CHAPTER 6

1263 Kata
(Masih) Alfredo POV Ketika Nadi mulai tenang, aku menyuruhnya untuk istirahat kembali. Awalnya dia memaksa karena ingin mandi, tapi melihat tatapanku yang sedatar setrika, entah bagaimana akhirnya Nadi mengalah. Setelah hanya mencuci wajah, Nadi tidur kembali. Saat ini aku masih menatapi wajahnya yang sendu dan damai. Mungkin sebagian bebannya sedikit berkurang saat menangis tadi. Dan saat ini, beban itu ada padaku. Masih dengan kertas medis di tangan, suara pintu dibuka terdengar. Theo sepertinya datang. “Ada apa dengan Kak Nadi?” tanya Theo, kulihat wajahnya dipenuhi peluh, sepertinya dia nekat datang ke sini karena aku tidak memberi kabar lanjutan setelah menelfonnya tadi. “Dia di dalam?” tambahnya lagi. Aku mengangguk dan memberinya ruang untuk melihat Nadi. Theo menghampiriku dan duduk di sofa ruang tamu. Dia meraih surat yang kuserahkan padanya. Setelah membaca, Theo menghela nafas terlihat tidak heran dan sudah mengetahui hal ini. “Aku sudah melihat kertas ini beberapa hari lalu. Saat itu juga Kak Nadi sedang menangis, paginya aku melihat surat ini di laci mejanya. Mengingat sifatnya, ku pikir hal ini akan dirahasiakan dari mu untuk sementara kak,” ucap Theo, wajahnya terlihat murung. “Jadi apa yang akan kau lakukan, Kak Al?” tanya Theo untuk memastikan tindakan ku selanjutnya. Akhir dari situasi ini biasanya antara pasangan tetap mendukung atau malah pergi dan memilih zona nyaman. Dan tentu saja pilihan kedua bukan gayaku sama sekali. “Aku sudah menghubungi salah satu kenalanku yang juga seorang dokter spesialis di bidang ini. Kemungkinan Nadi untuk sembuh masih di atas 50%. Kuharap kau tidak keberatan jika aku membawa Nadi terapi ke sana dan kalau diperlukan aku akan menikahi Nadi secepatnya,” terangku mencoba untuk tidak basa basi. Sudah kuputuskan untuk tetap berada di samping Nadi, apapun yang terjadi. Bahkan jika dunia menolak sekalipun. Theo terkejut. “Tapi, Kak Al. Setelah apa yang terjadi aku tidak yakin Kak Nadi masih mau bersama denganmu. Kemungkinan besar rasa rendah dirinya akan membuat Kak Nadi menolak usulanmu kak Al,” seru Theo khawatir. “Merupakan tugasmu juga untuk meyakinkannya, jika pun usulanku menikahinya ditolak, Nadi tetap perlu menjalani penyembuhan.” Aku berdiri dan segera membereskan barang-barangku. “Aku akan kembali ke kantor dulu, nanti sore aku ke sini lagi. Jagalah Nadi dulu,” Aku berjalan menuju pintu. “Apa kau sudah izin tadi?” tanyaku lagi. Theo mengangguk. “Baiklah, aku pergi dulu. Sampaikan pada Nadi bahwa aku akan tiba nanti sore,” *** Aku sudah memikirkan semuanya, mulai dari kemungkinan penolakan Nadi sampai tingkat keberhasilan pengobatan. Sebagai pria yang punya prinsip, aku tidak akan membuat orang lain meragukan perkataanku hingga perasaanku kini. Saat ini aku masih duduk, menunggu dengan sabar mahluk di depanku ini hingga selesai dengan urusan pribadinya. “Sudah selesai. Katakan apa urusanmu menemuiku!” ucapnya. Rambutnya yang sebahu terhempas ketika kepalanya menoleh ke arah jendela kaca. “Aku ingin Nadi secepatnya bisa menjalani terapi seperti yang sudah kau jelaskan sebelumnya. Bagaimana pun caranya, buat dia bisa sembuh!” titahku tak sabar. Memang kalau sudah menyangkut masalah Nadi, segala kesabaran dan kontrol diriku akan hilang. Sosok di depanku itu melipat kedua tangannya di bawah d**a. Dia mengangkat alis dan menatapku dengan jengkel. “Bisa kau tunjukkan pasiennya, Tuan Patibrata yang terhormat? Kau begitu tidak sabaran kali ini,” desisnya mengarahkan kedua tangan menunjuk ranjang pasien di sebelah kami yang kosong melompong. “Aku akan membawanya ke sini dalam waktu dekat. Bagaimana pun, Nadi masih terguncang dengan kenyataan yang dihadapinya,” terangku, masih belum menurunkan nada suara yang terkesan memerintah. Mendengar kalimatku, dia tertawa renyah. Masih dia satu-satunya mahluk yang berani menujukkan senyum meremehkan itu. “Hei, Tuan. Kalau begitu, pulang sana. Akan kutangani kekasihmu itu dalam waktu dekat begitu kau membawanya kemari.” Setelah mengatakan itu, dia menggeser kursi nya membelakangiku. Tepat di sana, ada lemari yang terisi dengan banyak