Penegasan

1880 Kata
Frame foto itu terbingkai dengan bingkai berwarna emas dengan ukiran-ukiran klasik yang terlihat sangat indah. Didalamnya terdapat foto James yang sedang merangkul pinggangku dalam balutan gaun pengantin  yang kugunakan beberapa hari yang lalu di pesta pernikahanku dan apa itu? Aku dan James sedang tersenyum dalam foto itu?! Foto itu menggambarkan seakan-akan kami adalah pasangan pengantin  paling bahagia didunia. James menatapku dengan senyuman menawannya dan aku juga tersenyum menatapnya dengan tangan kananku yang menyentuh d**a bidangnya, dan tangan kiriku yang menggenggam buket bunga. Bagaimana mungkin foto ini begitu cepat berada disini?! Aku langsung teringat bagaimana ayahku, tuan Scoot dan tamu undangan meneriakiku dan James untuk saling berangkulan mesra. Suara Corie terdengar sangat keras saat ia menyuruhku  agar tersenyum dan menatap mata James ketika pria itu merangkul pingangku  dan entah apa yang terjadi saat itu hingga aku melakukan semua perintah itu pada saat fotografer yang menurut Corie merupakan salah satu fotografer terbaik dan ternama di London itu mengambil gambarku dan James dari berbagai macam sudut. Kuputuskan untuk mengabaikan foto itu. Badanku terlalu letih dan butuh sebuah ranjang untuk tubuhku berbaring. Kupandang ruangan tempatku berdiri saat ini. Ruangan ini didominasi oleh warna putih, cokelat muda dan hitam. Gaya minimalis modern membuat ruangan ini semakin terlihat maskulin seperti pemilikinya. Kuedarkan mataku, mencari ruangan dimana aku dapat menemukan sebuah ranjang. Kutarik koperku  saat kulihat sebuah pintu cokela gelap yang tertutup rapat. “Permisi..” ujarku pelan nyaris berbisik. Untuk apa aku meminta ijin saat aku tahu kalau aku satu-satunya manusia yang ada dalam penthouse ini? Pintu ruangan itu tak terkunci dan aku segera masuk kedalam ruangan yang membuatku dapat bernafas lega saat melihat ada sebuah ranjang putih besar yang berada didekat jendela kaca besar ruangan itu. Kuputuskan untuk masuk kedalam ruangan bercat abu-abu  itu. Kuedarkan seluruh  pandanganku mencari identitas dari pemilik kamar ini, namun sayangnya satu-satunya petunjuk yang kutemukan hanyalah sebuah meja kerja dengan map-map hitam yang tersusun rapi yang dengan jelas menegaskan kalau ini adalah kamar tidur milik James. Apa aku harus tidur dikamar ini? Badanku terlalu letih untuk menjawab pertanyaan itu dan kuputuskan untuk berbaring diranjang putih besar yang terlihat sangat nyaman itu. “Lebih baik aku tidur disini daripada di sofa hitam besar di ruang tamu tadi. Lagipula James juga baru akan pulang esok hari...” Entah karena tubuhku yang terlalu letih atau ranjang ini yang terasa begitu nyaman, hingga tak berapa lama setelahku membaringkan tubuhku, aku langsung  terlelap dan terbuai kedalam alam mimpiku.   *** Mataku marasakan kilauan yang menyilaukanku saat aku berlahan membuka kedua mataku yang masih terasa begitu  enggan untuk terbuka. Jam berapa ini? tanyaku dalam pikiranku. Aku menarik handphoneku yang kuletakkan kemarin malam di atas meja kecil disebelah ranjangku berbaring. Angka digital pada layar jam itu menunjuka pukul 09.12 pagi. Kuletakkan handphoneku itu lagi dan menarik selimut untuk membungkusku kembali. Walau sudah tertidur hampir 11 jam, aku masih merasakan kantuk yang sangat luar biasa dan juga rasa malas untuk beranjak dari tempat tidur ini hingga kuputuskan untuk tetap berada diranjang ini beberapa menit lagi.  Aku membalikkan posisiku kearah berlawanan agar wajahku tak terkena kilauan sinar matahari yang membuatku terbangun itu. “Selamat pagi…” “Pagi…” aku membalas pelan suara berat yang terdegar dari hadapanku itu tanpa membuka mataku.  Rasanya ini seperti mimpi. Iya, ini pasti mimpi. Aku mencoba membawa diriku kembali kedalam kehangatan selimutku. “Apa kau tak ingin sarapan?” suara berat itu tertangkap lagi ditelingaku. Ini terdengar tak seperti mimpi dan aku merasa seperti mengenal suara itu. Oh Tuhan! Aku membuka mataku seketika dan melihat sosok seorang pria dengan wajah sangat menawan menggunakan kaos putih tipis yang membuat otot-otot tubuhnya terlihat jelas, sedang tersenyum kearahku. “James!” teriakku terkejut dengan penampakan itu. Aku segera bangun dari posisi tidurku. “Bagaiman bisa kau disini?!” tanyaku masih dalam posisi terkejut dan segera melihat pakaianku yang  masih melekat sempurna ditubuhku. Aku tak pernah menginginkan hal paling bodoh terjadi padaku seperti kisah dalam film-film  yang kutonton yaitu ketika seorang wanita  terbangun  pagi-pagi, wanita itu melihat sosok pria tanpa busana sedang berbaring disebelah tubuhnya yang  juga tak mengenakan apapun ditubuhnya. Lalu wanita itu hamil dan akhirnya menikah, dan merekapun  hidup bahagia selama-lamanya… Well, aku memang sudah menikah sekarang, tapi jangan berharap ada adegan hamil dan hidup bahagia selama-lamanya, karena aku akan segera mengakhiri  pernikahan ini! Dan ayolah…. Itu hanya serangkaian kisah tak masuk akal yang menghipnotis para penontonnya   tentang kehidupan tak nyata yang terlihat seakan-akan nyata dan indah. Buktinya adalah teman kuliahku sendiri yang  pernah  mabuk dengan seorang pria yang baru dikenalnya, dan ketika terbangun dari tidurnya,  ia mendapati dirinya telanjang bulat dengan pria itu. Lalu apa? Bukannya menikah ketika mengetahui dirinya hamil. Pria itu malah menghilang dan temanku itu harus mengaborsi bayinya. Bukti lain? Kenalanku, Odell yang terbangun pagi-pagi dan menemukan dirinya bersama kekasihnya tidur bersama, namun bukannya menikah ketika ia tahu dirinya hamil! Mereka malah putus dan Odell   membesarkan bayinya seorang diri tanpa seorang suami… Bukti lain lagi? Bibiku, Angie, terpaksa harus menikah dengan pacarnya ketika ia masih muda karena ia hamil. Namun sayangnya pernikahan itu berakhir ditengah jalan, padahal mereka sudah dikarunia dua anak. “Kau melamunkan apa?” James yang sudah terduduk disebelahku, menyadarkanku dari lamunannku. Aku tak menjawab pertanyaan James karena teringat akan pertanyaanku yang belum dijawab olehnya. “Kau sendiri? Bagiamana kau bisa disini?” “Ini kamarku..” jawabnya polos. Oh bagus! Kini aku merasa benar-benar malu. Aku lupa kalau aku berada dikamar pria itu. Dengan cepat aku segera beranjak dari atas ranjang, menyembunyikan wajahku . Aku yakin, pasti saat ini James sedang menahan tawanya, mendengar pertanyaan bodohku itu. “Kamar mandinya disana…” James menunjuk pintu berwarna hitam kaca didalam kamar itu. “Ehm…” aku segera melangkahkan kakiku menuju kamar mandi itu. *** Kutatap sosok seorang pria yang tengah sibuk menyiapakan peralatan makan diatas meja makan marmer berwarna hitam. Pria itu tak lagi menggunakan kaos putih tipisnya. Kaos lengan panjang hitam  kini menggantung indah di tubuh pria itu. Ia mengaduk-ngaduk sesuatu diatas pan sambil bersenandung kecil, menyanyikan lagu yang tak kukenal dengan wajah yang terlihat begitu berseri. “Alexis… kemarilah! Aku telah memasak sarapan untuk kita berdua..” pria itu segera memanggilku saat menyadari sosokku sedang menatap dirinya. Aku tak pernah tahu kalau ia bisa memasak dan masakannya terlihat sangat luar biasa walau itu adalah masakan sederhana. Dua telur mata sapi tertata sempurna diatas dua piring putih yang diatasnya juga sudah terdapat masing-masing dua potong sosis yang sepertinya baru saja diangkat dari pan. Didepan kedua piring itu terdapat piring lain berisi empat potong roti bakar dan juga mangkuk yang berisikan salad sayuran yang membuat air liurku ingin menetes. “Aku harap kau suka dengan sarapan yang kubuat ini…” James meletakkan segelas orange jus segar di depanku yang masih tak mampu berkata apapun melihatnya. Wanita mana yang tak meleleh jika diperlakukan seperti ini? Pria ini melebihi batas dari pria idaman wanita. Dia tampan, pintar, kaya, memiliki tubuh yang indah, terkenal dan juga pandai memasak… Aku yakin walaupun banyak wanita yang mengetahui kalau dia adala seorang playboy sekalipun, mereka pasti masih dengan rela melempar diri mereka kepada pria ini… Hentikan Alex! Aku menghilangkan rasa terpesonaku pada James yang tengah asik menikmati kopi hangatanya. “Makanlah.. Atau kau ingin aku suapi?” ia meletakkan cangkir kopinya dan mendekatkan piring makanku kearahku. “Baiklah…” jawabku kikuk sambil menyuapi sesendok salad segar dengan rasa yang sangat luar biasa kedalam mulutku. “Enak..” ujarku pelan yang tanpa kusangka didengar oleh James. “Syukurlah kau suka. Aku belum pernah memasak untuk seorang wanita jadi aku tak tahu harus menyediakan sarapan seperti apa untumu..” ujarnya dengan senyuman yang membuatku semakin tak konsentrasi. Tunggu… Apa tadi maksudnya, aku adalah wanita pertama yang mencicipi masakannya ini? Aku pasti salah dengar dan aku tak ingin mengorek hal itu lebih dalam lagi. *** Sesi sarapan tadi pagi jauh dari bayang-bayangku. Pagi ini aku berencana untuk merayu James  lagi soal rencana perceraian kami, namun hal itu malah tergantikan oleh sarapan luar biasa yang membuatku hingga sekarang masih mencuri lirik ke pria yang tengah serius menatap layar laptopnya dan mengabaikan acara TV didepannya. Kubaringkan tubuhku diatas kursi kayu di serambi yang membawaku seperti sedang berada diatas awan-awan setelah hampir 30 menit merileksasikan diri dari kelelahanku. Siang ini beberapa barang-barangku memang dipindahkan dari apartemen lamaku dan aku harus  mengatur  didalam kamar baruku. Yah, Setelah perdebatan singkat antara aku dan James, aku mendapatkan sebuah kamar terpisah dari kamar James yang ukurannya tak lebih besar dari kamar pria itu namun dengan desain yang tak kalah mengagumkan dan tentunya itu terasa jauh lebih nyaman dibandingkan aku harus seranjang dengan pria itu. Aku tengah serius menatap kalender dilayar handphoneku saat handphoneku bergetar dan layarnya menunjukan nama pria yang membuatku bangkit berdiri dan gugup seketika. Dengan cepat kumenerima panggilan itu, takut panggilan itu akan terputus. “Hai Alex..” terdengar suara pria yang sangat kurindukan itu menyebut namaku dengan sangat manis. “Hai Bill! Ada apa?” tanyaku penasaran mengetahui alasan pria itu menelponku. “Apa acara keluargamu sudah selesai?” aku menggigit bibir bawahku mendengar pertanyaan itu. Aku merasa benar-benar bersalah sudah membohongi pria sebaik Billy soal pernikahanku. Sebenarnya bukan hanya Billy, namun semua teman kerjaku memang tak mengetahui soal pernikahanku, karena aku tak ingin mereka menjadi heboh terutama Billy, yang bisa menjadi semakin sulit untuk ku jangkau. “Iya, acara keluargaku sudah selesai dan aku juga berada di London kembali.” ucapku masih dengan rasa bersalah. “Cloe sangat merindukanmu dan ia ingin kau bergabung datang malam bersama kami malam ini. Apa kau bisa?” “Tentu! Aku akan datang!” jawabku dengan sangat bersemangat sambil terus membayangkan wajah tampan Billy dan juga wajah manis putrinya Cloe yang sudah hampir 3 bulan ini sangat dekat padaku sejak pertemua pertama kami ditaman dekat apartemenku. “Oke! Sampai jumpa dirumahku, Alex!” Billy mematikan teleponnya dan dengan cepat aku langsung berlari masuk kedalam dan menutup pintu kaca serambi tempatku bersantai tadi. *** “Na…na….na…” aku bersenandung penuh semangat malam ini. Dress peach pendek  dengan motif-motif  bunga kecil yang kugunakan membuatku terlihat anggun walaupun dress ini termasuk dress yang sangat sederhana. Kupasang sepatu hak pendekku lalu kugantungkan tas tanganku  dan kembali lagi menatap bayanganku pada cermin panjang didekat pintu  keluar. “Kau mau kemana?” suara yang tiba-tiba terdengar itu berhasil mengagetkanku. “Makan malam dirumah temanku.” jawabku acuh tak acuh. “Terus bagaimana denganku?” “Soal apa?” tanyaku bingung. “Makan malamku..” ucapan pria itu membuatku mengalihkan pandanganku kearahnya. Aku mengerutkan keningku karena bingung. Bukankah dia jago memasak? Mengapa ia harus bertanya soal makan malamnya kepadaku? “Terserah kau! Kau bisa memasaknya sendiri ataupun memesannya atau… kau bisa makan diluar.” “Aku akan telat! Aku pergi!” aku segera berjalan kearah pintu dan akan membuka pintu saat James lagi-lagi membuatku jengah padanya. “Aku akan ikut denganmu!” “Apa?!” tanyaku terkejut. Apa dia ingin membunuhku? Lebih baik dia mendorongku kedalam jurang daripada aku harus membawanya bersamaku untuk bertemu dengan Billy. “TIDAK BISA! Kau tidak bisa pergi denganku!” “Kenapa? Atau tunggu… teman yang kau maksud itu bukan Corie atau Lisa? apa dia seorang pria?” James memicingkan matanya, menatapku dengan penuh selidik. “Iya!! Dan pria ini adalah pria yang spesial untukku” kurasa kalimat itu cukup untuk menjelaskan alasan James tak bisa ikut denganku malam ini. “Kau ingatkan perjanjian kita? kalau kau akan membebaskanku untuk berhubungan dengan siapapun dan kuharap kau mengingat juga kalau aku tak pernah menginginkan pernikah ini!” kutegaskan kembali apa yang sudah kuungkapkan dulu padanya dan menekankan suaraku pada kalimat tak menginginkan pernikah in itu. James tak mengatakan apapun, namun dengan mudah aku dapat melihat kekecewaan yang muncul di wajahnya. Mata cokelatnya yang berbinar berubah redup dan terlihat kosong. Ia bahkan tak mengatakan apapun saat aku pergi meninggalkannya dengan sebuah perasaan tak nyaman yang mengganjal hatiku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN