Entah apa yang ada dalam pikiran Ririn ketika dia akhirnya mengiyakan ajakan Iksan untuk bertemu, padahal dia sudah memakai banyak alasan tadinya, toh pada akhirnya dia mengiyakan juga dan membiarkan Iksan menjemputnya di rumah sakit sore ini. Rencananya mereka akan malam bersama, di salah satu resto di daerah perkantoran jalan Sudirman.
"Kamu mendadak banget sih ngasih tahunya," ucap Iksan ketika mereka baru saja meninggalkan parkiran Rumah sakit Royal Jakarta.
"Hmm soalnya Mama juga baru kasih tahu aku kalo nggak jadi pergi, jadi ya aku wa kamu aja," jawab Ririn yang lagi - lagi sudah melakukan kebohongan.
"Memangnya kamu sudah ada acara lain?" tanya Ririn.
"Nggak ada sebenarnya, tapi hampir aja ikut Mama yang mau pergi jam lima ini ... telat sepuluh menit aja kamu wa tadi, mungkin aku sudah duduk di mobil Mama."
Ririn terkekeh membayangkan Iksan jadi anak manis yang ikut dengan mamanya pergi, hal yang jarang dia lihat pada abang dan aa'.
"Si paling anak Mama, kemana - mana ikut mama."
"Derita jomblo dan lagi akting jadi anak tunggal, Rin."
"Jangan - jangan Pinkan sengaja nggak pulang - pulang biar kamu jadi andalan di rumah."
"Nggak jelas tuh anak, hobby banget sekolah ... kalo S2 nya selesai dia mau cari kerja di sana katanya, aku yakin ujung - ujungnya nikah tuh sama orang sana," tuduh Iksan.
"Memangnya pacarnya bule?"
"Perasaan aku dia memang idabul gitu Rin, kan dia ngakunya kulitnya eksotis ...bule suka model gitu," Iksan berbicara seolah bukan sedang membicarakan adiknya sendiri.
Ririn tertawa ngakak," Tega ih sama adiknya sendiri."
"Eh beneran, eyangku sampai bilang, ini nih beneran cucu eyang, muka Jawa kulit sawo matang, kalo Iksan cucu Opa Manado katanya, padahal namanya yang jawa banget aku, si Pinkan malah dikasih nama manado, aneh banget papaku waktu kasih nama," jawab Iksan sambil menggelengkan kepala.
Perjalanan saat jam kerja bubar memang tidak bisa dihindari yang namanya macet. Tapi karena asyiknya ngobrol, mereka bahkan tidak komplen soal kemacetan yang sudah menahan mereka satu jam perjalanan tapi belum sampai juga di tujuan. Banyak tawa diantara mereka berdua, ada saja yang Iksan ceritakan dan membuat Ririn tidak bisa menahan tawanya.
"Eh sampai lupa, itu oleh - oleh Korea, di belakang kursiku," ucap Iksan.
Ririn menoleh ke samping kanan bawah, tepatnya ke arah belakang kursi pengemudi, ada paper bag warna putih.
"Paper bag ini?" tanya Ririn sambil menjangkau barang yang dia tanya barusan dan membawanya ke atas pangkuannya.
"Buanyaaak amat om," ucap Ririn melihat isi paper bag putih itu.
"Banyak apaan, tasnya aja yang kekecilan, jadi isinya kayak penuh gitu."
Ririn melihat beberapa produk yang dia kenali karena memang dia pakai sehari - hari. Sedangkan yang facial mask dalam kemasan beraneka warna baru pertama kali dilihatnya.
"Ini apa?" tanya Ririn sambil membaca keterangan produk pada kemasannya.
"Masker wajah, katanya itu bagus buat melembabkan dan mencerahkan kulit, aku cari yang mencerahkan masa depan nggak ada, jadi yang itu aja dulu."
Ririn tertawa.
"Yang mencerahkan masa depan sekolah tuh kayak Pinkan."
"Kali aja teknologi baru Rin."
Ririn menggelengkan kepalanya masih dengan senyuman sambil melihat lagi barang - barang yang beraneka ragam di dalam paper bag itu.
"Ini kamu beli lipstik?"
Iksan menoleh," Oh itu waktu di Singapore minggu lalu, aku belum sempat ngasih, itu aku beli ikut - ikutan aja sama pramugari, belinya di duty free Changi."
"Bagus warnanya," ucap Ririn sambil menorehkan ujung lisptik di punggung tangannya.
"Cobain dong," pinta Iksan.
"Sekarang banget."
"Iya."
"Mana Tissu?" Ririn menoleh ke kursi belakang dan tidak melihat apa - apa.
"Ada di kantong kursi di belakang kursi aku."
Ririn merogoh kantong kursi Iksan, dan menemukan bungkusan tissu yang tidak terlalu besar.
Diambilnya satu tissu lalu diusapkan pelan di bibirnya untuk menghapus lipstik yang tadi baru dipakainya sebelum dijemput Iksan.
Kemacetan membuat Iksan bisa melihat saat Ririn mengaplikasikan lipstik di bibir pink pucatnya lalu mematut bibirnya dan sesekali mengulum bibirnya sendiri di depan kaca kecil, itulah kesalahan Iksan ... sekarang dia harus menelan ludahnya dan membuat jakunnya naik turun, mendadak dia ingin menjadi lipstik Ririn.
"Bagus kan?" tanya Ririn sambil memamerkan bibirnya yang sudah memakai lipstik barunya.
"Bagus," jawab Iksan pelan, dia takut tersedak kalau terlalu semangat bilang bagus.
"Makasih ya, aku belum pernah punya warna ini, ternyata cocok juga," ucap Ririn sambil berkaca lagi.
"Sama - sama."
Perjalanan terus berlanjut, tempat tujuan mereka sudah dekat, Ririn pun sudah selesai melihat oleh - oleh Iksan.
Kalau ke Resto yang berada di gedung perkantoran memang mudah mencari parkir karena para karyawan perkantorannya sudah banyak yang pulang, tapi Iksan tetap memilih Vallet Parking saja, tidak semua gedung perkantoran ada jasa parkir begini, mungkin karena ada beberapa resto besar dan cukup terkenal di sini makanya jasa parkir ini disediakan.
Hanya karena tidak ada status lain selain teman, tentu saja tidak ada genggaman hangat Iksan untuk Ririn, mana berani Iksan ...
Mereka hanya berjalan bersisian menuju lift untuk naik ke lantai lima belas dimana resto yang mereka tuju berada.
Resto yang masuk kategori mewah ini mereka datangi tanpa ada acara spesial, hanya ingin makan malam saja. Iksan tadi sudah memesan tempat lewat telpon, jadi mereka langsung mendapat tempat.
Mereka juga tidak perlu menunggu lama untuk memesan makan dan minuman karena memang sudah ingin segera makan.
"Terimakasih," ucap Ririn ketika waiter akan meninggalkan meja mereka setelah mencatat pesanan mereka.
Tiba - tiba terdengar bunyi ponsel Iksan, setelah dia lihat ternyata owka yang menelpon.
'Ckk .. tahu aja sih gue jalan sama adeknya'
Iksan mengabaikan aja panggilan Owka, untung volume-nya tidak terlalu besar.
"Siapa?"
"Owka.'
"Ada apa?"
"Nggak tahu."
"Kamu nggak terima?"
"Nanti aja, pasti nggak penting," jawab Iksan santai.
Ririn tersenyum, dia lega juga kalau Iksan tidak menerima panggilan kakaknya itu, takutnya aa' Owka tahu dia jalan sama Iksan bisa - bisa sampai ke papa mamanya.
"Nanti kalo kamu sudah tunangan sama Alvin, apa kita masih bisa begini ya Rin?" tanya Iksan, agak nekat tapi dia penasaran ingin mendengar pendapat Ririn.
"Nggak tahu deh," jawab Ririn. Sebenarnya bukan tidak tahu, Ririn tahu persis jawabannya apa, tapi yang jelas dia hanya tidak mau kehilangan momen sama Iksan saja, dia belum rela juga.
"Aku jadi nggak enak, jadi rasanya rela nggak rela kayaknya kita harus membatasi diri."
"Nggak enak kenapa, sama Alvin maksudnya?"
"Ya yang pertama sama Alvin, tapi nggak enak juga sama Capt Owie dan tante Priska, gimana juga kan anaknya sudah jadi tunangan orang, masa aku ajak - ajak pergi."
Ririn menarik sudut bibirnya, kalo soal papa mamanya dia tidak bisa bilang apa - apa, bahkan sebelum jadi tunangan Alvin saja dia sudah disuruh membatasi diri sama Iksan, padahal Alvin baik - baik saja, tidak pernah protes apalagi melarang.
"Tapi paling nggak jangan jauh - jauh banget, nanti aku curhat sama siapa?"
"Maunya nggak jauh - jauh Rin, tapi aku tahu diri lah. Sebenarnya aku takut kalo kamu sudah jadi tunangan Alvin, nanti kamu malah langsung lupain aku ... ya nggak salah juga sih, kalo aku jadi Alvin aku juga nggak akan izinkan tunangan aku dekat dengan cowok lain."
"Tapi kan kita nggak ada hubungan apa - apa, hanya temenan ... apa salahnya?"
Iksan tidak langsung menjawab, karena obrolan mereka terjeda dengan makanan yang datang. Makanan mereka datang bertahap, mulai dari appetiser-nya dulu. Mereka hanya menikmati makanan tanpa membahas perbincangan mereka tadi, mungkin supaya tidak menghilangkan nafsu makan ...sayang soalnya, makanan mahal pun bisa menjadi hambar kalau diselingi pembicaraan yang tidak menyenangkan hati.
Berikutnya makanan utama yang datang, sesekali mereka bicara tapi membahas soal makanan saja, sampai dessert datang pun tetap begitu, hanya membahas rasa manis dessert-nya yang menurut Ririn pas.
Sudah satu jam mereka di sini, sebenarnya mereka tidak kaku walaupun tidak membicarakan hal lain selain tentang makanan malam ini, tapi memang tidak seperti biasanya yang apa saja mereka bicarakan, seperti dalam perjalanan tadi.
"Jadi bisa masuk rekomendasi nggak resto ini?" tanya Iksan.
"Ya boleh, enak sih masakannya, aku kasih nilai delapan setengah."
"Cukup bagus."
"Kamu pernah ke sini mas?" tanya Ririn.
"Belum pernah sih, abis kamu wa aku tadi, aku langsung browsing aja sebelum jemput kamu."
"Owwh ... eh balik lagi pertanyaan aku tadi."
" Pertanyaan apa?"
"Apa salahnya kalo kita tetap jalan, kan kita cuma berteman ... nggak ada hubungan lebih."
Iksan mengambil serbet untuk menyeka bibirnya, berat dia menjawab pertanyaan Ririn ini.
"Tetap salah, karena aku...."
Iksan diam sejenak, dia menunduk.
Alis Ririn bertaut.
"Kenapa?" tanya Ririn seperti mendesak.
Iksan melihat ke arah Ririn.
"Selama ini aku nggak jujur berteman sama kamu Rin, ada rasa yang nggak bisa hilang ... dan rasa itu nggak bisa menganggap kamu cuma teman biasa saja."
"Maksudnya?"
"Perasaan cinta itu nggak bisa hilang Rin," jawab Iksan pelan.
Ririn menghembuskan nafas lalu membuang pandangannya.
****
Persiapan acara pesta pernikahan Kana di Jakarta sudah semakin dekat. Hanya tinggal beberapa hari lagi, keluarga Ana dari Medan pun sudah datang ke Jakarta. Walau bukan kakak kandung, tapi kalau sepupu yang menikah tentu saja Ririn kebagian sibuk. Setidaknya sibuk persiapan tampil sebagai pengisi acara, walau sudah menjadi penyanyi profesional, latihan tetap perlu dilakukan.
Ririn tidak dalam kondisi baik - baik saja. Sudah beberapa hari ini perasaannya resah. Setelah pertemuan dengan Iksan tiga hari yang lalu, tiba - tiba saja semua berubah. Mereka sekarang tidak saling menghubungi walaupun tidak ada kata - kata tresmi yang sepakat untuk saling menjaga jarak. Sejak Iksan bilang masih ada rasa cinta yang tidak bisa hilang, mereka tidak bicara lagi, Ririn hanya mengucapkan terimakasih saat turun dari mobil Iksan yang berhenti di depan rumah Yangpa. Iksan pun tidak menyahut apa - apa lagi, dia sudah menilai bahwa Ririn marah padanya, ntah lah ... diamnya Ririn membuat Iksan sudah mengambil kesimpulan sendiri.
"Dek, asisten tante Andin sudah nganterin baju ... Mama taruh di kamar bawah ya," ucap Priska yang melihat Ririn baru pulang.
"Ya, aku naik dulu ma," jawab Ririn singkat lalu pergi naik keatas menuju kamarnya.
"Kenapa dia?" tanya Owie yang memang ada di ruangan yang sama dengan istrinya, bahkan dia tidak di sapa oleh Ririn.
"Nggak ngerti, kebelet kali," jawab Priska yang memang tidak ada dugaan apa - apa.
Sementara itu di kamarnya Ririn langsung mandi lalu melakukan perawatan malam sebelum tidur, dia tidak berniat turun untuk makan malam, padahal sekarang baru jam tujuh malam.
Sudah tiga hari ini dia tidak tenang, berkali - kali dia melihat ke arah ponselnya ... dia tidak tahu mengharap apa ... tidak mungkin dia mengharap pesan wa dari Iksan karena malam itu dia sudah menghapus seluruh chat Iksan dan terakhir block!