemacetan di depan hotel lagi.
"Kamu mau apa?" tanya Hita.
"'Kan, tadi kita belum jadi berkenalan," jawab pemuda itu santai, bahkan ia membetulkan posisi duduknya agar lebih nyaman bersandar di sandaran kursi.
"Maksud kamu apa, sih?" Hita kembali bertanya.
"Kalau orang ngajak kenalan, itu artinya pengen kenal, masa begitu aja enggak tau." Pemuda itu mencebik sedangkan Hita memutar bola matanya dengan malas mendengar perkataan pemuda itu.
"Pak, tolong nanti di depan berhenti, biar dia bisa turun," pinta Hita pada sopir taksi yang hanya menganggukkan kepala patuh.
"Kamu boleh memintaku turun dari mobil ini tetapi kamu tidak akan pernah bisa memintaku turun dari sebuah harapan untuk terus bersamamu, Senja Suraduhita," ujar Fajar sambil menatap wajah Hita yang sedang meringis aneh.
'n****+-n****+ buatannya bagus, tapi aku enggak nyangka kalo penulisnya gila' Kata yang terucap dalam hati Hita saat ia mengalihkan pandangan keluar jendela.
Hita tersadar dari lamunan saat taksi yang ia tumpangi berhenti di perempatan jalan sesuai permintaannya tadi, ia langsung menoleh dan mendapati pemuda itu sedang menatapnya lekat seolah mengagumi setiap inci ciptaan Tuhan yang menang nyaris sempurna itu.
"Sana, cepet turun!" ucap Hita sekilas menatap wajah pemuda itu hingga tatapan mereka saling bertemu dan itu cukup membuat dirinya sedikit gugup lalu mengalihkan perhatian ke arah lain.
"Baik kalau itu mau kamu dengan senang hati aku akan menurutinya, tapi ada syaratnya." Mendengar apa yang pemuda itu ucapkan kedua mata Hita kembali membola dan menatapnya tidak percaya.
"Apa?" tanya Hita kesal.
"Sebut namaku," pinta pemuda itu serius.
"Apa?" Bukan tidak mendengar tetapi Hita hanya tidak percaya dengan pemintaan yang menurutnya konyol.
"Sebut namaku." Dengan tenang pemuda berkulit putih dengan mata kecoklatan itu mengulang permintaannya.
"Arutala." Hita menyebut nama pena pemuda itu, setidaknya itu yang Hita tau, mungkin memang benar namanya Fajar tetapi Arutala terasa lebih mudah lidahnya ucapkan.
Pemuda itu tersenyum lebar mendengar sebuah kata yang Hita ucapkan dengan bibir sensualnya.
"Mulai saat ini nama itu yang akan selalu ada dalam hati dan pikiranmu!" Pemuda itu mengerlingkan satu matanya lalu bergegas turun dari taksi meninggalkan Hita yang masih menggelengkan kepala yang tiba-tiba terasa berdenyut.
"Jalan, Pak!" Taksi berwarna biru itu segera melesat menuju sebuah alamat yang tadi sudah Hita sebutkan.
Hita menaruh sikunya di jendela mobil yang kacanya tertutup rapat sementara jemari lentiknya mengusap dagu, pandangannya meneliti setiap apa saja yang ia lewati tetapi pikirannya kembali pada sebuah acara yang baru saja ia hadiri.
"Dua hari loh kita ada di tempat dan acara yang sama tapi dia sama sekali enggak ngajak aku kenalan, ngedeketin aja enggak, tapi saat udah mau pulang malah ngajak kenalan pake cara yang ekstrim. Dasar beneran, deh, dia gila!" gumam Hita. "Eh, kenapa aku jadi keingetan dia!" Hita menepuk kepalanya dengan satu tangan yang tidak berada di jendela mobil.
* Dita Andriyani *
Hita menyerahkan uang yang sudah menjadi hak sopir taksi yang sudah mengantarkan dirinya kembali ke halaman rumahnya, rumah yang tidak terlalu besar terletak di sebuah perumahan di kota Jakarta. Rumah dengan cat dinding berwarna abu tua berpadu dengan abu muda dan memiliki pagar besi berwarna hitam setinggi satu meter pagar yang menjadi pembatas dengan rumah kosong yang ada di sebelahnya. Hita langsung mengeluarkan kunci pagar dan kunci rumah lalu menyeret kopernya masuk, acara yang menyenangkan pasti akan terasa melelahkan setelahnya.
Setelah kembali mengunci pintu depan ia langsung memasuki kamar melewati sebuah pintu kamar yang juga tertutup rapat di rumah itu terdapat dua kamar di lantai bawah dan satu kamar di lantai atas.
Hita merebahkan tubuhnya di atas ranjang yang tertata apik dengan seprai kembang-kembang yang terlihat manis kepalanya menoleh dan secara tidak sengaja menatap sebuah foto yang terpasang di dinding, sebuah foto pernikahan. pernikahannya.
Wanita itu tersenyum hambar lalu merasakan ponsel dalam tasnya bergetar, sebuah tas selempang yang bahkan belum ia lepaskan dari pinggangnya.
Dahinya mengerut membaca sebuah pesan yang dikirim oleh nomor yang belum ia simpan.
[Hay ... Senja Suraduhita, cukup simpan nomor ini di ponselmu. tapi kalau diriku harus kamu simpan di hatimu.]
Hita mencebik saat membuka profilnya dan mendapati foto Arutala yang sedang tersenyum lebar di sana.
[Hentikan ucapan-ucapan gilamu itu, aku sudah menikah!]
Sebuah teks yang Hita tulis di bawah foto yang baru ia ambil, foto dari foto pernikahannya yang tertempel di dinding kamarnya.