Rencana Lain Manda

1681 Kata
Vila itu terletak paling ujung dari lembah bukit. sejauh mata memandang, hanya terlihat hamparan hijau kebun teh, begitu menyejukkan mata. Tapi hati Miranda sedang tidak merasa sejuk. Perasaannya terganggu, menunggu hasil diagnosa atas putrinya yang belum juga menerima kabar dari Viona. Dia sangat gelisah, bagaimana kalau dokter berikutnya mendiagnosa Isabel dengan vonis Indigo? apa yang harus dilakukannya. Miranda sempat mencari tahu jenis-jenis Indigo, jika faktanya adalah Isabel mampu melihat makhluk-makhluk tidak kasat mata, kemungkinan besar posisinya sangat berbahaya. Miranda bukan type orang yang percaya akan hal-hal berbau mistis. Tetapi, mengenai kasus indigo sama sekali bukan hal mistis baginya. Miranda percaya bahwa seluruh manusia di dunia ini, sepanjang hidupnya berdampingan dengan makhluk-makhluk gaib. Hanya saja dia tidak punya kepekaan untuk bisa merasakan keberadaan mereka. Sepasang tangan kekar tiba-tiba menguncinya dari belakang. Rasa hangat perlahan mulai membuai punggung Miranda. "Kamu begitu menyukai alam?" Robert berbisik di telinga Miranda. "Uh ... sangat suka, hanya saja aku lebih suka yang warnanya tidak monoton seperti ini." Sahut Miranda. "Hmm ... kita bisa pergi ke taman bunga kalau kamu mau." Robert memberikan ide. "Tidak saat ini, aku hanya ingin kita berdua saja tanpa terganggu orang lain." Miranda memutarkan tubuhnya. Kini mereka berhadapan, saling tatap. Miranda mengakui kalau Robert berparas tampan dengan kulit putih dan mata sipit yang menawan. Hanya saja, Miranda bukan wanita yang mengijinkan dirinya jatuh cinta kepada siapa pun. Dia hanya mencintai dirinya sendiri dan putrinya, Isabel. "Kamu kedinginan sayang, kita masuk ke dalam." Robert menggandeng Miranda membawanya masuk ke dalam kamar yang hangat. Miranda duduk di atas sofa bulat yang sandaran tangannya tinggi. Dia bergelung di sofa itu untuk menghangatkan tubuhnya. Pandangan matanya kosong, melihat pada satu titik dengan wajah tanpa ekspresi. Robert melihat semuanya. Beban berat yang dipikul oleh Miranda, dia belum mendapatkan jawaban tentang apa. Padahal dia telah menyelidiki Miranda sedetail mungkin. Hanya masalah keuangan yang didapatkannya. Raga Miranda bersamanya, tapi hati dan pikirannya berada di tempat lain. Robert merasa terabaikan. Egonya merasa tersinggung, betapa waktunya yang sangat berharga harus terbuang dengan wanita yang lebih memilih berada di tempat lain, padahal Miranda yang menginginkan waktunya untuk bersama. Miranda merasakan sesuatu yang membuatnya mual. Dia bangkit dari sofa dan sempoyongan menuju kamar mandi. Robert mencegatnya, "Kenapa sayang? wajahmu pucat." Tangannya meraih tubuh Miranda yang sempoyongan. Miranda mengibaskan tangan Robert dengan wajah panik. "Aku pengen muntah ..." Sahutnya meminta Robert untuk tidak mengikutinya ke kamar mandi. Dia menutup dan mengunci pintu kamar mandi, meraih kran air dan membasuh wajahnya dengan air dingin agar dia bertahan dengan penuh kesadaran. "Manda, please, jangan lakukan ini, please ... Manda ... belum saatnya kamu keluar ...." Gumam Miranda dengan mimik yang menyiratkan rasa tersiksa. "Mira, aku butuh keluar sekarang!" Manda berteriak di hati Miranda. "Tidak, Manda. Tidak dalam dua hari ini." Tolak Miranda lemah, setengah dirinya sudah dimasuki oleh Manda. Miranda yang sedang dalam posisi lelah karena terlalu memiliki beban pikiran tentang Isabel, sangat mudah di kalahkan oleh Manda. Tubuhnya melorot ke lantai dengan perlahan, tatapan matanya begitu kosong. Tubuh itu sangat lunglai sampai Manda menguasai sepenuhnya raga itu. Dengan gerakan yang sangat lincah Manda melompat berdiri, mulutnya bersenandung, sorot matanya ceria. "Aduh baju apaan ini?" Gumamnya saat melihat dirinya sendiri di depan cermin. Manda melihat sekeliling dan merasa asing. Dia belum pernah ke sini sebelumnya. Dia membuka semua pakaian Miranda yang melekat pada tubuhnya. Lalu membasuh dirinya di kucuran air panas sambil terus bersenandung. Robert mengetuk pintu kamar mandi, dia merasa heran karena mendengar suara gemericik air dari shower. Mendengar suara ketukan, Manda memutar kran air, hingga airnya berhenti mengalir. "Siapa?" Manda berseru. Robert merasa heran sambil melihat ke pintu kamar mandi, "Aku, ya siapa lagi Mira?" Jawab Robert merasa sedikit kesal. "Hah, Mira? Ah ganggu aja." Gumam Manda sambil nengernyitkan keningnya. Dia membawa tubuh basahnya yang di penuhi butiran air ke arah pintu dan membukanya. Seketika tatapannya membeku saat melihat sosok Robert di sana yang terkejut melihat Miranda telanjang bulat. "Tampan sekali orang ini, tapi bukan daun muda." Batin Manda. "Kamu basah-basahan begini, masuk anginmu tambah parah nanti, sini aku ambilkan handuknya." Robert nyelonong ke kamar mandi dan meraih baju handuk, lalu memakaikannya kepada Miranda. Manda mendengus lalu tersenyum tipis. "Kamu bisa menghangatkanku agar tidak masuk angin." Manda nyengir saat tubuhnya dipakaikan handuk berbentuk kimono. "Iya sayang, itu pasti." Sahut Robert merasa senang, berbisik di telinga Miranda. Manda yang tidak suka di sentuh sembarangan, memiringkan kepalanya lalu melenggang keluar dari kamar mandi. Dia merasa asing dengan tempat itu, udara juga begitu dingin. Dia tidak suka berada di tempat dingin. Kebalikannya dari Miranda, dia lebih suka udara laut karena seakan bisa membawa jiwanya melayang jauh menembus cakrawala dengan pemandangan yang lapang sampai batas garis laut. Manda menemukan sofa yang terlihat hangat karena mempunyai sandaran tinggi sama rata dengan kiri kanan sofa. Tapi dia memilih sofa di sampingnya yang hanya mempunya sandaran tanpa tangan. Robert menghampiri Miranda, ingin memeluknya untuk membuat tubuh Miranda hangat. Tapi tangan Manda mengayun ke depan, menghentikan langkah kaki Robert. "Ok, ini teh hangat dengan jahe untuk menghilangkan masuk angin, minumlah." Robert menggeser cangkir berisi teh ke hadapan Miranda. Manda meraih cangkir itu tanpa melihatnya. Dia terus menatap Robert dengan sorot mata menginginkan sesuatu. Bibir seksinya menyeruput teh dengan gerakan menggoda, membuat Robert berdesir dan terpana. Dia belum pernah melihat bahasa tubuh Miranda seperti itu, belum pernah juga melihat sorot mata dan mimik wajah miranda yang tampak genit dan liar. Robert merasakan keterasingan di sana. Wanita di depannya adalah Miranda, kekasihnya, tapi kenapa dia merasa asing seolah-oleh wanita itu bukan Miranda yang dia kenal. Manda mulai terangsang menatap ketampanan wajah Robert. perlahan dia membuka lebar kedua pahanya lalu menekuk lututnya, dan memposisikan kedua kakinya di pinggiran sofa. Robert terpana melihat gerakan yang super seksi dan menampakkan keindahan mahkota wanita, membuat darahnya mendesir, dia terus menatap ke arah sana. Manda semakin di buru hasrat melihat ada gairah yang muncul dari wajah tampan Robert. Dia menjentikkan jarinya memanggil Robert untuk menghampirinya. Bagai kerbau dicocok hidungnya, Robert terbius menghampiri Miranda dengan nafas yang mulai memburu. Dia menyosor ingin mencium bibir Miranda yang penuh berisi. Dengan kekuatan yang cukup kedua tangan Manda memegang kepala Robert lalu mengarahkannya ke bagian bawah dari tubuhnya. Dia ingin mereguk kenikmatan dari sana. Dengan senang hati Robert melakukannya, menyapu bagian itu dengan penekanan-penekanan yang membuat Manda bergerak-gerak sambil memejamkan matanya. Sayangnya, Manda tidak puas kalau permainan itu hanya memberikan satu atau dua kali klimaks. Dia ingin terus menerus mengulang klimaks-klimaks berikutnya, dengan kedua tangannya menahan kepala Robert untuk tetap berada di sana. Robert merasa kesal karena merasa dikerjai oleh Miranda, rahangnya sangat pegal dan kaku, hingga lidahnya terasa kelu sampai tidak sanggup lagi digerakkan. Robert Bangkit dan melorotkan celananya. Dia merasa sudah cukup permainan itu, kini dia harus menuntaskannya dengan menyatukan dirinya kepada Miranda. Manda terkejut oleh kenekatan Robert. Dia baru sadar, bahwa lelaki tampan ini bukan lelaki yang dibayarnya untuk melakukan hal itu. Dia segera bangkit dan meninju wajah Robert tepat pada hidungnya. Robert terpana, tiba-tiba dia merasa kesakitan, emosinya timbul sambil merasa sangat heran, kenapa Miranda memukulnya seperti itu. Manda melewati Robert yang masih mematung, lalu meraih sebuah kursi bulat yang kakinya terbuat dari besi tempa ringan. Diangkatnya kaki kursi itu dengan sekali ayunan, dudukan kursi bulat itu dihantamkannya pada bagian belakang kepala Robert yang langsung tersungkur ke lantai dan pingsan. Manda melangkah ke dalam kamar dan menemukan tas travel Miranda, dengan gerakan santai dia memakai baju Miranda, lalu berbalik keluar kamar mencari kunci mobil dan tas Miranda. Manda keluar dari Vila menuju parkir dan menemukan mobil Miranda. Dia pun melesat di jalanan tanpa tahu dia berada di daerah mana. Dia hanya mengikuti petunjuk dari plang di jalan yang dilaluinya dan mengarah ke Kota. Rasa lapar menyerangnya, dia singgah di sebuah restoran lalu memesan makanan. Tanpa sengaja matanya beradu pandang dengan seorang wanita yang juga pengunjung restoran. Wanita itu berumur dua puluh tahunan, duduk sendirian. Manda tersenyum pada wanita itu, memberinya isyarat untuk duduk bersamanya. Wanita itu membalas senyum Manda dan menghampirinya. "Halo, saya Eva." Dia memperkenalkan dirinya. "Hi Eva, saya Manda." Ujar Manda. "Kamu dengan siapa?" Tanya Manda. "Aku sendiri, baru datang, baru pesan makan juga. Kamu?" Sahut Eva. "Sendiri juga, ya udah kita makan bareng aja di sini." Manda mengedipkan sebelah matanya pada Eva yang di sambut derai tawa oleh Eva. Dalam sekejap mereka telah akrab, tertawa bersama, sampai pesanan makan mereka tiba. Manda merasa cocok dengan wanita itu, Sebelum mereka menyelesaikan santapannya, Manda bertanya, "To the point nih ... kamu mau gak nemenin aku semalaman?" Manda menatap Eva dengan penuh hasrat. "Memang mau kemana?" Tanya Eva polos. "Jalan aja sih ... tapi juga pastinya tidur. masa jalan terus." Manda berderai tawa yang di ikuti oleh tawa Eva. "Sepuluh juta aku kasih kamu, mau?" Manda mulai serius. "Sepuluh juta? Hanya semalam? hmm ... boleh ... tapi ... transfer dulu gimana?" Eva takut dia akan dibohongi oleh wanita yang baru dikenalnya itu. "Siap." Sahut Manda sumringah. Sementara itu, di Vila, Robert mulai siuman. belakang kepalanya terasa sangat sakit dan berdenyut. Susah payah dia bangun dari lantai menuju lemari es. Mengambil beberapa bongkah es batu, membungkusnya dengan serbet handuk dan menempelkannya pada belakang kepalanya. Robert duduk di sofa, sambil menahan sakit dia mencoba mengingat-ingat kejadian yang aneh tadi. Perempuan itu adalah Miranda. Tapi bukan Miranda yang telah dia kenal selama dua tahun ini. Bukan Miranda yang dia kenal selama di atas ranjang. Perempuan itu adalah Miranda, kekasihnya, tapi kenapa bahasa tubuhnya, mimik wajahnya, sorot matanya sampai auranya, bukan Miranda yang dia kenal. Robert seketika terpaku, bola matanya membesar. Dia teringat pada sorot mata itu. Sorot mata yang menatapnya dengan tatapan asing seolah bertanya; Siapa kamu? "Dia tidak mengenaliku." Gumam Robert yang seketika berlari ke kamar mandi untuk mencari Miranda. "Mira, Mira ...." Panggilnya panik. Robert membayangkan kalau-kalau Miranda masih berada di kamar mandi dan telah mengalami hal buruk dari perempuan tadi yang sangat mirip Miranda. Dia hanya menemukan baju Miranda yang teronggok di lantai kamar mandi setengah basah. Baju kerja Miranda yang dipakainya seharian itu. Dia juga mencari tas tangan dan kunci mobil Miranda. Lenyap. yang ada hanya tas travelnya yang isinya telah berantakan keluar. Robert mendadak lemas. Pikirannya berkecamuk dan sangat kacau. "Siapa sebenarnya kamu, Miranda?!" Ujarnya setengah berteriak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN