Chapter Four: Trouble Is A Friend

3441 Kata
        --“Nikmati dansanya, Sekretarisku sayang.” Dave melepaskan tangan Charlotte dari genggamannya, beralih menelusuri lekuk lengan atas hingga ujung jari gadis itu bersamaan hembusan napas berat yang keluar dari bibirnya. Lalu dengan gerakan cepat nan angkuh, ia memutar tubuh Charlotte, mendorongnya ke sisi bawah kanannya, melakukan pose khas para pasangan yang melakukan dansa; Dave sempat menenggelamkan wajahnya ke sela-sela leher Charlotte yang jenjang.--         Interior khas romawi berpadu latin yang sederhana, menyambut kedatangan Dave dan Charlotte ke dalam sebuah ruangan gedung tempat pertemuan mereka dengan para konglomerat terkemuka. Dave memicingkan matanya. Ia terlihat seperti sedang mempelajari sesuatu di sudut ruangan. Ketika Charlotte menoleh ke arah yang sama dengan Dave, gadis itu bergumam, “Dia adalah Kurt Hallison.” Charlotte mengambil jeda sejenak, “Pemilik tunggal perusahaan Kurt Corporation, sainganmu,” lanjut Charlotte. Ia sedikit mengulas senyum sinisnnya kala menangkap Dave menghembuskan napas berat karena gugup.         “Aku tidak gugup, kalau itu yang sedang jadi perkiraanmu.” Hening sesaat. Charlotte tengah memperhatikan Dave dengan senyum penuh kemenangan. “Baiklah, aku memang gugup—setelah kau hampir saja membuat kita terlambat.” Dave kembali menghembuskan napas berat.         Charlotte mulai membela diri. “Setelah apa yang kau lakukan padaku tadi, aku berniat mengganti gaunku dengan sesuatu yang lebih ‘tertutup’ dan sialnya aku tidak menemukan baju lain yang lebih pantas,” katanya.         Dave tidak menimpali apa pun. Pemuda itu tengah membenarkan letak dasinya yang sedikit miring sambil melihat dirinya sendiri di pantulan dinding yang terbuat dari marmer. Pemilik gedung ini jelas sangat kaya jika dilihat dari dekorasi interior dan eksterior gedung yang dimilikinya. Siapa pun dia, dia pantas berada di salah satu deretan kolega bisnis Whittaker Corporation.         “Bagaimana penampilanku?” tanya Dave.             Charlotte mengeser posisi berdirinya sehingga kini ia tepat berhadapan dengan Dave. Tangan kanannya bertumpu di dagunya sendiri, berpose seperti menimang-nimang sesuatu. “Tidak begitu buruk,” katanya kemudian, diikuti dengan dua kali anggukan kepala.               Dave melangkah percaya diri dengan menggandeng Charlotte di sisi kirinya, “Pancing perhatiannya padamu sebaik mungkin seperti yang sudah kuberitahukan tadi di mobil,” bisik Dave. “Kau sudah mempelajari semua tentang dia, kan?”             “Kau hanya perlu diam dan memperhatikanku saja, Dave,” timpal Charlotte. Ia sedikit jengah mendengar Dave mengingatkan hal yang sama berulang-ulang sejak mereka berangkat meninggalkan hotel dan sampai di tempat ini.             Dave tidak membalas perkataan Charlotte. Pandangannya fokus menatap Kurt yang hanya berjarak beberapa langkah lagi dari mereka, dan basa-basi itupun terjadi. Sapa menyapa, dan saling memuji pencapaian perusahaan lawan bicara adalah hal yang umum di acara seperti ini. Harus Charlotte akui, Dave sangat lihai dalam hal ini. Ia jadi membayangkan, mungkin ia melakukan trik yang sama pada setiap perempuan yang berhasil ia gaet.             “Kau beruntung memiliki sekretaris secantik ini.” Kurt, pria itu mengulurkan tangannya pada Charlotte. “Aku yakin ia bekerja dengan sangat baik di kantormu.”             Charlotte tersenyum sembari menjabat tangan pria yang umurnya terlihat sepantaran dengan Dave, “Kau terlalu berlebihan, Sir.” Dengan luwes ia melepaskan tangannya dari Kurt yang terlalu lama menjabatnya.             “Aku yakin pemimpin Whittaker Corporation dan sekretarisnya tidak akan keberatan menerima undanganku untuk duduk di satu meja yang sama.” Kurt melirik Dave, kemudian berganti pada Charlotte penuh arti. “Sekretarisku sudah menunggu di sana,” lanjutnya.             Charlotte dan Dave berjalan beriringan, sementara Kurt memimpin di depan mereka. Kurt sempat melirik ke belakang dan melempar senyumnya pada Charlotte. Jelas pria itu tertarik pada Charlotte dan itu memancing Dave menertawainya.             “Sepertinya dia benar-benar tertarik padamu, meski bukan ketertarikan ini yang aku maksud,” kata Dave. Ia tidak melepaskan pandangannya dari Kurt yang sudah lebih dulu duduk di sebuah meja bundar dengan 4 kursi yang mengitari meja itu. Di salah satu kursi, duduk seorang wanita berusia sekitar 30-an. Rambutnya hitam pekat dan disanggul ke atas. Kurt duduk di samping wanita itu.             “Ini sekretarisku, Nona Kim. Ia adalah seorang Korea keturunan Jepang yang sudah bekerja denganku selama hampir 5 tahun,” kata Kurt sesaat setelah Dave dan Charlotte duduk di kursi mereka masing-masing. Dave duduk berhadapan dengan Kurt dan Charlotte dengan Kim. “Bahasa inggrisnya sangat fasih.”             “Senang berkenalan dengan kalian.” Kim menundukkan bahunya sehingga kepalanya ikut tertunduk ke bawah, seperti melakukan penghormatan. “Saya sering mendengar tentang perusahaan anda, Sir Whittaker.” Kim lebih dulu mempraktekkan apa yang sebenarnya Dave pintakan pada Charlotte; memulai pembicaraan fantastis tentang saling memuji dengan lawan bicara. Dave sudah melakukannya di awal tadi dengan Kurt. Tapi pria itu bilang pada Charlotte, hal itu akan menjadi lebih bekerja kalau lawan jenis dari si lawan bicara yang berbicara. Dan melihat bagaimana ketertarikan Kurt pada dirinya, Charlotte rasa ini tidak akan sulit.             “Bagaimana kalau kita berdansa?” Kurt mengulurkan tangannya pada Charlotte. Gadis itu mengerjap kaget, ia tidak sadar sejak kapan pria itu berdiri di sampingnya . Sebelum ia bisa menjawab, Kurt sudah menarik tangannya dan menggiringnya menuju lantai dansa. Charlotte berbalik menatap Dave, tapi pria itu justru menatapnya tajam seolah berkata, ikuti saja apa maunya. Charlotte tidak bisa melakukan apa-apa terlebih saat Kurt mulai merangkul pinggangnya dengan nyaman. Tangan pria itu sempat mengusap punggung Charlotte yang tidak tertutup sehelai benang apa pun karena gaun backless-nya, membuat Charlotte lebih menyesal memakai gaun itu sebagai kostumnya malam ini, karena ia mulai merasa tidak nyaman dengan perlakuan Kurt yang jelas-jelas agresif. Ketidaknyamanannya itu mulai berubah menjadi amarah secara perlahan, ketika Dave ikut melakukan hal yang serupa dengan Kurt; mengajak Kim berdansa dengannya.             “Kau tidak menjalin hubungan istemwa dengan pemuda Whittaker itu, kan?” pertanyaan Kurt memecah keheningan antara mereka.             “Tidak. Tidak akan pernah.” Charlotte berbicara dengan nada agak bersumpah.             Kurt menatapnya dengan senang, “Sudah kuduga. Kau adalah tipe wanita karir yang sangat menjunjung keprofesionalitasan.” Kurt menggunakan bahasa yang sedikit berat untuk pembicaraan dua orang yang sedang berdansa. “Sebenarnya aku tidak terlalu suka berdansa dengan diiringi lagu cengeng seperti ini.”             Charlotte yang sedang berusaha menurunkan kadar amarahnya jadi tertawa, “Jangan berdansa kalau kau tidak suka.”             “Jangan anggap aku memaksakan diriku..., baiklah, aku memang memaksakan diri. Kau mencuri perhatianku,” ujar Kurt. Tatapannya mengintimidasi Charlotte.             Charlotte berdehem pelan beberapa kali, “Sepertinya kau akan sangat cocok berteman dengan Dave,” balasnya salah tingkah. “Aku yakin, sudah banyak perempuan yang melemparkan diri mereka begitu saja padamu—ah, jangan masukkan ke hati. Aku tidak bermaksud kasar.” Charlotte sempat khawatir kalau-kalau Kurt merubah ekspresi wajahnya menjadi marah.             Kepala Kurt terdongak ke belakang saat ia mengeluarkan tawanya, “Aku suka caramu berbicara blak-blakan.” Kemudian ia mendekatkan wajahnya pada Charlotte, lalu berbicara di dekat telinga gadis itu. “Kita bisa berbicara di tempat lain yang lebih baik kalau kau mau.”             “Kalau kau tidak keberatan...” Suara Dave muncul dari belakang punggung Kurt. “Aku ingin mendapatkan hak istimewa berdansa dengan sekretarisku.”             Charlotte tidak menunggu Kurt menanggapi permintaan Dave. Gadis itu segera melepaskan tangannya dari genggaman Kurt dengan tidak sabar, “Anda pedansa yang hebat.” Ia sempat memuji Kurt sebelum meletakkan tangannya di d**a dave dan berpose siap berdansa.             Dave menuntun pergerakan dansa mereka ke tengah-tengah ruangan guna menghindari Kurt. “Apa yang ia katakan padamu tadi? kulihat ekspresimu sangat tegang barusan.” Dave menunjukkan perhatiannya sebagai seorang bos, tapi itu tidak menyurutkan keinginan Charlotte untuk menamparnya kuat-kuat. Charlotte belum pernah ingin menampar orang sebesar ia ingin menampar Dave sekarang.             “Kau....” Charlotte menggeram. “Kau hampir menjerumuskanku ke kandang harimau.”             “Kandang harimau?” Dave mengulang dengan tidak percaya. “....Jangan katakan ia ingin mengajakmu melakukan....”             “Ya! Dia hampir saja mengajakku melakukan hal yang tidak-tidak,” kata Charlotte ganas. “Aku akan membunuhmu jika ia benar-benar melakukan itu padaku.”             Dave mencibir, “Tapi ia tidak melakukan apa-apa. Hei..aku menyelamatkanmu!”             Charlotte melotot marah pada Dave, “Ini semua karena kau tidak menyelamatkanku saat ia mengajakku berdansa dengannya. Sama seperti kau yang tidak bersedia menjadi kuda hitam penyelamatku waktu itu.”             “Oh, sekarang katakan padaku, kenapa wanita selalu mengungkit-ungkit hal yang lalu berulang-ulang?” Dave tampak tersinggung.             “Karena laki-laki selalu mengulangi kesalahan yang sama, Sir Whittaker,” jawab Charlotte. Ia mengatakan itu sambil melakukan putaran di bawah tangan Dave, dan berakhir di pelukan pria itu, sebelum kemudian melangkah maju perlahan menghadap arah yang sama. “Apa kau ingin melakukan pembelaan?” Charlotte menolehkan kepalanya sedikit ke belakang sehingga ia bisa melihat senyum Dave yang berkedut aneh.             “Nikmati dansanya, Sekretarisku sayang.” Dave melepaskan tangan Charlotte dari genggamannya, beralih menelusuri lekuk lengan atas hingga ujung jari gadis itu bersamaan hembusan napas berat yang keluar dari bibirnya. Lalu dengan gerakan cepat nan angkuh, ia memutar tubuh Charlotte, mendorongnya ke sisi bawah kanannya, melakukan pose khas para pasangan yang melakukan dansa; Dave sempat menenggelamkan wajahnya ke sela-sela leher Charlotte yang jenjang.             Tarian mereka berakhir bersamaan dengan pergantian lagu. Saat Charlotte menegakkan tubuhnya, tangannya masih bersandar nyaman di d**a Dave yang berbalut setelan suit hitam. “Aku akan merapikan dandananku,” kata Charlotte dengan paras yang memerah. Ia berjalan cepat menuju meja tempat mereka duduk bersama tadi; mengambil clutch bag-nya, lalu melewati Kim yang berniat memanggilnya. Suara tapakan stiletto tenggelam di dalam alunan musik orkestra yang ringan, kala Charlotte berjalan membelah lautan pasangan yang sibuk berdansa di atas lantai pualam. Toilet yang ia tuju berada di ujung lorong gedung yang nyaris tidak ada orang, selain mereka yang sepertinya baru saja dari sana.             Seorang perempuan berlipstik merah tebal, keluar dari toilet bertepatan dengan Charlotte yang hendak masuk ke dalam. Terdapat lima bilik di dalam toilet itu dan semuanya kosong. Charlotte duduk di sebuah kursi meja rias yang cerminnya mengarah langsung ke pintu masuk toilet. Ia menaruh clutch bag-nya di atas meja, membuka lalu merogoh-rogoh mencari lipstik dan bedaknya. Pertama, ia menepuk-nepuk bagian hidungnya yang mulai terlihat berminyak dengan spon bedaknya. Ini cara yang sangat tidak dianjurkan oleh dokter kecantikan tempat Charlotte biasa melakukan perawatan wajahnya, tapi penampilannya kini jauh lebih penting. Ia tidak ingin mukanya terlihat cemong di antara orang-orang super kaya di sini. Selesai dengan bedaknya, ia mulai memoleskan lipstik di bibirnya yang belum pudar sedikitpun. Membuat warnanya jadi terlihat lebih gelap dari semula.             Charlotte sedang memandangi dirinya sendiri di depan cermin, saat Kim masuk ke dalam toilet. Mereka bertemu pandang melalui cermin, “Sudah kuduga kau di sini. Bosmu mencarimu, dia bilang kalian harus segera pulang,” kata Kim.             “Pulang? cepat sekali?” Charlotte memasukkan lipstik dan bedaknya dengan satu gerakan. “Dimana dia sekarang?” tanyanya pada Kim. Gadis Korea-Jepang itu sedang membetulkan letak atasan gaunnya yang berbentuk kemben berwarna nude. Silikon plastik penambah ukuran branya sempat mengintip sedikit. Kim buru-buru memasukkannya lebih dalam ke dalam kembennya, Charlotte berusaha keras menahan tawanya.             “Aku akan keluar..” kata Charlotte. “Sampai jumpa lagi.”             Gadis itu lalu keluar dari sana. Sekitar 3 meter jauhnya dari pintu toilet, barulah ia melepaskan tawanya dengan lega sambil celingak-celinguk mencari keberadaan Dave. Pria itu terlihat berdiri di dekat tangga, tangan kirinya memegang gelas wine yang sudah tidak ada isinya lagi.         Charlotte menghampiri Dave, “Kata Kim, kau mencariku..., kita pulang sekarang?”         Dave menaruh gelas kosong yang ia pegang-pegang itu ke sebuah nampan yang dibawa oleh seorang pelayan yang melintas dekat mereka. “Yeah. Kita kembali ke hotel sekarang. Kepalaku pusing,” katanya. “Mobil yang menjemput kita sudah menunggu di depan. Ayo.”         Charlotte berjalan di belakang Dave. Mereka berjalan beriringan di melalui pinggiran ruangan yang lebih lengang ketimbang harus berjalan  melewati kerumunan manusia yang berada di tengah ruangan. Dave bilang ini bukan pesta, melainkan pertemuan antar kolega bisnis, tapi bagi Charlotte berdasarkan pengalaman pribadinya menemani Mrs. Halley, pertemuan ini lebih pantas disebut pesta.             “Di sana.” Dave menunjuk sebuah mobil yang terparkir di tepat di depan pintu masuk. Mesin mobil itu masih menyala. Dave membuka pintunya, lalu membiarkan Charlotte masuk terlebih dahulu. Seorang pria paruh baya yang rambutnya hampir putih sempurna, duduk di depan mengenakan setelan seragam yang persis sama dengan supir hotel yang sebelumnya mengantarkan mereka ke sini.            “Bahkan belum genap setengah jam kita berada di sana, “ kata Charlotte. Ia melepaskan jepitannya, merapikan rambutnya dengan jari-jari tangannya. “Dugaanku, kau bahkan belum sempat bertemu dengan kolega bisnismu yang lain.” Gadis itu memasang jepitnya kembali.             Dave tidak menjawab Charlotte. Pria itu sedang melihat ke luar jendela; pemandangan Paris di malam hari. Dave beberapa kali tampak memejamkan matanya cukup lama. Tangannya ia tumpukan pada pinggiran jendela. Charlotte nyaris menampar pipinya sendiri agar tidak terpaku menatap Dave terlalu lama.             Tiba-tiba Dave menggumamkan sesuatu pada si supir. Mobil pun berbelok ke arah yang berlawanan dengan hotel mereka. Charlotte terheran-heran, “Kita mau kemana? Bukankah seharusnya kita belok ke kiri di pertigaan jalan tadi?” tanyanya.             Dave menyunggingkan senyumnya, “Simpan suaramu untuk menghadapi Kurt besok,” katanya. Itu benar-benar sukses membuat Charlotte membungkam mulutnya dan tidak berbicara apa pun. Hanya ada alunan musik instrumental piano dipadu deru mesin dan ban yang bergesekan dengan jalanan yang baru saja dihujani salju. Suhu di luar sana memang mulai menurun, dan Charlotte sedikit menyesal karena meninggalkan mantelnya di hotel.             Dari kejauhan, nampak puncak menara Eiffel bersinar dengan lampu-lampu yang terpasang membingkai di tiap bagiannya. Charlotte mulai tersenyum-senyum penuh arti. Sepertinya ia bisa menebak kemana Dave akan membawanya. Mungkin malam ini akan ada sedikit wisata kota Paris yang bisa membawanya tidur nyenyak di hotel nanti.             “Haruskah ku ucapkan terima kasih karena kau membawaku ke sini?” tanya Charlotte. Kedua matanya membesar dan berbinar-binar seperti mata anak kecil yang baru saja dibelikan boneka oleh ibunya.             “Paling tidak pergi ke sini bisa sedikit memperbaiki apa yang terjadi.” Alih-alih menjawab, Dave justru memulai topik baru. “Maksudku, maafkan aku yang tidak bisa menolongmu terang-terangan saat Kurt bertindak agresif padamu,” lanjutnya. Pintu mobil terbuka, Dave keluar diikuti Charlotte kemudian.             Charlotte mengusap-usap kedua lengannya sendiri, “Suhu malam ini sepertinya tidak akan bersahabat dengan gaun yang aku pakai,” gerutunya. “Kau tentu tidak keberatan kalau aku memakai jasmu yang sungguh terlihat mahal itu, kan?”             Dave menunjuk jas yang ia kenakan, lalu tertawa. “Seharusnya, kau menunggu si pria yang melepaskan jasnya lalu memakaikannya padamu. Bukan malah memintanya sendiri—sangat tidak romantis,” kata Dave. Ia melepaskan jasnya, menyisakan kemeja putih yang masih dikalungi dasi di kerahnya. “Kau bisa memakainya sendiri, kan?” Dave melemparkan jasnya pada Charlotte. Gadis itu menangkapnya.             “Seharusnya kau memakaikannya—ah...kau sendiri tidak bisa romantis,” kata Charlotte, sembari memakai jas Dave. Kini, ia bisa sedikit merasa hangat. “Jadi, kau akan membawaku kemana?”             Dave menjawab dengan suara serak, “Aku akan memfotomu berpose di bawah menara itu. Sekarang, atau tidak sama sekali. Mulai besok kita akan melalui hari-hari padat..., jadi, lebih baik kau segera berfoto dengan pose terbaikmu.”             Mereka berdua melintasi taman Champ de mars; taman yang terkenal karena Eiffel berdiri kokoh di pusatnya. Di dalam area itu sendiri tidak terlalu ramai. Mungkin turunnya salju dan suhu udara yang semakin turun, membuat orang-orang yang tadinya berada di sini mulai menepi ke tempat lain. Restoran misalnya? Charlotte sekarang mulai berpikir untuk merayu Dave agar pria itu menraktirnya makan malam di restoran gastronomi  Le Jules Verne yang terkenal itu. Gadis itu sedang membayangkan bagaimana istimewanya makan di restoran itu sambil menikmati gemerlap lampu kota Paris...., lalu mendengar Dave berdehem.             “Kau ingin berjalan sampai ke ujung taman ini?” tanya Dave dengan nada penuh sindiran. Charlotte baru sadar kalau ia sudah berada di spot yang tepat. Menara Eiffel tepat berada di belakangnya dengan jarak yang fantastis untuk mengambil fotonya dengan menyertakan menara Eiffel yang lengkap dari ujung atas hingga bagian kaki-kaki menara.             “Kau siap? Satu...dua...ti—“ suara cekrikan kamera terdengar beberapa kali. Dave melihat hasil-hasil foto yang terkumpul di ponselnya. Charlotte tidak membawa ponsel bersamanya, jadi Dave berbaik hati menawarkan kamera ponselnya dengan setengah hati. “Bagaimana?” tanya Dave pada Charlotte yang sedang mengamati satu persatu hasil fotonya.             “Ini bagus. Kirimkan via email padaku...” Charlotte memegang perutnya yang berbunyi kencang. Dave tertawa sangat kencang dan membuat kaki Charlotte mati rasa karena malu. “Maaf, aku...perutku...”             “Bagaimana dengan restoran di tingkat dua Eiffel?” ***             David Whittaker itu benar-benar membawanya ke Le Jules Verne, tanpa Charlotte perlu merayunya. Meskipun di awal tadi, Charlotte hampir saja mati kutu karena Dave bercanda akan menyuruh Charlotte membayar semua tagihan makanan mereka malam ini sementara pria itu tahu, Charlotte tidak membawa dompetnya. Clucth bag yang ia bawa memang hanya diisi dengan lipstik, bedak dan parfum saja.             Di pintu masuk, mereka berdua di sambut oleh seorang pelayan pria yang memandu menuju meja mereka. Mereka beruntung malam ini pengunjung tidak terlalu ramai, jadi mereka bisa mendapatkan tempat yang strategis untuk menikmati pemandangan Paris yang terkenal romantis. Selagi Charlotte terkesima dengan kerlipan lampu-lampu kota Paris di malam hari, Dave memilih menu makan malam mereka.             “Kau tidak keberatan dengan steak?” tanya Dave. Charlotte mengangguk semangat tanpa melepaskan pandangannya dari luar dinding kaca yang terbentang kokoh menjadi tembok restoran ini. Dave berbicara dengan bahasa Prancis yang tidak ada satupun kata dari kalimatnya yang dimengerti Charlotte. “Ada apa?” Dave menoleh, memergoki Charlotte yang sedang memandangnya penuh kagum. Pelayan yang mencatat pesanan mereka baru saja pergi.             “Bahasa Prancismu lancar sekali. Begitulah seorang calon pemimpin perusahaan Whittaker seharusnya, ya?” puji Charlotte sepenuh hati. Bahasa Prancis Dave yang fasih sanggup membuat Charlotte mengalihkan pandangannya dari gemerlap lampu di luar sana.             “Aku senang mempelajari banyak bahasa.” Dave nyengir. “Aku suka travelling..”             Charlotte manggut-manggut, “Itu hobi yang cocok untukmu yang memiliki banyak uang, “ katanya tanpa sungkan. “Jadi, kau sudah pergi kemana saja?”             Dave mengubah posisi tangannya menjadi lebih santai. Kursinya ia tarik lebih dekat ke arah meja, “Dengan segala kesibukanku ini, aku hanya mampu keliling Eropa dan pergi ke Jepang dan Korea saja—“             “Ah, itulah mengapa kemarin kau bisa sangat dekat dengan Kim.” Charlotte mengubah ekspresinya menjadi pura-pura terkejut. “Pastinya banyak sekali yang kau obrolkan dengan Nona itu.”             Dave tertawa mengejek, “Well, setidaknya dia memang lebih menyenangkan jika dibandingkan dengan dirimu. No offense,” kata Dave membalas nyinyiran Charlotte. Ia senang bisa membuat Charlotte menatap sebal ke arahnya.             Pesanan makanan mereka mendahului niat Charlotte yang ingin melawan perkataan Dave padanya. Rasa lapar gadis itu mengalahkan amarahnya yang mulai naik, meredamnya, dan mengubahnya menjadi nafsu makan yang lebih besar dari semula. Ia bisa rasakan cacing-cacing di perutnya menggeliat membuat gerakan-gerakan yang memacu perutnya merasa lebih lapar. Charlotte mengunyah potongan-potongan steaknya dengan tenang tapi lahap. Ia makan dalam diam begitu pula Dave.             Suasana mulai cair ketika makanan penutup mereka datang. Charlotte bersorak dalam hati ketika parfait banana kesukaannya disajikan di depannya.  Ia melirik Dave yang masih menghabiskan steaknya. Ada dua makanan penutup di atas meja; parfait banana, dan tumpukan es krim scoop cokelat yang dikelilingi buah-buahan. Charlotte mengincar parfait banana.             “Parfait banana itu milikku,” kata Dave sambil mengunyah makanannya. Charlotte menanggapi Dave dengan desisan kecil, seperti sedang menyedot air dari sela-sela giginya. “Kau bisa memesan parfait banana yang lain, kalau kau mau....,dan membayarnya sendiri.”             Charlotte menghembuskan napas dengan jengkel. “Oh, mimpi buruk apa aku semalam?” kata Charlotte tajam. Ada keheningan singkat. Akhirnya, Dave menyimpulkan senyum kecil di bibirnya.             “Aku hanya bercanda. Kau bisa memiliki es pisang itu,” kata Dave, menyebut parfait banana menjadi es pisang. Charlotte tertawa sinis.             “Tidak mau,” ujarnya. Sesuai dugaan Dave, gadis itu akan menolaknya. “Aku bisa memesannya sendiri nanti....,mungkin besok sore.”             Dave menyambar perkataan Charlotte, “Kau tidak kuizinkan pergi sesuka hatimu, Nona Jackeens,” kata Dave. “Pertemuan dengan para orang kaya berpengaruh di dunia itu tidak memakan waktu yang sedikit.”             Charlotte melotot. “Kau berbicara seolah kau memiliki hak sepenuhnya atas apa yang ingin aku lakukan. Jangan berbicara seolah-olah aku tidak memiliki pilihan,” kata Charlotte. “Aku tidak ingin dengar apa-apa lagi dari mulut—“ “Dave?”             Seorang pemuda mengenakan sweater cokelat tua menepuk bahu Dave. Ia mengenakan kacamata berbingkai oval hitam kebiru-biruan, menambah kesan cerdas yang terpancar dari binar manik matanya yang berwarna hijau terang. Dave bengong sesaat, sebelum kemudian mengembangkan kedua lengannya, lalu berdiri memeluk pria itu, “Sobat!! Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini!” Dave memekik senang. Dan terjadilah reunian teman lama di depan mata Charlotte yang mulai merasa salah tempat. Dave dan pria-yang-tidak-ia-tahu namanya itu asyik membicarakan masa-masa kuliah mereka. Charlotte semakin merasa tersingkir, karena Dave bahkan tidak mengenalkan dirinya pada temannya itu.             “Dave, aku...” Charlotte memberi isyarat ingin pergi ke toilet. Dave hanya menoleh sesaat, menganggukkan kepalanya semberi tetap menimpali apa yang dibicarakan teman lamanya. Sebelum masuk ke dalam toilet, Charlotte menoleh ke belakang. Teman lama Dave itu kini menempati kursinya. Sepertinya pembicaraan mereka akan sangat panjang, pikir Charlotte. Maka, Charlotte berjalan memutar menuju pintu keluar restoran tanpa sepengetahuan Dave. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN