TIGA

1068 Kata
Eden bukan perempuan lemah, pikir Aksa sambil memperhatikan istrinya yang tidur pulas. Dia orang yang paling ambisius yang pernah kukenal. Bahkan almarhum ayahku tidak sepertinya. Jika Eden menginginkan sesuatu, dia akan mengorbankan segalanya untuk mendapatkan sesuatu itu. Termasuk perkawinan ini. Dia masih menginginkan perkawinan ini. Meskipun dengan cara yang salah. Dipikirnya Aksa masih bisa dibodohi oleh kepolosannya. Hidup bersama Eden di ranjang yang sama untuk waktu yang lama membuat Aksa sangat mengenalnya. Dia tahu kapan Eden tulus padanya. Di sisi lain dia juga tahu kapan Eden berdusta padanya. Tapi... Entahlah. Aksa tidak mengenal perempuan ini lagi. Eden yang kini bersamanya di kamar bukanlah Eden istri yang dikenalnya. Aksa tidak yakin apakah Eden betul mengelabuinya atau tidak. Perseteruan demi perseteruan. Makian demi makian. Semakin lama semakin membuat keduanya tak nyaman bersama. Siapakah dirimu, bisik Aksa. Mengapa aku tidak tahu apa yang kamu pikirkan saat ini, Eden? Mengapa aku tidak tahu bagaimana perasaanmu? Sejujurnya... Aku tidak tahu apa-apa tentangmu, Eden. Kamu terlalu pintar dan cenderung manipulatif. Sampai kamu rela membiarkan s****a orang lain memasuki tubuhmu. Bodohnya aku, Eden, aku tidak bisa jauh darimu. Tapi aku tidak bisa membawa diriku untuk percaya lagi padamu. Aku tidak bisa bersikap mesra lagi denganmu. Dilihatnya kedua mata istrinya terbuka. Aksa yang sedari tadi duduk di kursi dekat tempat tidur, membalas tatapan istrinya. Bukan tatapan mesra. Tatapan dingin saling terlempar di antara keduanya. "Kamu pasti bahagia dapat menipu Mama sampai Mama sangat peduli padamu," kata Aksa datar. "Congratulation." "You can't imagine how happy I am right now." Eden pada waktu normal jarang tersenyum. Di kantor dia hanya tersenyum sesekali. Tapi bukan berarti dia tidak bersahabat. Dia hanya tidak suka menggerakkan otot untuk tersenyum. Di rumah ia hanya tersenyum untuk suaminya. Tak heran meski sudah mencapai usia empat puluh, tak ada kerutan di wajahnya. Tapi kini di hadapan suaminya ia menyunggingkan senyum. Membuat Aksa semakin gemas saja. "Whose sperm was that?" tanya Aksa penasaran. "Who gives a fu** about that," sahut Eden masa bodoh amat. "Yang paling terpenting adalah orang tidak berpikir aku menyerah. Walaupun sudah tidak muda lagi, untuk menyenangkan suami, aku berusaha hamil, meski harus menahan sakit karena keguguran." "You are piece of s**t," desis Aksa menyipitkan matanya. "What people think of you is what matters to you the most." "Of course," jawab Eden santai. "Aksa. Sayangku. Kita sudah tidak muda lagi. Hilangkan angan-anganmu untuk punya anak dariku." "Apakah ini izin darimu untuk menghamili wanita lain?" "Apakah itu penting? Kamu sudah melakukannya, bukan?" Betapa senangnya Eden melihat raut wajah suaminya yang berubah total. Aksa menatapnya seakan terperanjat. Senyum Eden semakin lebar. "Kita bukan orang yang suci," sambung Eden. "Maksudku, kamu bukan orang suci. Di mata orang lain aku masih jadi istri yang setia." "Bagaimana kamu mengetahuinya, Eden?" "Aku hanya tahu saat suamiku berpaling." "Berarti kita impas, bukan?" "Tidak, kita tidak impas." "Apa maksudmu, Eden? Kamu membuatku bingung." "Aku bisa membuatmu lebih dari ini, Aksa." Eden memberikan penawaran. "Aku tahu kenapa begitu penting bagimu memiliki keturunan. Kamu tidak mau bisnis keluargamu dilanjutkan oleh sepupumu, Erlangga. Aku punya solusi untukmu." "Apa?" "Perusahaan pemberian jasa teknologi yang sedang dikendalikan Erlangga meminta kantorku untuk menganalisis kewajaran metedologi alokasi biaya-biaya yang berhubungan dengan biaya umum dan administrasi. Aku bisa membuat skenario seolah-olah memang perusahaannya tidak mengikuti peraturan-peraturan di Indonesia dan OECD Guidelines. Aku bisa membuatnya kalah di Pengadilan Pajak. Dengan begitu pemegang saham di perusahaanmu sekarang tidak akan menunjuknya untuk menggantikanmu di perusahaanmu sekarang karena dianggap gagal." "Itu ilegal, Eden. Aku tidak setuju. Lagipula perusahaan Erlangga itu terbilang baru." "Kalau begitu siapkan dirimu untuk ditendang dari perusahaanmu yang sekarang. Bayangkan dari sekarang hidup tanpa pekerjaan yang kamu cintai, juga istri yang sudah lama kamu ingin buang. Hiduplah menyedihkan dengan simpananmu di Monaco." Suaminya menghela napas panjang. "Ternyata kamu sudah tahu semuanya." "Aku selalu tahu semuanya." "Apa yang sebenarnya kamu inginkan, Eden? Membahagiakanku tidak mau, bercerai juga tidak?" "Aku tidak tahu apa yang aku inginkan." "Apakah kamu masih mencintaiku, Eden?" "Aku tidak tahu apa itu cinta, Aksa. Sekian lama aku hidup denganmu kukira aku mencintaimu. Aku kira cinta seharusnya membawa kita kepada kebahagiaan. Tapi kenyataannya, kamu lihat sendiri." "Apakah kamu masih bisa melihat, Eden?" Eden menggeleg. "Apakah kamu masih bisa?" "Aku juga tidak. Kita sama-sama tersesat." Baik Eden maupun Aksa sama-sama membisu. Kamar yang menjadi saksi percintaan dan pertengkaran mereka senyap seakan menggambarkan kondisi hati masing-masing. Tidak ada cinta. Tidak ada kerinduan. Hanya ada sepi mengisi hati mereka. Kadang aku mempertanyakan, kata Eden dalam hati. Bagaimana kami bisa seperti ini. Aku tahu Aksa dan aku sudah sama-sama lelah. Aku tahu bahwa kita tidak saling mencintai lagi. Kita hanya takut. Takut pada kehidupan yang sudah lama kita tinggalkan. Kehidupan tanpa bertemu satu sama lain. Sebelum aku tahu ada Aksa di dunia ini, hidupku hampa saja. Lalu setelah menikah kehampaan itu sedikit terobati. Setelah saling memiliki, kehampaan yang dulu pernah menghampiri sebelum bertemu Aksa, datang lagi. Aksa pun pasti juga begitu. Tidak tahu ke mana pernikahan ini akan dibawa. "Kamu bilang, kamu merindukanku. Apakah itu hanya bualan saja?" tanya Aksa parau. "Tidak. Aku memang betul-betul merindukanmu." "Meski aku telah berselingkuh?" Dan kamu juga? "Bagaimana pun kita sudah lama bersama." "Lalu apa maumu sekarang, Eden?" "Aku hanya mengikuti kata-katamu. Kita sama-sama terjebak dalam pernikahan ini. Tapi kita bisa berpura-pura seakan kita baik-baik saja di depan orang. Hal itu bisa berdampak baik bagi karirmu. Cukup masalah rumah tangga kita hanya diketahui internal saja. Tidak perlu oom-tante serta sepupu-sepupumu tahu." "Jangan mengajariku bagaimana bersikap dengan keluargaku sendiri, Eden. Kita berdua tahu kamu tidak punya keluarga." Dulu Eden sakit hati setiap Aksa mengingatkan fakta tentangnya yang dibesarkan di panti asuhan. Tapi sekarang Eden hanya mengangguk saja. Nyeri di perutnya masih terkadang muncul dan dia tidak bisa menangani sakit ini sambil bertengkar dengan Aksa. Eden mengulurkan tangannya. "Jadi kita sepakat untuk tetap baik-baik saja. Untuk karirmu dan reputasiku. Kamu tidak akan mengatakan apa-apa tentangku pada orang lain termasuk simpananmu." Ragu-ragu Aksa untuk mengiyakan. Namun akhirnya ia menerima uluran itu. "Aku tidak akan menghancurkan reputasimu. Lakukan apa yang menurutmu baik untuk kita berdua. Atau, lakukan apapun yang kamu sukai, Eden. Aku tidak peduli." Tangan Eden begitu dingin. Wajahnya pun pucat. Aksa sempat bepikir memang Eden sakit. Sakit karena ulahnya sendiri! Aksa berdalih ingin menghirup udara segar di luar. Tapi yang sebenarnya terjadi adalah dia meminta Bibi untuk menyiapkan kamar lain untuknya. Dia tidak akan tidur lagi dengan Eden. Dirasakannya tubuhnya menggigil. Sambil menggaruk bagian belakang kepalanya, Aksa berpikir, setan macam apa yang telah kutiduri selama ini?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN