Disaat sudah sampai di posisi siap melangkah tapi tiba - tiba ditanyakan soal keyakinan hati, itu ibarat orang sudah mandi, sudah wangi lalu tiba - tiba ditanyakan lagi, "Yakin kamu sudah mandi?" Ya wajar saja yang ditanya langsung mengendus tubuhnya sendiri dan menjadi tidak percaya diri dan rasanya ingin kembali mandi lagi. Itu juga yang Ririn rasakan saat ini. Di saat acara lamaran dan pertunangannya sudah dalam persiapan dan mulai berjalan, sekarang dia ditanya lagi oleh papanya,apakah dia yakin akan bertunangan? Ririn tidak tahu dan tidak pernah mengecek juga, apakah kakak - kakaknya juga ditanyakan seperti ini sama papanya saat akan mulai melangkah ke lebih serius dulu?
Ririn tidak langsung menanggapi pertanyaan papanya barusan, mau dijawab langsung juga tapi dia takut salah karena wajah papanya begitu serius, tidak galak sih ... cuma agak berbeda saja. Jarang - jarang Ririn menemukan ekspresi papanya yang campuran serius, datar, tidak bersemangat dan apa ya, lebih mirip malas membicarakan ini tapi harus. Ririn menoleh ke mamanya meminta dukungan sekaligus mencari tahu, ada apa ini? Walau tidak bicara, Ririn bisa melihat ekspresi mamanya yang menyuruhnya untuk menanggapi pertanyaan papanya.
"Yaa ... sampai beberapa detik yang lalu aku masih yakin, tapi dengan Papa tanya begini, aku kok jadi goyang lagi ."
"Kalau Adek yakin, kenapa harus ragu hanya karena pertanyaan Papa? Kan tinggal jawab, ya aku yakin Pa, titik nggak pake tapi - tapi lagi. Kalau masih pake tapi, berarti ada yang salah dengan keyakinan adek tadi."
Ririn bingung, ini kenapa Papanya jadi berputar - putar begini? Sekarang dibuat seolah - olah dia yang salah dengan sikap dan keputusannya.
"Ada apa sih Pa? Ada yang salah sama Alvin sampai Papa nanya soal ini lagi?"
"Papa nggak tahu apa salah Alvin, Papa juga nggak tahu apa yang sudah diperbuatnya sampai - sampai Papa meragukan dia ... tapi Papa merasa ada yang salah disini, Papa nggak tahu apa. Coba lah Adek cari tahu dulu, bukan karena Alvin berada satu lingkungan dengan kamu berarti kamu tahu segalanya tentang dia."
"Cari tahu apa lagi Pa, sudah beberapa tahun ini kami dekat, aku sayang sama Alvin, kami sama - sama jatuh cinta, kami selalu bersama - sama dan dalam circle yang sama. Teman - temanku semua tahu kami pacaran, nggak ada perselingkuhan, kami nggak pernah berantem cuma gara - gara cemburu karena selingkuh atau gosip - gosip yang buruk tentang kami berdua. Apa nggak terlalu berlebihan Papa menilai Alvin ada yang salah, apa dia buruk di mata Papa?" tanya Ririn yang terlihat sekali mulai tidak sabar menghadapi papanya.
Papa owie menghela nafas pendek.
"Papa nggak pernah menyebutkan penilaian buruk terhadap Alvin, bahkan Papa nggak tahu apa - apa tentang dia selain dia artis sibuk sama seperti adek juga. Papa hanya bicara sekali ... hanya sekali ngobrol serius dan agak lama ngobrol sama Alvin, tepatnya waktu dia bilang mau serius sama Adek dan mau melamar adek ... ya seingat Papa hanya sekali itu Papa ngobrol agak panjang dan serius sama dia. Dan disaat itu juga Papa jadi bisa melihat dengan leluasa wajahnya, tiba - tiba hati kecil Papa memberi warning, ada satu yang salah di sini ... tapi papa nggak tahu apa."
"Alvin jelek? Nggak kan?"
"O nggak, papa nggak bicara fisik Dek disini. Kalau soal fisik, seluruh Indonesia juga mengakui Alvin ganteng, p[apa yakin itui."
"Apa dia nggak sopan karena tadi nggak turun pas jemput aku?" tebak Ririn.
"Menurut Papa yang tadi itu nggak jadi masalah besar buat papa walau sebaiknya tadi dia memang harus turun dan pamit karena dia juga tahu ada Papa dan Mama disana, tapi itu jangan jadi masalah, soalnya bukan itu poinnya."
Ririn jadi bingung kalau sudah begini. Oke secara fisik lolos dari penilaian papanya, soal yang menjemput tadi juga tidak masalah, lalu apa?
"Please kasih clue Pa, aku nggak tahu kalo Papa nggak kasih tahu petunjuk apapun tentang kekhawatiran Papa."
Papa Owie diam sejenak, sepertinya dia sedang berpikir atau mungkin sedang mencoba merangkai kata yang tepat untuk disampaikan.
"Kita sekarang ini berhadapan dengan manusia, bukan mesin. Kalau di pesawat ada salah satu saja yang salah, ada indikator yang menyala untuk kasih tahu, warning ... misalnya ini ada sesuatu yang salah di roda pesawat atau engine satu atau engine dua ada yang harus diperhatikan ... atau mungkin instrumen lainnya, itu semua jelas. Tapi ini Papa berhadapan dengan manusia, feeling Papa agak kurang enak, entah feeling sebagai laki - laki atau feeling sebagai Papa ... masalahnya tidak ada lampu indikator yang menunjukkan bagian mana yang salah. Jadi Papa nggak bisa kasih tahu secara spesifik, tapi papa merasa ada warning ... tapi sebelah mana? Sekarang Papa hanya minta Adek mencari tahu lagi, seberapa yakin Adek sama Alvin ... karena keyakinan Adek itu penting, setidaknya bisa menghilangkan rasa bersalah Papa sudah mengabaikan feeling dan warning dan tetap menyetujui rencana kalian ini."
"Papa nggak salah apa - apa kok, kan hanya menyetujui dan otomatis merestui kan? Semua keputusan ini Aku yang mau, aku yang buat, Papa dan Mama tidak akan disalahkan apa - apa," jawab Ririn dengan entengnya. Mana dia tahu tanggung jawab dan beban moral orang tuanya kalau sampai terjadi apa - apa pada dirinya. Ciri khas anak dalam generasi mereka, dia sudah merasa paling benar dalam mengambil keputusan hanya berdasarkan rasa dan logika mereka saja dan menganggap orang tua terlalu lambat, jadul, overthinking dan banyak sekali pertimbangan dalam mengambil keputusan.
"Dek, apa kamu sudah berdoa yang seperti Papa sarankan dulu?"
"Sudah."
"Adek sudah membatasi komunikasi sama Iksan?"
Pertanyaan mamanya membuat Ririn kembali melow lagi perasaannya.
"Aku sudah nggak pernah kontak lagi sama mas Iksan seminggu belakangan ini, nomornya juga sudah aku block," jawab Ririn pelan.
"Kenapa sampai di block? Ada bikin salah apa dia?" tanya Papa Owie.
"Dia bilang nggak tulus berteman sama aku Pa, jadi aku block aja."
"Nggak tulus itu maksudnya gimana, dia ngapain Adek?" suara papa owie agak meninggi, tidak datar lagi. Tentu saja karena dia khawatir Iksan berbuat yang tidak - tidak pada anak gadisnya.
"Dia curangi Adek?" Mama Priska ikut menimpali.
Ririn menggeleng.
"Dia bilang nggak tulus cuma temenan sama aku, dia sebenarnya menyimpan perasaan lebih sama aku persis seperti yang dia bilang sama aa' dulu ... jadi dia bukan cuma mau berteman sama aku ma, dia berharap lebih, aku nggak mau ...aku nggak bisa.." Ririn menggelengkan kepalanya.
Ada rasa lega dari kedua orang tua Ririn, mereka lupa si bungsu mereka ini dari dulu memang rada drama queen, orang jatuh cinta bucin akut dibilang tidak tulus dalam berteman.
"Sudah bagus dia jujur, menjaga jarak bukan berarti harus di blokir."
"Itu berpotensi merusak hubungan aku sama Alvin, Pa."
"Dari kemarin itu Papa kan sudah bilang ... jaga jarak sama Iksan, Adek nggak mau nurut dan masih saja pergi sama dia kan? Ya nggak salah Iksan juga kalo dia terus berharap, wong kamunya ngasih kesempatan kok. Kalau sekarang Adek bilang berpotensi merusak hubungan dengan Alvin, kenapa nggak dari awal aja membatasi diri dari Iksan ...bertahun - tahun kalian tetap jalan bareng kok baru sekarang bilang berpotensi merusak hubungan? Harusnya dia sudah di kasih jarak dari awal supaya dia juga bisa dekat dengan perempuan lain dan nggak menghabiskan waktunya cuma sama Adek aja."
"Perempuan lain?"
"Kenapa? Kan sama Adek tuh dia nggak ada harapan, ya harusnya dari dulu jangan dekat seperti kemarin, biar aja dia mencari perempuan lain."
"Aku nggak pernah melarang," bantah Ririn.
"Memang nggak dilarang, tapi ditempel terus, sementara perasaan dia nggak tulus kata Adek tadi. Dekat terus sama cewek yang dicinta, diharapkan ... gimana dia bisa dekat sama wanita lain?" cecar papa Owie.
"Sepertinya Papa nggak ada trust issue sama Iksan, dia juga sayang sama Adek ... kenapa nggak sama Iksan aja Dek?" tanya mama Priska tiba - tiba tanpa di duga memberi ide yang mengagetkan.
Ririn langsung melotot," Maksud Mama apa?" Suara Ririn agak meninggi.
Ririn berdiri dan bersiap meninggalkan kamar orang tuanya.
"Pembicaraan Papa sama Mama semakin aneh dan gak karu -karuan, aku udah nggak mau ngomongin lagi soal keyakinan ke Alvin dan bahas soal mas Iksan lagi, case closed!"
Ririn langsung keluar dari kamar papa dan mamanya itu, perasaannya sangat kesal.
Sementara papa dan mamanya tidak menahannya untuk pergi keluar kamar.
Ririn masuk ke kamarnya dan menguncinya dari dalam lalu menghempaskan tubuhnya diatas kasur empuk miliknya.
"Ini apa lagi sih? Astaga ... ini baru mau tunangan aja sudah seribet ini, apalagi nanti nikah?"
Ririn berguling di kasurnya, kepalanya pusing, emosinya sedang diacak - acak ...biasanya ada tempat untuk mengadu, kalo sekarang?
"Mas Iksan sialan! Kenapa sih pake bilang suka ... kan aku sekarang nggak punya teman curhat, dodol!" umpat Ririn kesal.
Sementara itu di kantin Flops ada yang menyapa Iksan yang sedang duduk sendiri dan hanya berhadapan dengan es jeruknya.