“Khalima sedang datang bulan, dia memintaku untuk menemani Nayya belajar, ini makanlah dulu, Khalima yang membelikannya untukmu,” ucap Rasyid tanpa salam dan tanpa basa-basi.
Diturunkannya gadis kecil itu dari pangkuannya yang langsung berhambur memeluk guru mengajinya.
Khadija meraih Nayya dan mengajaknya masuk, seperti biasa Rasyid selalu berbuat sesukanya, lelaki itu pun ikut masuk dan tanpa izin merebahkan diri di alas tidur busa milik Khadija.
Gadis itu hanya menarik nafas panjang, dia tak hendak memulai perdebatan. Berdebat dengan Rasyid hanya menguras energi. Lelaki itu semakin kesini bagi Khadija semakin menyebalkan.
Khadija meletakkan plastik makanan yang diterimanya di tepi dispenser. Dia bermaksud mengajar Nayya dulu, khawatir gadis itu akan keburu mengantuk dan menjadi tidak fokus. Seperti janjinya kemarin, setelah belajar bacaan huruf pada iqro, Khadija mengajarkannya doa dan tata cara berwudhu.
Setelah selesai, Khadija menuntunnya untuk bersholawat. Suara lembutnya mengalun merdu, diikuti suara cadelnya Nayya. Mereka tak menyadari jika sepasang mata yang sejak tadi memandangnya dengan lembut semakin sayu dan semakin sayu, hingga akhirnya berakhir dengan dengkuran halus.
“Alhamdulilah, hari ini kita udah selesai, besok Kak Dija mau test bacaan doa membasuh tangan dulu saja ya, ini Kak Dija sudah catatkan, nanti Nayya minta diajari Kak Khalima ya.” Khadija memberikan sebuah buku tulis pada gadis kecil itu.
“Iya Kak Jija, Nayya pasti bisa belajal cepat,” ucapnya sambil menerima buku catatan itu dengan mata berbinar. Khadija melirik kearah Rasyid, dengkuran halusnya terdengar jelas karena jarak mereka tidak terlalu jauh.
“Nayya bangunkan Kak Rasyid, udah malem,” Khadija melirik Nayya. Gadis yang diliriknya cemberut sambil menggeleng.
“Kenapa?” Khadija mengerutkan dahi dan menatap penasaran pada Nayya.
“Kak Lasyid kalo bangun susah, halus pake ael, tapi kalo Nayya kasih ael tal syuka malah,” ujarnya sambil menggeleng. Khadija menarik nafas panjang, akhirnya dia mendekati lelaki itu dan menepuk-nepuk punggungnya.
“Kak Rasyid bangun, Nayya udah selesai!” Khadija menggoyang-goyangkan tubuh kekar lelaki itu.
Tubuhnya memang atletis karen sering sekali fitness dan selalu menjaga pola makan dengan baik. Namun lelaki itu hanya merubah posisinya dari meringkuk menjadi terlentang.
“Kak bangun! Kak!” Khadija menepuk bahunya lebih keras. Namun lelaki itu malah menepisnya sementara matanya tetap terpejam. Khadija melirik Nayya.
“Ajari Kak Jija pake air, gimana caranya, nanti kalau marah Kak Dija yang jagain Nayya,” ucapnya merayu Nayya.
Gadis itu dengan takut-takut akhirnya mengambil gelas air yang memang disimpan dibawah dispenser, masih ada setengah isi. Khadija mengerti, sepertinya Nayya akan mencipratkan air kepada Kakaknya. Gadis itu menarik lengan Khadija untuk ikut dengannya.
“Byur!” air setengah gelas itu ternyata ditumpahkan semua di kepala Rasyid oleh adiknya, mata Khadija terbalalak tidak menyangka.
“Aww!” Rasyid menggerinjal kaget, kepalanya basah kuyup diguyur setengah gelas air. Nayya berlari ke belakang Khadija, dia bersembunyi. Kekagetan Khadija berubah menjadi gelak tawa. Dia merasa lucu melihat kepala Rasyid yang basah separuh.
“Ini pasti kerjaan Nayya, sini kamu Dek!” Rasyid berkata dengan menggemeretakkan gigi membuat Nayya semakin sembunyi.
Namun tiba-tiba ucapannya terhenti begitu saja, baru hari ini dia melihat ada tawa di wajah gadis manis yang sedang melindungi adiknya. Tatapan matanya terkunci pada mata Khadija yang hampir berair karena tawa lepasnya. Rasyid memandangnya dengan lekat, dia lupa sudah kekesalan pada adik perempuan yang mengguyurnya.
“Kalau hal kayak gini bisa buat kamu tertawa lepas, aku rela Nayya berbuat seperti ini tiap hari,” ucapnya sambil tersenyum memandang Khadija. Gadis itu sudah mulai terhenti dan menyeka matanya yang berair karena tertawa yang berlebih.
“Kalau kayak gini tiap hari, aku yang repot Kak, tiap malem aku mesti tidur di lantai,” ucap Khadija sambil menunjuk pada kasur yang basah karena tumpahan air dengan sudut matanya.
“Oh sorry Dija, aku emang susah dibangunin kalo udah tidur,” Rasyid terkekeh sambil meminta maaf.
“Iya udah gak apa-apa, besok yang nganter Khalima aja, jangan Kak Rasyid,” ujar Khadija setelah tawanya berhenti.
“Kak Laysid ga malah?” Kepala Nayya menyembul dari belakang Khadija.
“Engga sayang, ayo kita pulang, kasian Kak Dija mau istirahat,” Rasyid meraih tangan Nayya dan menariknya kedalam pangkuannya.
“Awassss ya nanti di rumah Kak Laysid makan, hmmmm,” bisiknya dengan gemes membuat Nayya meronta meminta lepas.
“Kak Jija, Kak Laysid masih malah, nda mahu pulang,” Nayya meminta pertolongan pada guru ngajinya.
“Kak jangan marahin Nayya, salah sendiri susah dibangunin, tahu ga orang yang sehat itu yang cepat tidurnya terus cepat juga bangunnya,” ujar Khadija sambil melirik kearah Rasyid.
“Iya Bu gulu,” Rasyid menggoda Khadija sambil mencebik.
“Ayo Kak pulang, mahu bobo,” Nayya sudah menyenderkan kepalanya pada dada bidang kakaknya.
“Dija makasih ya udah mau ngajarin Nayya, semoga dia bisa tumbuh sholehah dan tegar sepertimu, pulang dulu ya, assalamualaikum.” Rasyid mengucapkan salam sambil menggendong Nayya meninggalkan kontrakan Khadija.
“Iya Kak sama-sama, wa’alaikumsalam.” Khadija memandangi mereka sejenak kemudian menutup pintu dan bergegas mengambil makan yang tadi Rasyid belikan.
“Ayam geprek sama jus jeruk, mana mau Khalima pergi ke angkringan beli ginian sendirian,” gumam Khadija namun dia tak berfikir banyak perutnya sudah berdemo minta di isi.
Malam itu Khadija pikiran Khadija mengawang-awang, saling bercabang dan terhubung satu sama lain. Sepanjang perjalanan tadi, Azmi cukup banyak membantu terkait informasi yang dibutuhkan untuk kuliah. Khadija banyak bertanya juga mengenai kisaran biaya dan juga jurusan apa yang sebaiknya diambil. Setelah menimbang dan berfikir beberapa waktu sebelum tertidur akhirnya dia memutuskan besok akan meminta Azmi mengantarnya daftar kelas karyawan yang ada jadwal sabtu dan minggu.
“Terimakasih Kak Ahmed, rasa sakit ini membuatku menemukan tujuan hidup baru, terimakasih Kak karena sudah pernah mengajarkan aku cara mencintai dan menguatkan mentalku dengan patah hati, aku yakin jodoh sudah Allah tentukan, mungkin pertemuan denganmu hanyalah cara Allah untuk membimbingku menemukan tujuan hidup, terimakasih Kak, siapapun jodoh yang Allah pilihkan untukku dan untukmu itu pastinya sudah tertulis dalam lauhul mahfuz.” Khadija menjeda.
“Maafkan aku ya Allah yang masih sering merasa sakit atas semua keputusan ini, mungkin tujuan-Mu mengenalkanku pada dinginnya hujan agar kelak aku bisa menatap indahnya pelangi, tidak ada sebaik-baik rencana yang lebih baik daripada keputusan-Mu, mampukan aku selalu berbaik sangka terhadap-Mu karena aku yakin kalau Engkau adalah sama dengan prasangka hamba-Mu.” Khadija menarik nafas panjang sebelum akhirnya dia membaca doa sebelum tidur dan melanjutkan perjalanannya dialam mimpi. Malam itu tekadnya sudah bulat untuk menyegerakan semua rencananya, salah satunya kuliah. Dia kini berubah menjadi gadis dinamis yang memiliki energi untuk bangkit, bukan Khadija yang dulu menarik diri dan berdiam dipojok kehidupan. Dia bukan lagi seseorang yang meratapi nasib karena masalalu dan latar belakang keluarganya yang dipandang hina. Dia adalah Khadija baru, yang memiliki visi dan pandangan luas untuk masadepan.