bc

Pernikahan Sandiwara

book_age16+
114
IKUTI
1K
BACA
contract marriage
goodgirl
student
drama
sweet
bxg
serious
female lead
campus
spiritual
like
intro-logo
Uraian

Rifta Ekaputri menerima pernikahan dengan Dannis Hariwijaya untuk membayar hutang orang tuanya dan biaya pengobatan ibunya. Dia harus berpura-pura menjadi orang kaya agar orang tua Dannis percaya dan menerima pernikahan mereka.

Dannis yang sedang menunggu kekasihnya, Agnez kembali dari luar negeri, menolak perjodohan dengan wanita pilihan orag tuanya, dan akhirnya membuat kesepakatan dengan Rifta hingga terjadilah pernikahan sandiwara itu.

Awalnya semua berjalan lancar. Namun, perlahan tapi pasti rasa cinta mulai mengusik perasaan merkea berdua. Juga desakan orang tua untuk segera memiliki keturunan Hariwijaya, akhirnya mereka melanggar perjanjian dan melakukan malam pertama.

Ketika Rifta positif hamil, Agnez kembali dari luar negeri, tetapi Rifta tidak memebritahukan perihal kehamilannya. Dannis yang telah jatuh cinta pada Rifta tidak memiliki semangat lagi untuk memperjuangkan Agnez. Tapi, berita mengejutkan kembali menimpa mereka, Agnez juga tengah hamil. Dannis pun mengalami dilema untuk mempertahankan pernikahannya atau mengakhirinya, di sisi lain ia terlanjur mencintai Rifta.

Bagaimana Rifta menyikapi segala hal tersebut? Bagaimana pernikahan mereka?

Simak kisah lengkapnya dalam novel "Pernikahan Sandiwara".

Jangan lupa Tap Love

chap-preview
Pratinjau gratis
Kita Menikah
"Kak, rentenir sudah nagih utang bapak lagi, sakit ibu jadi kambuh. Sekarang aku lagi di rumah sakit." Rifta memejamkan mata membaca pesan Rizka, ia sudah membayangkan bagaimana kondisi ibu dan adiknya itu di kampung halaman. "Iya, Riz. Kasih aku waktu sedikit lagi, aku pasti dapat uang buat bayar utang dan biaya rumah sakit ibu. Kamu tolong jaga ibu baik-baik, ya," pesan Rifta menenangkan, meski sebenarnya ia tidak tahu harus mencari uang ke mana. Rifta hanya dua bersaudara dengan Rizka, usia mereka terpaut tiga tahun. Ia dengan keberuntungannya sebagai siswa cerdas berhasil mendapatkan beasiswa di sebuah universitas di Jakarta, sekarang usianya sudah menginjak 22 tahun dan sedang memasuki masa akhir kuliahnya. Sementara adiknya, mengalah untuk menganggur satu tahun demi merawat sang ibu yang sedang sakit. Rifka berjanji, jika ia sudah menyelesaikan studinya, ia akan bekerja dan membiayai Rizka kuliah di mana pun ia kehendaki. Sebagai anak tertua, Rifta menjadi harapan satu-satunya dari ibu dan adiknya. Ia kerap mengirimkan uang dari hasil kerja sampingan sebagai pengarang novel di beberapa platform online. Dia bukan penulis famous, sehingga pendapatannya tidaklah seberapa. Rifta menatap layar laptopnya. Sekarang ia sedang dikejar deadline untuk menyelesaikan kuliahnya tahun ini, karena pihak pemberi beasiswa hanya memberikan tenggat waktu maksimal empat tahun dan sekarang sudah tahun keempat masa studinya. "Kemana aku harus mencari uang?" Rifta mengurut kepalanya yang terasa pening. Ia membuka-buka saldo ewallet-nya, semuanya sudah kosong. Uang di ATM-nya juga tidak banyak lagi, hanya cukup untuk biaya makan sehari-hari di kos-kosan. Ia menghela napas kasar. Kembali mengingat mendiang ayahnya yang meminjam uang kepada rentenir untuk membuka bisnis, tetapi sayang, ayahnya meninggal dalam kecelakaan dan uangnya raib entah siapa yang tega mengambilnya. Sepertinya nasib baik belum berpihak pada keluarganya. Rifta mulai bersiap, waktu sudah menunjukkan pukul 07.30 pagi, ia harus segera ke kampus. Meski hujan rintik-rintik, dosen mata kuliah pertama tidak akan absen dan memberi izin pada mahasiswanya. Ia mengenakan gamis longgar dark grey, jilbab panjang sepinggang dengan warna senada, dan terakhir memakai almamater kebesaran kampus di luar jilbabnya. "Semoga hari ini dapat rejeki nomplok," ucapnya penuh harap. *** Rifta turun dari bus dengan tergesa, ia hampir terlambat. Dosen pagi itu sangat tepat waktu. Ia terus berlari sambil berdoa semoga Pak Leonard belum tiba di kelasnya. Brugh! Karena tergesa-gesa, ia menabrak seseorang yang baru saja keluar dari sebuah ruangan. Pria itu terjatuh, begitu pun dengan dirinya, juga buku-buku, ponsel, dan semua barang yang mereka pegang jatuh berserakan di lantai. "Jalan pakai mata!" hardik pria itu keras. Rifta tidak menyela, ia yang salah dalam hal ini. Cepat-cepat ia mengumpulkan buku-buku miliknya, lalu milik pria itu. Setelah terkumpul semuanya, ia menyerahkan pada pria yang hanya menontonnya tanpa membantu sama sekali. Lalu menyambar ponselnya. "Maaf, aku buru-buru," ucapnya, lalu berlalu pergi begitu saja meninggalkan pria itu masih terduduk dengan tumpukan buku-buku di atas pangkuannya. "Dasar cewek nggak tau diri!" rutuknya kesal. Rifta segera masuk ke dalam kelas beberapa detik sebelum dosennya masuk. Ia mengelus dada lega, kalau sampai terlambat lagi kali ini, ia bakal tidak diperbolehkan mengikuti ujian. Pasalnya, ia sudah dua kali tidak masuk karena terlambat juga. Ia merogoh ponsel di sakunya, ia harus me-silent-kan ponsel sebelum mata kuliah dimulai jika tidak ingin dikeluarkan paksa dari dalam kelas. Tapi, bola matanya seketika membulat saat mendapati ponsel di saku almamaternya bukan ponsel hitam murahan miliknya, melainkan sebuah ponsel hitam berkilat yang ia tahu harganya puluhan kali lipat dari harga ponselnya. "Haish, aku salah ambil ponsel? Bagaimana ini?" Ia panik sendiri, bahkan tidak konsentrasi menyimak materi yang dibawakan dosen di depan kelas. Pikirannya hanya dipenuhi ponsel mahal itu, bagaimana reaksi pria tadi jika mengetahuinya? Ia membaca sebuah nama di layar ponsel yang menyala itu, Dannis Hariwijaya. "Pake kode pula," gerutunya saat menyadari layarnya menggunakan kode. Beruntung ponsel itu dalam keadaan silent sehingga ia tidak perlu panik mencari tombolnya, sebab ponsel itu begitu mulus, nyaris tidak memiliki tombol. Sepanjang jam mata kuliah pagi itu Rifta sama sekali tidak bisa berkonsentrasi. Pikirannya terus tertuju pada ponsel di saku almamaternya. Ia bernapas lega saat jam pelajaran usai. Ia kembali mengambil ponsel mahal di sakunya, ada sebuah panggilan dari nomor yang tidak terdapat di kontak ponsel itu. Tapi ia mengenal nomor itu, nomornya sendiri. Cepat-cepat Rifta mengangkat telepon itu. "Halo," jawabnya. "Kamu gimana sih? Ngambil ponsel orang sembarangan! Mau nyuri ponsel aku?" tuduh Dannis tanpa klarifikasi terlebih dahulu. "Bukan, bukan begitu. Tadi aku buru-buru. Katakan di mana aku bisa kembalikan ponselmu ini?" Rifta membela diri. "Aku tunggu di belakang gedung olah raga sekarang!" ucap Dannis dan langsung memutuskan sambungan telepon. Rifta memandang ponsel yang sudah mati itu, ia berpikir berpuluh-puluh kali untuk mendatangi gedung olahraga. Untuk ke sana butuh kendaraan agar cepat sampai, pasalnya jarak gedung olahraga sangat jauh dari kelasnya saat ini. Lalu dia harus meminta tolong sama siapa? Semua teman-temannya sedang ke kantin. Akhirnya ia memutuskan untuk berlari menuju gedung itu, dia pernah juara lomba lari jarak jauh saat SD dulu, mungkin sekarang saatnya untuk mengasah kembali kemampuannya yang satu itu. *** Rifta nyaris kehabisan napas tiba di gedung olahraga, langkahnya terseok-seok berjalan menuju belakang gedung tempat Dannis berada. Ia langsung terduduk di kursi yang ada di sana ketika tiba di dekat Dannis. "Hei, kenapa kamu lama sekali? Aku punya banyak urusan, bukan hanya menunggumu!" protes Dannis, wajahnya cemberut saking kesalnya. "Sorry, aku tidak punya kendaraan. Ini ponselmu, ambillah. Meskipun aku tidak bisa membelinya, aku tidak berminat mencuri ponselmu," ucap Rifta masih dengan napas tersengal-sengal. Dannis mengambil ponselnya, lalu menyimpan dalam saku celananya. Dari penampilan saja semua orang sudah mengetahui jika Dannis berasal dari keluarga konglomerat. Pria itu begitu tampan dan bersahaja, tubuhnya tinggi dan terawat, pakaiannya jelas branded bukan murahan. Penampilan yang sangat jauh dari kehidupan Rifta yang sederhana. Tapi beberapa saat berlalu, Dannis tidak juga mengembalikan ponsel Rifta. Ia masih menimang ponsel itu sambil berjalan mondar-mandir seperti memikirkan sesuatu. "Mana ponsel aku! Apa kamu berminat dengan ponsel murahan itu?" Kini Rifta yang ganti memprotes. "Aku bukan berminat sama ponsel murahanmu itu, tapi aku berminat sama kamu," ucap Dannis. "Eh?" Rifta terbelalak kaget. Maksudnya apa coba bilang begitu? "Kamu butuh uang, kan? Dan aku butuh partner. Jadi saling menguntungkan. Simbiosis mutualisme," ucap Dannis dengan yakin, tetapi semakin membuat kening Rifta berkerut tajam. "Tadi adikmu menelpon, dia mengeluhkan soal biaya-biaya itu," imbuh Dannis. "Terus kamu bilang apa?" selidik Rifta, ia mulai merasa khawatir. "Aku bilang akan mentransfernya besok," jawabnya santai. "Apa?!" Rifta terpekik kaget. "Kita menikah dan aku akan membayar semua hutang dan biaya pengobatan ibumu." Dannis mulai mengutarakan maksudnya. Bisa-bisanya pria ini membicarakan pernikahan semudah itu? Batin Rifta terus terheran-heran. "Jangan besar kepala dulu, bukan menikah untuk serius, hanya di atas kertas saja. Aku sedang dijodohkan dengan wanita yang tidak aku sukai, sementara orang yang aku cintai sedang melanjutkan studi ke luar negeri. Aku harus menikah secepatnya agar orang tuaku tidak menjodohkan aku lagi. Dan aku harus menunggu calon istriku yang sebenarnya." Dannis menjeda ucapannya, ia mendekat ke arah Rifta. "Jadi jalan tengahnya adalah... menikah denganmu. Kita tidak akan saling menuntut hak masing-masing sebagai suami istri, yang penting sah di mata agama dan keluarga. Setelah urusan kita selesai, aku akan memberikan kehidupan yang layak untukmu dan keluargamu." Dannis mengakhiri penjelasannya. "Tidak, aku tidak bisa menerima tawaran gilamu itu. Aku tidak ingin menjual diriku. Silakan cari wanita lain yang tepat menurutmu." Rifta menolak mentah-mentah. "Kembalikan ponselku, kita tidak saling mengenal, jangan sembarang mengambil keputusan," ucap Rifta. Ia merampas ponsel dari tangan Dannis dan berlalu meninggalkannya. "Ingat, kesehatan ibumu ada di tanganmu!" seru Dannis sebelum Rifta menghilang di balik bangunan gedung olahraga. Rifta terus melangkah, ia masih mendengar teriakan Dannis terakhir kalinya tadi. Tapi ia abai, tidak mungkin ia menerima tawaran gila dari orang tak dikenal seperti itu. Dia bukan orang yang gegabah hanya karena terdesak dengan uang. Apalagi dia seorang muslimah berhijab, apa kata orang-orang jika mengetahui bahwa ia melakukan sebuah pernikahan demi mendapatkan uang? Bersambung... ============ Assalamu'alaikum, ketemu lagi sama karya baru aku... Semoga suka dan terhibur... Jangan lupa tap love, follow akun, dan tekan gift... Terima kasih... Salah hangat dariku

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

The Vampire King's Human Mate

read
98.9K
bc

The Luna He Rejected (Extended version)

read
305.3K
bc

Just Got Lucky

read
146.2K
bc

The Lone Alpha

read
108.3K
bc

My Crush Is My Best Friend's Dad

read
17.1K
bc

Sold to the Ruthless Alpha

read
6.5K
bc

Cruel Love

read
782.1K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook