Manik mata coklatnya menatap lekat bola matanya sendiri yang terpantul dari cermin dengan penerangan di setiap sudut meja rias Miranda.
"Aah ... aku benci warna ini." Dia berguman nadanya begitu kesal.
Sayangnya, Miranda justru menyukai setiap jengkal di tubuhnya yang girly, semua tentang keindahan seorang wanita, nyaris sempurna di milikinya. Manik mata coklat itu, membuat bingkai wajah Miranda menjadi semakin nyata. Tegas sekaligus lembut.
Dia melepas satu persatu perhiasan yang menempel di tubuh Miranda, mimik wajahnya menampakkan ketidak sukaannya pada perhiasan itu. Terlalu lembut dan membosankan. Sangat tidak cocok dengannya yang menyukai hal-hal maskulin.
Jemari lentiknya meraih untaian kalung berbentuk rantai panjang polos dan kalung bertali kain yang bandulnya berbentuk replika gigi T-rex, salah satu dari kelompok Dinosaurus berjenis karnivora.
Memoleskan lipstik berwana ungu tua pada bibirnya yang mempunyai bentuk sempurna dengan parit nyata di bawah hidungnya, hingga bagian atasnya membentuk lengkungan hati yang mempesona.
Hiasan matanya menggunakan tekhnik smokey eye berwarna hitam, untuk menenggelamkan manik mata coklatnya.
Rambut palsu yang sangat pendek, telah usai di beri pomade agar beberapa helaian-helaian rambut mencuat ke luar.
Ditangannya melingkar gelang tangan dari karet berbentuk ban lebar berwarna hitam. Mengenakan jaket kulit, celana panjang hitam mengkilat, sepatu jingle berhak sepuluh senti meter.
Menyambar kunci mobil dari gantungan di dinding, mengambil sejumlah uang cash dari laci lemari pakaiannya, Dia siap berkelana menyusuri kota metropolitan di malam hari. Rasanya bebas dan begitu menyenangkan bisa keluar dari cangkang setelah lama terkurung dalam karakter Miranda yang sangat membosankan.
Menjelajahi malam, menikmati hembusan angin hangat dari jendela mobilnya yang terbuka dengan seringai lebar di mulutnya.
"Apa kabar dunia? I'am back! ha ha ha ...." Manda berteriak-teriak sambil terbahak-bahak.
Mobil yang di kendarainya melaju kencang di jalan tol. Masih harus menempuh lima kilo meter lagi untuk sampai ke pintu keluar tol yang mengarah ke tempat tujuannya.
Sesampainya di area klub malam elit di kota itu, dia turun dari mobil sambil menyerahkan kunci mobil kepada petugas valet parking.
Langkahnya bertenaga dan penuh percaya diri, melemparkan ciuman jauh kepada dua orang penjaga klub di pintu masuk. Wajahnya telah banyak di kenal oleh orang-orang yang bekerja di sana. Terutama penampilan uniknya yang malah menonjolkan sisi ke seksiannya.
Lebih aneh lagi bagi mereka, karena salah satu pelanggan uniknya itu sama sekali tidak pernah berbelanja minuman beralkohol disana, yang merupakan keuntungan besar bagi bisnis di dunia malam.
Hal itu membuat kehadiran Manda bukan kehadiran yang di harapkan oleh mereka. Hanya saja tidak mungkin bagi mereka untuk menolak pengunjung yang datang yang ingin bersenang-senang di sana.
Tapi Manda tidak segan-segan mentraktir pengunjung lain yang menarik perhatiannya dengan membelikan beberapa botol minuman yang di sukai oleh orang yang di incarnya.
Memasuki ruangan temaram, hingar bingar oleh suara musik yang memekakkan telinga, tampak gelembung-gelembung asap rokok pada tiap cahaya berwarna-warni yang pudar yang di hasilkan oleh lampu bulat berpatahan prisma di sekelilingnya, dipenuhi berbagai warna, cara ampuh untuk membuat suasana semakin semarak.
Melewati beberapa kelompok orang-orang yang sedang asik menikmati alunan musik dari home disk jockey, Manda terus melangkahkan kakinya ke arah dalam sampai di ruangan di mana ada lima meja bilyar yang semuanya sudah terisi oleh mereka yang memang ingin menghabiskan waktunya dengan bermain bilyar bersama teman-temannya.
Tampak kekesalan di wajah Manda, dia harus menunggu meja dengan bosan Matanya menelusuri setiap orang di meja bilyarnya masing-masing.
Di sebuah meja yang posisinya di sudut ruang, matanya menangkap seorang lelaki muda sangat tampan dengan
perawakan tinggi dan berotot.
Lelaki itu tengah di intimidasi oleh tiga orang lelaki lainnya sampai tubuh lelaki muda itu terpepet menempel dinding.
Manda menghampiri mereka, dia senang dengan keributan sekecil apa pun, karena keributan selalu menjadi hiburan yang menyenangkan baginya.
Manda terpesona akan ketampanan wajah dari lelaki yang sedang mendapatkan tinju dari salah seorang yang mendorongnya ke dinding.
Dengan gerakan refleks, Manda menghampiri mereka sambil berteriak,
"Hei, ada apa ini?" Tangannya meraih lengan si lelaki tampan.
"Siapa kamu? Jangan ikut campur!" Seru salah seorang dari mereka.
"Katakan saja, kenapa kalian menyerangnya?". Tatapan mata Manda tajam dan dingin memandangi mereka satu persatu.
"Tampan-tampan semua." Batin Manda.
"Kalau kami katakan, memangnya situ bisa bantu dia? Kalau tidak, minggi! Jangan ikut campur!" Yang lain mengangguk setuju dengan ucapan teman mereka.
"Katakan saja." Jawab Manda mulai kesal dengan bola mata membesar nyaris melotot kepada mereka.
"Dia kalah taruhan, Ok?! Tapi dia tidak mau bayar!" Orang yang tadi bicara memjawab dengan nada suara tinggi.
Manda dengan kalem bertanya lagi,
"Berapa?" Tandasnya dengan wajah mengeras dan sorot mata tajam mengarah ke mereka
"Sepuluh juta." Ujar mereka berbarengan.
Pada titik ini, Miranda menggeliat, mencoba keluar dari karakter Manda. Hanya saja Manda mengibaskan diri sambil cepat-cepat mengambil satu gepok uang yang masih terlilit kertas Bank dan melemparkannya kepada mereka.
Manda menarik tangan lelaki muda yang mengenakan kemeja putih lengan panjang berbahan tipis dengan bawahan jeans, untuk mengikutinya keluar dari ruang bilyar dan terus melewati ruang disko menuju pintu keluar.
Miranda semakin gelisah, berusaha mengambil alih diri untuk melepaskan lelaki muda tersebut. Di sini, Miranda masih terhubung dengan dunia luar.
Manda menjerit dalam hatinya, "Jangan egois Mirandaaa ... Diamlah di tempat. I hate you!" Manda menjejak dengan keras satu kakinya ke lantai parkiran.
Lelaki muda itu terheran-heran dengan sikap perempuan tua yang aneh tapi sangat cantik itu. Dia menyerahkan semacam kartu kecil kepada petugas valet parking waktu itulah yang di manfaatkan oleh lelaki muda tadi untuk bicara,
"Terima kasih atas pertolongan tadi, kenalkan saya Boy, tapi kenapa kakak membantu saya?" Boy menatap dengan sorot mata penasaran ke arah Manda.
"Karena kamu tampan." Manda menjawab tak acuh.
"Saya mau dibawa kemana?" Boy semakin penasaran dan ada perasaan takut pada nada suaranya.
"Kamu akan tahu nanti. Sementara itu, kamu tidak bisa pergi kecuali mengembalikan uangku." Manda mendorong punggung Boy sambil membukakan pintu mobil dan terus mendorong agar Boy duduk di dalam mobil.
Boy hanya bisa pasrah. Setidaknya, perempuan aneh ini sangat cantik dan sexi. Bahkan artis idolanya yang baru-baru ini di nobatkan sebagai wanita terseksi di negara ini, masih lewat kecantikan dan keseksian dari perempuan yang telah menolongnya ini.
Manda membawa lelaki itu ke pinggiran kota, memasuki area pemukiman biasa dan berhenti di depan sebuah paviliun yang di sampingnya berdiri rumah megah, rumah induk dari paviliun tersebut.
Manda meraih remote kontrol, memencet satu tombol yang membuat pagar dari paviliun itu terbuka otomatis. Mobil yang ditumpanginya meluncur mulus memasuki area basemen persis di bawah paviliun tersebut.
Ruangan paviliun itu tidak bisa di katakan sederhana, namun juga tidak mewah.
Manda menyuruh Boy duduk di sofa yang sandarannya menempel tembok. Dia menyuguhkan minuman kaleng yang bersoda.
Manda memandangi Boy dengan leluasa di bawah sinar lampu ruang itu. Menikmati ketampanan Boy tanpa berkedip, membuat Boy merasa jengah dan kikuk.
Perasaan Boy campur aduk dari mulai merasa aneh, gugup dan rasa takut menyelinap ke dalam hatinya. Firasatnya seolah mengatakan bahwa perempuan di depannya ini sangat berbahaya.
Seketika bulu kuduknya meremang.
"Maaf kak, kenapa saya di bawa
ke sini ya?" Boy memberanikan diri bertanya kepada Manda.
"Agar saya bisa menikmati ketampananmu." Manda memiringkan wajahnya menatap lekat pada bibir Boy.
Boy salah tingkah dan benar-benar merasa aneh.
"Kamu harus melakukan sesuatu untukku malam ini, sepertinya kalau kamu diam saja saat aku pandangi, sesuatu itu tidak membutuhkan waktu yang lama." Lanjut Manda.
"Basuh mulutmu dengan minuman itu." Kali ini nada Manda agak tinggi.
Boy semakin merasa ada yang tidak beres di sini.
"Otak perempuan ini tidak beres." Batin Roy
seraya mengambil minuman soda dingin dan meneguknya.
"Apa yang kakak inginkan? bercinta?" Boy memberanikan diri, karena dia ingin segera lepas dari tempat itu.
Manda menggelengkan kepalanya. "Tidak seperti itu. Saya tidak membutuhkan barang lelaki. Yang saya butuhkan lidahmu." Dengan nada ringan seraya menghampiri Boy dan duduk di sebelahnya.
Boy semakin kalang kabut. Kepanikan sudah menyergapnya.
"Apa yang di maksud dengan lidah? Ini cewe tidak akan memotong lidahku kan?" Boy membatin dengan ketakutan yang
makin meningkat.
"Kamu sangat tampan." Manda berdiri melepaskan celana panjangnya di depan Boy yang melongo.
Celana berhasil di lepas, tapi Manda terhuyung-huyung sendiri ke depan, kakinya menabrak ujung meja, dia teriak karena rasa sakit yang tiba-tiba.
"Mirandaaaa stop!" Teriakannya mengagetkan Boy yang segera berlari ke arah pintu.
"Boy, sini!" Nada tegas Manda menghentikan langkah Boy yang sulit menahan diri untuk tidak gugup dan panik.
Boy menoleh dengan tatapan ngeri, langkahnya membeku. Dia terpaku di tempat.
Manda kembali ke sofa empuk itu, merebahkan kepalanya di tangan kursi yang lebar. Kedua kakinya terbuka, bola matanya menatap Boy dengan sayu.
Seketika Boy paham apa yang di inginkan Manda. Dia berpikir cepat, mengikuti kemauan perempuan ini akan membuatnya segera lepas dari sana. Boy perlahan
menghampiri Manda yang terus menatapnya.
Gairah Manda semakin menggelora melihat Boy yang ketakutan itu, di matanya sangat sexi dan membuat hasratnya semakin menuntut tertuntaskan.
Miranda yang begitu panik karena membenci tubuhnya di sentuh orang, memaksa untuk menguasai dirinya. Manda sangat marah.
"Diam kau Miranda! Nikmati saja hadiah indah ini, Lagi pula, kenapa kamu masih terhubung ke dunia luar sih?" Batinnya berperang dengan Miranda.
Boy sudah berada di depan bagian bawah Manda. Jaraknya begitu dekat dan semakin dekat. Seperti yang Manda inginkan, lidahnya harus bekerja agar bisa menyelamatkan diri dari perempuan aneh dan menyeramkan itu.
Boy terpana melihat apa yang terpampang di depan matanya, sangat indah dengan warna merah muda yang mengkilat karena hasrat.
Jiwa lelakinya naik, dengan suka cita dia melakukan tugasnya dan semakin bersemangat karena aroma wangi yang lembut sekaligus menyegarkan bagaikan magnet yang membuat perasaannya nyaman di sana.
Tiga kali sudah Manda di bawanya pergi terbang sampai ke ujung langit, dan menghempas kembali ke bumi dengan perlahan.
Manda yang kelelahan dan terpuaskan, tidak lagi sanggup membuka matanya, karena dia masih melayang-layang,
"Ambil uang buat taksi di kursi itu, pergilah, and thanks." Manda menunjuk pada kursi di sebrangnya.
Boy yang merasa rahangnya kaku, pegal dan lelah, bagai mendapat amunisi mendengar Manda menyuruhnya pergi. Dia menyambar uangnya, lalu melesat keluar dan menghilang di kegelapan malam.