Musim dingin berlalu ditandai dengan mulai mekarnya bunga sakura menyambut
datangnya musim semi.
Pagi itu di Kota Nara, wilayah Kansai, Pulau Honshu, Isabel meminta Viona untuk bersama-sama melakukan Hanami. Tradisi turun-temurun di Jepang yang juga dilakukan oleh para turis, yaitu berpiknik dengan menggelar tikar di bawah rimbunnya bunga sakura untuk menikmati makan bersama, umumnya dengan keluarga.
Viona mengutarakan keinginan Isabel
kepada Arata, suaminya yang berasal dari Nara. Dulu, Viona dan Arata bertemu di
Kota Metropolitan, saat Arata sedang ditugaskan di kantor cabang yang berada di sana.
Mereka sudah menikah selama lima tahun dan belum dikaruniai anak. Ketika Miranda menghubungi mereka satu tahun yang lalu untuk menitipkan Isabel, mereka menyetujuinya dengan senang hati.
Hari kedua setelah bunga sakura mulai mekar, mereka bertiga berpiknik ke Taman Nara. Ketiganya terlibat obrolan seru, Isabel berceloteh tanpa henti, hanya saja kadang-kadang mereka tidak mengerti apa yang diucapkan oleh Isabel, karena bukan ditujukan untuk mereka.
“Isabel sudah berusia delapan tahun, mestinya sudah tidak punya teman khayalan lagi.” Arata berbisik di telinga Viona.
Viona hanya mengangguk dan tersenyum,
dia belum sempat memberitahukan kepada suaminya perihal diagnosa Psikolog yang terakhir dikunjunginya.
Hari sudah menjelang sore, mereka bersiap-siap untuk kembali ke rumah, Isabel berbisik kepada Viona,
“Tante, Lihat itu yang dua anaknya berbaju merah, mereka sedang berkumpul bersama ayah dan neneknya yang udah meninggal karena kecelakaan.” Wajah Isabel bersungguh-sungguh.
Viona melirik ke arah yang di maksud oleh Isabel seraya mengangguk, meskipun dia tidak mengerti karena yang dilihatnya adalah seorang ibu yang kira-kita seusianya sedang makan bersama dua anaknya yang masih kecil-kecil.
Arata ikut menoleh ke arah ibu dan anak itu, mengikuti tatapan istrinya dan Isabel.
“Ada apa? Kalian kenal dengan mereka? Itu teman kantorku, Hiromi, dia baru saja kehilangan suami dan ibu mertuanya karena kecelakaan. Nanti kita sapa mereka.” Arata
menjelaskan sambil melipat tikar piknik yang dibawanya dari rumah.
Deg.
Viona terpaku. Dia mendapat informasi yang sama dari dua orang berbeda. Satu dari anak yang selalu dianggap suka berhalusinasi satu lagi merupakan informasi yang valid dari suaminya.
Dengan menenteng peralaran piknik mereka, Arata mampir menyapa Hiromi, memperkenalkannya kepada Viona dan Isabel.
Isabel menatap lekat bergantian kepada dua anak kecil itu,
“Kamu namanya Kenzi?” Isabel menatap kepada anak lelaki yang berumur tujuh tahun.
Kenzi mengangguk, dia heran dari mana anak perempuan itu mengetahui namanya. Tapi dia diam saja.
“Papamu minta maaf karena hanya bisa melihat pentas drama kamu dari jauh, yang gak bisa kamu lihat.” Isabel beralih menatap ibunya Kenzi yang terlihat syok.
“Maminya Kimi, Hadiah ulang tahun untuk Kimi, masih tersimpan di loker ruang olah raga, tolong di berikan kepada Kimi.” Viona dan Arata tampak panik, mereka berbarengan menarik Isabel sambil meminta maaf dan tergesa-gesa pergi dari situ.
Hiromi terdiam membeku. Dia baru melihat anak itu, dari mana dia tahu nama putra
putrinya, sementara temannya, Arata pun tidak tahu. Dari mana dia tahu kalau Kenzi akan pentas drama lusa nanti dan bagaimana dia tahu tentang loker di ruang olah raga suaminya?
“Mama, aku sudah bilang jangan membicarakan aku dan Kimi ke orang lain.” Kenzi cemberut dan terlihat kesal
sekali.
“Eh, iya sayang, maaf.” Hiromi tidak ingin melakukan penyangkalan atas keanehan itu.
“Ayo kita pulang.” Hiromi memutuskan untuk pulang karena perasaannya sangat tidak menentu.
Isabel mendapat teguran dari Arata, bahwa
hal itu sangat tidak sopan untuk di lakukan.
“Tapi papanya sendiri yang pesan,
minta di sampaikan. Kan tadi papa dan neneknya Kenzi ada di sana.” Jawab
Isabel dengan wajah polosnya.
Arata hilang kesabaran, dia meletakkan barang-barang yang di bawanya, lalu berjongkok di hadapan Isabel.
“Cukup! Isabel. Cukup! Jangan bermain-main lagi, mengerti? Jangan bicara lagi hal-hal aneh yang tidak masuk akal!” Arata berteriak di depan wajah Isabel.
Isabel terkejut dan ketakutan, tangannya memilin-milin roknya, matanya memerah, mimik mukanya berubah, tidak berapa lama, dia pun menangis sambil berbalik dan memeluk paha Viona.
Viona sangat kesal atas sikap suaminya terhadap Isabel. Tapi dia pantang untuk
protes di depan umum. Viona mengangkat Isabel dan melangkah dengan cepat
menuju mobil membawa perasaan marah kepada Arata.
Wajahnya memerah, demikian juga matanya, Viona berusaha meredakan tangisan Isabel setelah mereka memasuki mobil.
Viona duduk di belakang bersama Isabel hanya untuk memeluknya, memberi penghiburan. Isabel mengerti, dia berusaha sekuat tenaga menahan tangisnya.
Isabel menutup matanya, dia takut akan bicara lagi tanpa sadar, karena seseorang di depannya yang hanya muncul sebatas kepalanya saja, berwajah pucat dengan bola mata masuk ke dalam, berbicara padanya tanpa henti.
Isabel yang tidak tahan mendengar suara-suara itu, berteriak dengan kencang,
“STOP. Stoooppp. Stoooopp.” Sambil meraung dan histeris dengan menutup kedua telinganya.
Arata yang terkejut luar biasa, secara refleks membanting setir mobil ke kiri, ke tempat pemberhentian darurat, setelah mobilnya di posisi kiri jalan, dia memelankan laju mobilnya. Tepat saat mobilnya berhenti sempurna, Arata menoleh ke belakang, dia sangat marah kepada Isabel.
Namun belum sempat dia mengucapkan sepatah kata pun, tiba-tiba terdengar raungan suara klakson mobil dan suara tubrukan mobil yang sangat keras dan beruntun.
Viona dan Arata terkejut setengah mati, mereka menoleh ke sisi kanan, menyaksikan bagaimana
kendaraan-kendaraan di depannya saling ringsek dan ada yang tumpang tindih.
Sementara Isabel menyembunyikan wajahnya di d**a Viona.
Mereka selamat dari maut. Viona menangis saat melihat genangan darah manusia di sepanjang jalur itu. Arata membeku di tempatnya, setelah agak tenang, Arata menoleh kepada Isabel.
“Kamu tahu ini akan terjadi? Hei, jawab Isabel. Kamu tahu ini akan terjadi makanya kamu teriak minta Stop?”. Arata berteriak kepada Isabel.
Tanpa mengangkat kepalanya Isabel mengangguk.
“Anak apa kamu? Hah? Katakan siapa kamu? Isabel, jawab!” Arata semakin kalap.
“Diam kamu!” Viona berteriak kepada suaminya. Dia benar-benar kesal dan marah.
Viona membuka pintu mobil dan menarik Isabel keluar, lalu menggandengnya
berjalan berlawanan arah, lalu memotong jalan melalui taman berumput untuk sampai di jalan berikutnya, meninggalkan suaminya yang berteriak-teriak memanggil, tapi tidak mungkin menyusul Viona dengan meninggalkan mobilnya di sana.
Viona khawatir jika masih tetap tinggal di sana menunggu evakuasi korban-korban kecelakaan tadi, maka Isabel bisa terganggu lagi. Karena sudah pasti ada yang meninggal di tempat.
Dia merasa sangat bersyukur karena telah di selamatkan oleh Isabel. Kini Viona hanya butuh segera sampai rumah agar bisa
mengistirahatkan Isabel yang pasti sudah syok berat atas beberapa kejadian hari
itu.
“Jangan takut Ibel, tante akan jagain Ibel.” Sambil mengelus rambut Isabel.
“Meskipun harus bertentangan dengan suamiku sendiri.” Lanjut Viona di dalam
hatinya.
Isabel memegang erat tangan Viona, dia sangat ketakutan dan tidak mengerti atas apa yang telah terjadi.
Viona dan Isabel telah sampai rumah, tapi suaminya Arata, kemungkinan masih tertahan di sana.
Viona membasuh Isabel dan menyuruhnya tidur cepat, sambil terus menemani Isabel. Dia mempunyai masalah rumah tangga sendiri, Dia sudah muak dengan Arata yang temperamental dan tidak peduli akan perasaan orang lain, juga kadang memukul dirinya.
Sejak lama Viona ingin menyudahi perkawinannya yang membuat dirinya menderita batin. Sejak kehadiran Isabel satu tahun lalu, kondisi hati Viona membaik. Isabel adalah penghiburan baginya, terlebih dia dan Isabel bukan orang asing, tapi masih ada ikatan kekerabatan.
Pada Awalnya, Arata keberatan dan menolak Isabel karena biaya membesarkan anak di Jepang sangat tinggi. Viona keukeuh memaksa, mereka terlibat pertengkaran yang membuat pipi Viona tercetak gambar merah lima jari.
Esoknya Miranda datang bersama Isabel membawa uang cash senilai satu tahun gaji Arata, hal inilah yang membuat Arata merasa senang menerima Isabel di rumahnya.
Viona merasa benci akan sikap seperti itu, faktanya adalah, orang itu suaminya. Dia ingin pergi dari dulu meninggalkan suaminya, tapi dia ragu, karena tidak ada tujuan lain, tidak bekerja dan sudah tidak ada orang tua.
"Jangan pergi tante, nanti Om Arata yang pergi sendiri. Om akan pergi bersama tante yang lain dan rumah ini akan di berikan kepada tante." Tiba-tiba Isabel berbicara kepadanya.
Kalimat yang sangat mengejutkan bagi Viona.
"Ibel, apa maksudmu?" Viona mendekat kepada Isabel, lalu menarik lembut Isabel supaya berbalik kepadanya.
Isabel sudah jatuh tertidur. Viona terpekik sambil menutup mulutnya yang ternganga. Dia yakin tadi Isabel sudah tidur, lalu yang bicara siapa? Jelas-jelas suara Isabel. Viona menenangkan dirinya yang terkejut.
Dua jam Viona mematung, memikirkan perjalanan hidup dengan suaminya. Andai benar apa yang di katakan oleh Isabel, baginya itu lebih baik. Dia merasa kuat sekarang, karena ada Isabel di sisinya.
Arata belum pulang juga. Viona sudah mengantuk, dia memasukkan tubuhnya ke dalam selimut Isabel, lalu memeluk Isabel dan ikut tertidur.
"Mami, jangan lakukan Mami, please jangan Mami ... Mami, Mamiii ... hentikan Mami ... tolong hentikan ... eehh heeks heeks ... jangan Mami." Isabel menangis dalam tidurnya.
Viona terbangun, mencoba membangunkan Isabel yang sedang merengek-rengek memanggil ibunya. Rengekannya Isabel sangat mendesak, seolah-olah ibunya sedang melakukan sesuatu yang sangat tidak disukainya.
"Ibel sayang ... bangun nak, bangun." Viona mengguncang-guncangkan Isabel.
Dia melihat jam di dinding, Pukul tiga dini hari, Viona kembali membangunkan Isabel,
"Sayang, Ibel. Bangun nak, minum dulu nih." Viona menepuk-nepuk pipi Isabel dengan lembut.
Isabel membuka matanya, menatap langit-langit kamar sambil berkedip-kedip.
"Tante, hari tanggal berapa?" Isabel menanyakan hal di luar dugaan Viona.
"Tanggal lima April sayang, kenapa?" Tanya Viona tidak mengerti.
"Mami ulang tahun hari ini, setiap ulang tahun Mami selalu bau darah di mana-mana." Isabel mengatakannya dengan tenang, bagaikan meminta tolong diambilkan mainan.
Viona semakin terkejut mendengar kalimat yang diucapkan oleh Isabel. Dia benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran anak kecil itu. Terlalu banyak hal yang mengejutkan dari seorang Isabel.
"Minum dulu sayang, setelah itu kita tidur lagi yuk." Viona menyodorkan gelas kepada Isabel yang mengangguk pelan.
Mereka berpelukan, tidak lama keduanya tertidur lagi. Sementara Arata belum juga pulang ke rumah itu.