buku. “Baiklah,” ucapku setelah sadar bahwa aku terlalu mengebu-gebu dan tidak sabaran. “Hei, Al. Kalau kau serius ingin menikahinya, kau tidak lupa kan harus meminta izin pada siapa?” Langkahku tertahan mendengar pernyataanya. “Ya, Aku tau dan aku masih anak yang tau sopan santun,” ujarku lalu pergi meninggalkan tempat itu. *** Setelah kembali ke kantor, aku mengisi absensi dan memantau latihan yang sedang dilakukan oleh anggotaku. Meski tidak ada yang mengawasi mereka, tapi mereka melakukannya dengan baik. Saat ini, pandanganku sedang tertuju pada meja kerja yang terisi dengan foto Nadi. Di sana dia sedang duduk menikmati secangkir jus dan terkejut dengan orang yang memoto. Gaya yang terlihat natural dan manis. Melihatnya lagi membuat jantungku berdebar, sekaligus mengingatkanku pada rintangan yang harus kami hadapi bersama. Aku harap, kegigihanku tidak akan goyah untuk meyakinkannya kembali tentang kesetiaanku. Dan sudah kuputuskan untuk mengambil jeda sementara agar aku bisa mencurahkan waktu dan perhatianku padanya. Dengan itu, aku menandatangi surat keterangan yang ada di meja lalu menyerahkannya pada pihak administrasi. “Apa Nadi sudah bangun?” tanyaku pada Theo yang masih duduk di sofa. Setelah melihatku kembali ke dalam flat, Theo tidak bisa menyembunyikan raut wajah terkejutnya. “Tas ini berisi perlengkapan sementara. Aku akan di sini menemani Nadi sampai dia siap untuk menjalani pengobatan,” ucapku mengerti arti tatapan bertanya Theo pada tas hijau yang kuletakkan di lantai. “Oh, baik kak,” Theo mengangguk mengerti. “Kau tidak perlu datang ke sini lagi.” Nadi yang baru keluar dari kamar membuatku tertegun. Penampilannya sudah kembali segar dan dia bahkan memakai seragam kerja. Gadis itu berjalan mendekat tapi tidak sampai tepian sofa, dia sengaja menjaga jarak. Aku mendekat untuk menjelaskan maksudku padanya. “Dengar Nadi,” “Tidak. Aku tidak akan mendengar apa pun dari mulutmu. Sebaiknya kau bawa barang-barangmu itu dan pergi karena aku sudah tidak membutuhkan mu lagi. Hubungan kita juga berakhir sampai di sini,” ucapnya dingin. Aku menggeleng, menahan lengan Nadi yang hendak masuk lagi ke dalam kamar. Aku takut, jika tangan itu sampai kulepaskan, maka dia akan mengunci pintu dan mengurung diri di sana. “Dengarkan dulu dengan kepala dingin, Nadi. Aku di sini untuk menemanimu, jika kau tidak nyaman kau bisa bilang padaku. Tidak perlu sampai memutuskan hubungan segala. Kita akan menghadapi ini bersama.” Nadi berdiri tegap dan menepis tanganku hingga lepas. Dia berbalik menghadapku. “Ada apa denganmu, Al? Tidak biasanya kau bicara sebanyak ini padaku. Apa kau merasa kasihan sehingga kau mau menjadi baby sitter ku di sini?” ucap Nadi dingin. “Apa nanti setelah tidak ada harapan untuk sembuh, kau masih bertahan di sini? Sebaiknya waktumu tidak kau buang sia-sia dengan orang rusak seperti aku, Al. Gunakan saja waktu berhargamu untuk mengejar karier dan wanita yang lebih baik di luar sana.” Nadi memilih kata-kata yang salah karena setelah mendengarnya bicara, kepalaku mendidih. Tanganku yang tadi ditepisnya kembali mencengkram lengannya, hingga Nadi sedikit meringis. Dari dekat, Mungkin Theo bisa merasakan pertanda kesabaranku yang mulai habis. “Sebenarnya ada apa denganmu?” desisku. “Kenapa kau tiba-tiba bicara tidak masuk akal begitu?” Nadi kaget karena bentakanku, tapi sedetik kemudian dia mencoba bersikap seperti biasa. Nadi akhirnya mengangkat kepala dan menatap lurus ke dalam mataku. “Aku ini barang rusak. Dan dengan penyakit itu, aku naik level menjadi barang rongsokan yang tidak berguna. Kau puas?” lolongnya. Aku sendiri tertegun melihat air mata yang meleleh di pipi Nadi. Apa maksudnya barang rusak? Apa maksudnya itu? Dan saat aku masih sibuk dengan pikiranku sendiri, Nadi sudah melepaskan tanganku dan masuk kembali ke dalam kamar. Aku terus mencoba memutar daun pintu sembari menyebut namanya. Theo menepuk bahuku, “Kak Al, sebaiknya kita biarkan kak Nadi menenangkan diri dulu. Ini memang sulit untuk kalian berdua, tapi kuharap kau mau sedikit lebih sabar menghadapi kakakku.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN