"Dasar b******k!" Arutala melempar ponselnya ke atas ranjang kasur yang empuk membuat benda pipih itu sedikit membal lalu tergeletak telentang di atasnya, foto sepasang kekasih yang tampak mesra masih terlihat di sana, foto yang membuat dadaa pemuda itu kian bergemuruh.
* Dita Andriyani *
Lebih dari satu pekan berlalu, kehidupan Hita masih sama seperti biasanya sama sekali tidak ada yang istimewa selain pengikut n****+-novelnya yang semakin banyak. Bagi Hita pembaca bukan hanya sekedar pembaca, tetapi mereka adalah teman baik, teman baik tempat Hita menyalurkan segala emosi dengan karya tulis sebagai perantara.
Pagi itu, Hita masih di meja makan. membuka ponsel setelah sang suami berangkat bekerja, Hita adalah istri yang baik bisa membagi waktu antara perkerjaan dan kewajiban sebagai seorang istri jika sedang melayani atau menemani sang suami mengobrol maka ia akan meninggalkan segala urusan pekerjaannya.
Wanita yang masih mengenakan setelan piyama panjang dengan rambut terikat ke atas itu membuka aplikasi berwarna biru dengan logo hurup F tempat berbagai promosi dilakukan, saat membuka aplikasi itu matanya langsung tertuju pada sebuah postingan di dalam sebuah grub yang ia ikuti.
(Kak Fajar Arutala ke mana aja, ya, kok, enggak pernah On atau balas komentar?)
Isi postingan itu membuat Hita teringat pada seorang pemuda aneh yang sempat mengganggunya hari itu, tetapi ia bersyukur setidaknya setelah ia mengatakan jika dirinya sudah menikah pemuda itu tidak lagi mengganggunya.
"Eh, tapi dia ke mana, ya," gumam Hita, rasa penasaran itu membuat jarinya menekan tulisan komentar lalu terbukalah berbagai macam komentar yang sebagian besar berisi spam promosi dari penulis lain.
Matanya langsung tertuju pada komentar yang dibuat oleh akun yang ditandai oleh sang pembuat postingan, akun bernama Fajar Arutala.
(Lagi sibuk pindahan, Kak. Maaf, ya, belum bisa balas komentar, tapi n****+ tetep update sesuai jadwal kok.)
Tidak terasa bibir sensual Hita tersenyum membaca itu, walau penanda waktu dibuatnya komentar itu adalah dua hari yang lalu, tetapi setidaknya ia tahu jika pemuda aneh itu baik-baik saja. Hita tersenyum geli sambil menggelengkan kepala saat menyadari perasaan 'kepo'nya, ia keluar dari kolom komentar dan kembali menjelajahi aplikasi itu sekedar bertegur sapa atau mengomentari postingan temannya hingga ia tidak menyadari kalau Mbak Mimi sudah datang.
"Mbak Hita, senyum-senyum sendiri! Nanti di kira begini, loh." Wanita yang usianya dua tahun lebih muda darinya itu menyilangkan telunjuknya di kening.
Hita malah tertawa, hubungan keduanya memang tidak seperti majikan dan pembantu tetapi lebih seperti seorang teman.
"Enggak ada yang liat ini, cuma Mbak Mimi dan Mbak Mimi udah tau aku memang gila," jawab Hita tetap sambil tertawa.
"Idih! Gila bangga!" jawab Mbak Mimi yang lalu berjalan ke belakang untuk mengambil sapu.
"Kafka enggak ikut, Mbak?" tanya Hita sambil merapikan meja makan, menumpuk piring bekas makannya dan sang suami.
"Enggak, Bapaknya di rumah, kerja shift siang," jawab Mbak Mimi menceritakan tentang putranya yang berusia empat tahun dan suaminya yang bekerja sebagai security di salah satu pusat perbelanjaan.
Mbak Mimi memang kerap membawa putranya ke rumah Hita kalau bapaknya tidak ada di rumah, Hita sama sekali tidak keberatan ia malah senang karena anak kecil itu bisa membuat rumah yang biasa sepi menjadi lebih ramai.
"Mbak Hita udah tau?" tanya Mbak Mimi pada Hita yang sedang mencuci piring bekas makannya.
"Enggak, 'kan, Mbak Mimi belum kasih tau," jawab Hita tanpa menghentikan kegiatannya.
"Rumah sebelah udah ada yang sewa lagi," jawab Mbak Mimi yang sudah mulai menyapu lantai.
"Oh, ya? Bagus, deh, biar rumahnya enggak kosong lagi," jawab Hita sembari membilas piring dan gelas yang sudah ia sabuni, rumah yang berada tepat di sebelahnya milik ketua RT setempat memang tidak ditempati pemiliknya dan sengaja disewakan, sebulan yang lalu penyewa lama pindah karena sudah membeli rumah dipinggiran kota Jakarta.
"Kenapa? Mbak Hita takut, ya, tetanggaan sama rumah kosong, takut ada hihihihihi," ujar Mbak Mimi sambil menirukan gaya tertawa hantu fenomenal di Indonesia yang kerap kali nangkring di atas pohon.
"Ih, apaan, sih. Malah Mbak Mimi yang persis hihihihihi," jawab Hita, lalu keduanya tertawa bersama.
"Udah, ah, aku mau mandi terus dandan cantik, terus kerja," ujar Hita sambil melenggang ke dalam kamarnya.
"Alah, dandan cantik, kayak kerjanya keluar rumah aja, orang kerjanya Mbak Hita cuma di dalam kamar, ruang tengah, ruang tamu sama meja makan aja, kok!" jawab Mbak Mimi sambil tertawa, Hita yang sudah berada di dalam kamar tetapi masih bisa mendengar ucapan Mbak Mimi juga ikut tertawa. Mbak Mimi sudah hafal benar apa pekerjaan Hita ia bahkan salah satu pembaca setia n****+-n****+ karya Hita.
* Dita Andriyani *
Hita meninggalkan laptop yang sudah ia matikan di kamar, menulis selama lebih dari satu jam di dalam kamar membuat dirinya merasa membutuhkan udara dan minuman segar, hingga dapur menjadi tempat tujuannya untuk membuat segelas jus nanas.
"Mbak, Mbak Hita. Akhirnya Mbak Hita keluar juga," ucap Mbak Mimi yang terlihat gembira melihat Hita berada di dapur, tentu saja tingkah wanita yang sedang menyetrika itu membuat Hita mengerutkan kening. Biasanya kalau ada hal yang penting Mbak Mimi tidak akan segan-segan memanggilnya di kamar, berarti tidak ada yang penting tetapi kenapa tingkah Mbak Mimi seolah ada sesuatu yang begitu penting.
"Ada apa, sih, Mbak?" tanya Hita yang tengah memasukkan potongan buah nanas dari kaleng ke dalam blender.
"Mbak, tetangga baru kita, yang tinggal di rumah sebelah itu ternyata ganteng banget, Mbak!" ucap Mbak Mimi berapi-api, Hita tersenyum lebar melihat tingkahnya.
"Ih, Mbak Mimi genit, nanti aku bilangin Pak Supri, loh!" ancam Hita menyebutkan nama suami Mbak Mimi yang juga sudah di kenalnya tentu saja, sudah tiga tahun Mbak Mimi bekerja pada mereka.
"Eh, bilangin aja, toh aku juga cuma mengagumi. Karena di emang ganteng, Mbak. Hidungnya mancung, bibirnya seksi, matanya jernih, kulitnya putih, badannya tinggi, rambutnya coklat, namanya—."
Derrtttt ... suara bising dari blender membuat Hita tidak bisa mendengar sebuah nama yang Mbak Mimi sebutkan.
"Dasar ganjen!" ledek Hita setelah Mbak Mimi selesai menyebutkan berbagai kelebihan lelaki tetangga baru mereka, Mbak Mimi hanya mencibirkan bibirnya.
"Istrinya cantik?" tanya Hita mengingat biasanya yang menyewa rumah itu adalah seseorang yang sudah berkeluarga karena rumah itu lumayan besar tidak jauh berbeda dengan rumah Hita.
"Enggak tau, dia bilang cuma tinggal sendirian. Bisa jadi dia masih bujangan," jawab Mbak Mimi yang tetap konsentrasi menyetrika kemeja biru milik suami Hita.
"Ih, Mbak Mimi kenalannya nanggung!" ucap Hita.
"Ya masa nanya-nanya begitu, 'kan, kurang sopan, Mbak," jawab Mbak Mimi membela diri, Hita tidak lagi menanggapinya ia malah nyelonong keluar rumah membawa jus nanas yang sudah ia taruh di gelas, rencananya ia juga ingin menyapa tetangga barunya siapa tahu dia ada di luar rumah.
Halaman rumah Hita dan rumah itu hanya dipisahkan oleh pagar besi, tetapi teras mereka disekat dinding hingga jika dari teras mereka tidak bisa saling melihat harus ke halaman yang biasa di pakai untuk memarkirkan mobil, tetapi Hita tidak melihat ada sebuah mobil terparkir di halaman rumah itu hanya sebuah sepeda motor sport berwarna hitam.
"Bisa jadi emang bener yang Mbak Mimi bilang kalau yang tinggal di sebelah masih bujangan, motornya khas anak muda banget," gumam Hita yang lalu memasukkan sedotan ke dalam mulutnya menikmati kesegaran dari jus yang ia buat.
Hita sibuk menatap jus yang semakin berkurang seiring hisapannya hingga tidak memperhatikan ada seseorang yang berdiri bersandar pada pagar pembatas rumahnya dan rumah sebelah.
"Selamat pagi menjelang siang, cantik!"
Hita hampir tersedak dan menyemburkan jus dari dalam mulutnya menyadari siapa yang menyapanya dengan senyuman tengil khasnya itu.
"Arutala?"
Uhuk ... uhuk ... uhuk ....
Hita semakin terbatuk-batuk karena menyebutkan nama pemuda itu kembali membuatnya tersedak.
"Jika menyebut namaku hanya akan membuat napasmu tercekat seperti itu, maka sebut saja namaku dalam hatimu. Karena sesuatu yang berasal dari hati adalah sesuatu yang lebih bermakna."
Hita semakin mendelik mendengar apa yang pemuda itu ucapkan.
"Sedang apa kamu di sini?" tanya Hita sambil menaruh gelasnya di meja kecil yang ada si sebelah.
"Anggaplah aku adalah seorang pujangga yang berjaga di bawah jendela istana seorang ratu yang akan selalu kupuja, lirik dan syair yang kuucap akan selalu mengisi ruang kosong dalam hatimu wahai Senja Suraduhita." Kini kedua mata Hita yang membola berpadu dengan gelengan kepala, lalu helaan napas malas. Hita langsung bangun dan berjalan menuju pintu rumahnya. Masuk.
"Kita sekarang tetangga, siapkan hatimu untuk selalu bertemu denganku, juga siapkan hatimu sebagai tempat bernaungku." Hita masih bisa mendengar apa yang pemuda aneh itu ucapkan, wanita itu langsung ke dapur untuk mencuci gelas lalu berencana berganti pakaian karena bajunya kotor terkena semburan jus nanas.
"Gimana, Mbak. Udah liat? Ganteng, 'kan!" ucapan Mbak Mimi membuat kepala wanita itu semakin terasa berputar-putar.
* Dita Andriyani *
Hita dan sang suami sedang menikmati makan malam, baru saja mulai saat keduanya mendengar suara ketukan di pintu.
"Biar aku aja yang buka," ucap lelaki yang sudah mengenakan pakaian santai sambil meninggalkan meja makan, Hita hanya diam menunggunya hingga beberapa lama sang suami tidak kembali ia putuskan untuk menyusul ke ruang tamu melihat siapa yang datang.
"Siapa, Mas?" tanya Hita, lalu lidahnya kelu melihat siapa yang berdiri di hadapan sang suami mengobrol hangat dengannya.
"Eh, ini, tetangga baru kita. Dia ke sini untuk memperkenalkan diri dan ngasih kita oleh-oleh. Ini gudeg." Hita hanya tersenyum melihat kantung plastik yang suaminya tunjukkan. "Kalian udah kenalan?"
"Udah, kebetulan kami sama-sama penulis di platform yang sama," jawab Arutala.
"Oh, kebetulan sekali, jadi Hita punya seseorang untuk diskusi mengenai pekerjaannya. Oh, iya ngomong-ngomong kita yang belum kenalan." Suami Hita membuat pemuda itu tersenyum lebar lalu menjabat tangannya.
"Fajar."
"Yassa."
.
"Ayo kita makan malam bersama, sepertinya kita akan menjadi tetangga yang baik. Aku lihat kamu punya sebuah motor sport yang juga menjadi kesukaanku dulu, dan kamu memiliki profesi yang sama dengan Hita. Pasti obrolan kita akan menjadi obrolan yang menyenangkan!" Hita hanya menatap dalam diam sang suami yang merangkul bahu pemuda itu mengajaknya makan malam bersama.