Calon Penerus Eyang

1957 Kata
Aku harusnya sudah tahu kalau jadi opsi kedua itu sakit banget ya rasanya, walau aku nggak yakin juga, apakah aku ini termasuk dalam opsinya atau nggak ya? Ntah lah. Tapi aku sadar kok kalo aku tuh dicari saat dia butuh aja, aku juga tahu selama dia merasa kesepian dia akan telepon aku juga, nggak kayak aku yang memang menghubungi dia karena aku kangen, mau ketemu dia karena aku memang merasa selalu nyaman kalau dekat dia, ngenes sih ... ya aku baru merasa ngenes sekarang. Seharusnya aku sudah sadar dari kemarin - kemarin kalau kami tidak punya hubungan apa - apa, eh aku malah berani - beraninya menaruh harapan, status saja tidak ada, mungkin aku malah masuk kategori orang diluar pagar tapi ya kok aku rada nekat juga mau menempatkan dia sebagai calon pendampingku menghadapi masa depan. Ckk ... gini banget hidupku. Kalau memang dia sudah mantab akan melanjutkan hubungan dengan Alvin, terus aku ngapain masih disini - sini aja, nungguin gitu? Hahaha mungkin tidurku terlalu miring, jadi mimpinya suka berlebihan. Memangnya kalau suatu hari nanti ketemu lagi, apa mungkin ada perubahan? Mungkin ada ... paling juga jadi orang asing seperti tiga hari ini. Iksan asyik bermonolog dan tenggelam dalam lamunan yang menyedihkan. Salahnya dia juga sih yang memulai pembicaraan soal keberlangsungan hubungan mereka, giliran pembahasan bergulir , eh ujung - ujungnya hanya diam dan dihadiahi blokir. Ampun deh San, semoga segera tobat deh! Iksan tergelak kecil, bukannya dia gila, lagi sedih kok tertawa ... dia hanya menertawakan nasibnya sendiri. Kalau saja dia tidak keras kepala dan mendengarkan omongan sahabatnya sendiri, mungkin ini sudah lain lagi ceritanya. 'Tok ..tok' "Mas Iksan, dipanggil Eyang." Lamunan penyesalan Iksan terjeda. "Iya, sebentar," jawab Iksan. Eyangnya memang sedang ada di rumahnya, baru datang kemarin malam katanya dan tadi dia sudah bertemu di bawah walaupun hanya sepuluh menit sebelum dia pamit naik untuk mandi, nyatanya sampai sekarang dia belum mandi tapi malah melamun sedih. Iksan masuk ke kamar mandi, dia mau mandi dulu supaya dianggap konsekuen dengan omongannya tadi yang pamit mandi. Setelah bersih dan wangi, dia baru turun lagi menemui eyangnya yang sedang duduk dengan papa dan mamanya di ruang keluarga. "So mandi ngana?" tanya mama Rosa melihat Iksan turun memakai celana pendek dan baju kaos. "Udah," jawab Iksan lalu duduk di dekat eyangnya. "Kamu nggak pernah terbang ke Jogja ya Mas?" "Ada Yang, tapi nggak ada nginep ... cuma transit aja setengah jam." "Dia baru pulang dari Manado ini Pa," sahut mama Rosa memberitahu papa mertuanya. "Ketemu Opa Ekki?" "Iya ketemu, makan malam di sana." "Sehat Opa sama Oma?" "Ya sehat orang tua deh, asam urat sama nyeri sendi sih ada ... tapi ya boleh dikatakan sehat. Eyang gimana?" "Jomblo usia tujuh puluh sembilan itu menurut kamu gimana kesehatannya?" "Harus banget bilang jomblo?" ucap Iksan. Dia tahu eyang sedang menyindirnya. Yangti Iksan sudah berpulang dari sepuluh tahun yang lalu dan eyangnya ini tidak pernah menikah lagi. Eyang Sapto terkekeh. "Kok kayak tersinggung, memangnya kamu jomblo tho Mas?" "Payah pa, belum bisa move on dari satu wanita ...mana orangnya sudah mau tunangan sama orang lain," Papa Bimo menegaskan keadaan percintaan Iksan pada papanya. "Kamu ditinggal? Kasihan sekali ... papa kamu dulu cepat move on ke mama kamu lho Mas, belajar dong dari papa." Namanya juga orang sudah sepuh, ngomongnya suka nyeplos ... dia lupa ada menantunya di sana sudah mendengus pelan dan papa Bimo bukannya bangga dia malah jadi salah tingkah. "Aku sudah move on kok, sama kayak papa," jawab Iksan tegas. "O bagus itu, cewek nggak cuma satu San ... siapa tahu dapat orang dekat, coba kamu lihat tetangga disini, siapa tahu nasib kamu juga sama kayak papamu, dapat anak tetangga," lanjut eyang Sapto dan lagi - lagi terkekeh. "Tetangga zaman dulu nggak sama dengan tetangga zaman sekarang Pa, disini jarang kenal satu sama lain, apalagi mas Iksan, dia kalo main jauh ...sekarang sudah jadi pilot malah makin jauh." "Terus yang kamu taksir kemarin orang mana memangnya, jangan - jangan pramugari ya Mas?" "Nggak, adik teman yang," jawab Iksan tidak bermaksud menutupi. "Dokter Pa, artis juga," sahut mama Rosa. "Wah hebat itu Mas." "Ya aku nggak lihat gelarnya, orangnya memang cantik dan menyenangkan yang." "Kenapa dia nggak mau sama cucu eyang yang ganteng ini?" "Orang sudah punya pacar dideketin sama dia ... " sahut papa Bimo. "Owwh berarti dia cewek setia ya Mas, nggak goyang imannya sama Captain pilot." "Memang dia juga nggak mau sama pilot," jawab Iksan. "Lho kenapa?" "Papanya sama kakaknya Pilot juga yang, dia nggak mau ditinggal - tinggal kayak mamanya." "O yaudah, kalo gitu sudah bener kamu yang ngurus perusahaan eyang, kalo ganti profesi mungkin nanti dia mau sama kamu." "Itu lagi - itu lagi," sahut papa Bimo. Dia sudah khatam soal ini, papanya memang mencari kandidat penerus perusahaan furniture nya di Jogja. Bimo memang tidak pernah berminat, dia yang dari awal memang sudah mengambil jurusan keuangan, lalu setelah lulus kuliah dia sudah senang jadi b***k corporate di ibukota daripada di kampung halamannya di Jogja, dan kini sampai akhirnya dia berhasil menjadi pimpinan puncak juga. Dulu waktu Iksan hendak lulus sma, eyang Sapto juga sempat 'meracuni' Iksan untuk sekolah bisnis di luar negri supaya dia bisa meneruskan usaha eyangnya yang sudah ada sejak empat puluh tahun yang lalu dan sampai sekarang masih berjalan dengan baik, tapi lagi - lagi gagal karena Iksan memilih sekolah pilot. Pinkan apalagi, dia sangat tidak berminat. Apa daya pak Sapto yang cuma punya anak satu tidak berhasil menemukan penerus usahanya, saat ini dia memakai tenaga profesional yang menjadi direkturnya dengan jumlah karyawan delapan puluh orang, sesekali dia masih mengunjungi kantor dan pabriknya di pinggiran kota Jogjakarta. "Boleh juga kayaknya yang," ucap Iksan tiba - tiba dan membuat papa dan mamanya menoleh. "Yakin kamu Mas?" "Ya kenapa nggak aku coba dulu, boleh kan yang di sambi?" "Ya boleh banget Mas, mau mulai kapan, ayo cuti ke Jogja ... nanti Eyang kasih tahu dulu soal perusahaan itu, kalo kamu yang pegang, eyang yakin nanti bisa bertambah luas pangsa Internasional kita, sekarang sudah tujuh negara yang jadi pelanggan, itu aja sudah membuat perusahaan ini terus hidup," jelas Eyang Sapto yang tiba - tiba sangat bersemangat mendengar ucapan Iksan tadi, semacam oase di padang tandus rasanya. "Bulan depan deh aku cuti, sekarang lagi musim libur anak sekolah, penerbangan padat ...agak susah mengajukan cuti." "Kasih tahu eyang kalo kamu mau ke Jogja, paling nggak tiga sampai empat hari ya Mas, kita akan datangi tempat - tempat pendukung dari kayu hingga jadi furniture." "Iya." "Ah kok ya lega banget rasanya, tambah sehat eyang rasanya," ucap eyang Sapto terlihat sumringah. "Papa masih rutin ke dokter kan?" tanya papa Bimo, papanya itu memang punya riwayat sakit jantung, sudah pasang dua ring. "Ya rutin, katanya ya faktor usia aja ... nggak perlu tambah ring, apalagi sampai bypass, aman, sekarang aja dengar mas Iksan mau meneruskan usaha papa, tambah aman jantung papa." *** Ririn sedang dalam kamar rias bersama mbak Dea, aunty Ana, kak Jeje dan mamanya. Ada dua MUA yang bertugas, yang satu Endang si jadi - jadian dan satu lagi Widya, yang ini wanita tulen. Mereka ini memang diutus dari kantor uncle Di untuk jadi juru rias keluarga Kana, kalau sehari - harinya Endang dan Widya biasanya menghandle Ririn dan teman - teman artis lainnya, baik saat show ataupun shooting. Sekarang yang sedang dirias yaitu mama Priska dan aunty Ana dulu, mungkin urut umur, eh sebenarnya tidak juga sih, kalau Ririn memang malas - malasan saja, dia masih tidur - tiduran di tempat tidur yang ada di sana, sedangkan mbak Dea masih mondar mandir karena banyak urusan, hanya Jeje yang anteng duduk sambil memperhatikan mama mertuanya dan tante suaminya sedang di rias. Ini memang kamar kosong yang disediakan untuk dipakai rias keluarga pengantin pria, untuk kamar rias keluarga pengantin wanita ada satu lantai dibawah mereka, sedangkan mama Sarah dan Bu Des ada ditempat rias pengantin karena mereka memakai penata rias yang sama dengan pengantin. "Alvin jadi datang nggak Dek?" tanya mama priska. "Nanti, dia selesai syuting jam delapan, abis itu dia langsung ke sini," jawab Ririn. "Eh acara Adek jadinya di rumah ya kak?' tanya aunty Ana. "Iya Na, soalnya gedung yang kita mau, kebetulan penuh jadwalnya, ya udah lah di rumah aja, nggak banyak juga yang mau diundang, nggak sampai seratus orang dan mereka kan maunya agak tertutup. Kayaknya di rumah lebih aman," jawab mama Priska. "Di rumah kadang malah lebih bagus, apalagi jumlah yang hadir nggak banyak. Jadi empat minggu lagi kan ya?" "Iya, eh MUA nya sama mbak - mbak ini juga kan?" tanya mama Priska sambil melihat ke arah Endang dan Widya melalui pantulan cermin. "Iya tante," jawab Endang dengan suara sengaunya. "Dek.." "Hmm .." "Baju buat lamaran sudah cek ke tante Andin belum?" "Belum." "Ckk ... gimana sih adek ini, tanyain langsung dong sama Tika, kan dia yang handle." "Hmm." Ana malah tersenyum mendengar tanggapan Ririn yang ogah - ogahan. "Kok mama yang semangat Dek, tinggal empat minggu lagi lho ini," ucap aunty Ana. "Udah beres kok aunty, mama aja yang nanyanya ulang - ulang terus." "Ya gimana nggak ulang - ulang ... ini belum, itu belum ... sementara dia sibuk sendiri,"omel mama Priska. Yang lain jadi tersenyum melihat mama Priska mengomeli Ririn yang malah terlihat santai saja. "Dengerin mama tuh Dek ... dimana - mana ibu -ibu pasti senewen kalo urusan pesta anak." "Iya aku tahu aunty, kan kita cuma pesta biasa, ada WO juga yang urus, bajuku udah dikasih ke tante Andin modelnya kayak apa, biasanya seminggu sebelumnya juga udah jadi, mana pernah tante Andin meleset. Keluarga kita nggak pake seragam, baju masing - masing. Catering aman, acara yang atur WO semua, mulai cari mc sampai urutan acara, terus apa lagi?" "Keluarganya yang dari Semarang gimana? Biasanya keluarga dari luar kota kan kita juga yang siapkan akomodasinya, kayak keluarga Ana sekarang." "Aa' bilang biar urus sendiri Na, kan ini lamaran bukan nikahan kayak mas kana sekarang," sela mama Priska. "Owh ...beda ya? Tapi kok kita nggak seragaman juga sih kak? Waktu ngelamar Jani aja dulu kan pada pake seragam." "Aa' bilang nggak usah." Pernyataan mama Priska yang dari tadi selalu memakai alasan suaminya terus membuat Ana mengerutkan dahi juga, sejak kapan aa' nya mengurusi hal remeh temeh begini? "Karena ini hanya acara keluarga aja, jadi menurut aa' nggak perlu sampai segitu seragaman juga Na," jelas mama Priska seperti memahami keheranan Ana. "Owh gitu." 'Tok tok..' Terdengar ketukan pintu dari luar. "Tolong Je, mungkin Dea kali tuh," ucap mama Priska. "Ya ma," jawab Jeje sambil beranjak dari tempat duduknya untuk membuka. "Assalamualaikum.." "Waalaikumsalam." "Eh bumil ..." sapa aunty Ana menyambut Jani yang datang bersama Owka dan Lily. "Niniii," ucap Lily sambil menunjuk nininya. "Apa sayang? Lily juga mau di dandanin ya?" Lily menggeleng. "Itu cucu tante?" tanya 'mbak' Endang. "Iya, cucu dari anak ke dua, kakaknya Ririn," jawab mama Priska sambil melambaikan tangannya pada Lily. "Aku ke kamar mamah dulu ya, mau titip Lily," pamit Owka. "Oke." "Papa di mana ma?" "Di kamar." "Mau aku ajak turun sekalian nggak?" "Nggak akan mau dia, abis dandan mama ke kamar dulu kok." "Ya udah, abang mana kak?" "Abang di kamar." "Kenapa pada di kamar semua deh?" "Lah ya kan masih lama a'." "Om Dana juga di kamar, aunty?" "Om Dana malah belum datang, masih di jalan ..." "Owh ... ya udah aku tinggal, nanti kalo sudah selesai, telpon aku ya, nanti aku jemput ke sini," ucap Owka ke Jani. Padahal kamar mereka hanya berjarak lima pintu saja di lantai yang sama. "Iya." "Kiss mama dulu teh," ucap Owka. Lily langsung mengecup pipi mamanya. "Itu ngapain kayak singa laut guling - guling aja?" tanya Owka yang melihat Ririn hanya tiduran. "Meratapi nasib," jawab Ririn asal. "Emang kenapa lagi?" "Menanti giliran di make up lama banget a'." "Nggak jelas!" sahut Owka lalu keluar meninggalkan kamar itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN