Bab 17

1102 Kata
“Dija tumben pulang telat?” Suara seseorang mengagetkannya dari belakang. Terlihat sosok seorang lelaki yang wajahnya familiar namun Khadija memang tidak tahu namanya, sepertinya dia pernah berpapasan beberapa kali ketika keluar dari ruangan Bu Riska. “Iya Pak, tadi lembur,” jawab Khadija sambil bergeser karena posisi duduknya diteras mushola karena posisinya menghalangi jalan. “Masa kamu panggil saya Bapak, memang saya terlihat sangat tua ya?” lelaki itu terkekeh melihat Khadija yang terlihat canggung. “Eh maaf, Mas,” Khadija meralat perkataannya, takut orang yang baru menyapanya tersinggung. “Saya Azmi, salah satu staff Bu Riska juga, cuma saya jarang ke line, saya lebih ke bagian koordinasi ke customer, oh iya, akhir-akhir ini saya sering lihat kamu keluar masuk ruangan Bu Riska ya?” Azmi rupanya pemuda yang supel dan cepat akrab. “Iya Mas Azmi, saya lagi konsultasi,” Khadija menjawab singkat, sementara matanya masih fokus pada aplikasi transportasi online yang begitu sulit mendapatkan driver pada jam sibuk seperti itu. “Konsultasi apa?” Azmi berkerut. “Emh anu itu, buat kuliah lagi,” Khadija kebingungan menjawab, tidak mungkin dia menceritakan semuanya pada orang yang baru saja dikenalnya. “Wah bagus itu, saya bisa bantu kamu cari kampus yang dekat dengan perusahaan, saya juga lagi melanjutkan ke S1, tahun ini selesai, sewaktu masuk sini saya baru lulus diploma,” ucapnya dengan mata berbinar menyambut baik niat Khadija yang ternyata satu visi dengannya, kuliah sambil kerja. Lelaki itu masih terduduk di teras mushola sambil mengenakan sepatu. “Baik Mas, nanti saya tanya-tanya ya referensinya,” ucap Khadija. “Kamu mau lanjut lembur lagi?” Azmi bertanya melihat gadis itu yang masih belum beranjak dari tempat duduknya. “Emhh, engga, saya lagi mau order ojek online tapi drivernya belum dapet-dapet, jam sibuk sepertinya,” Khadija menunjukkan layar ponselnya kepada Azmi. “Kamu pulang kemana?” Azmi bertanya. “Saya pulang ke kontrakan Mas,” jawab Khadija datar sambil berulang kali memesan tombol book pada aplikasi transportasi onlinenya. “Iya, maksudnya alamatnya dimana?” Azmi kembali bertanya. “Emh di, di deket titik jemputan mas, dekat pintu tol X,” ucap Khadija setelah menyadari bahwa sejak mengontrak diapun tidak tahu alamat lengkap tempatnya tinggal itu dimana. “Ya udah, kita searah, ayo saya anterin, saya tinggal sekitar dua puluh menit dari tempat kamu,” ajak Azmi sambil mengenakan jaketnya. “Eh, apa tidak merepotkan Mas,” Khadija merasa tidak enak, mengingat ini pertemuan pertamanya, namun diapun harus segera sampai di kontrakan karena harus mengajar Nayya mengaji. “Kita satu team, harus saling membantu, ayo!” Azmi mengulas senyum, wajah teduhnya tampak memancarkan aura ketenangan. Memang dia tidak memiliki paras setampan Rasyid maupun Ahmed, wajahnya standard orang Indonesia, bukan tipe cover majalah, namun dia memiliki kepribadian supel, mudah akrab dan senang membantu. Khadija mengikutinya dari belakang menuju sepeda motor matic Azmi yang terparkir tidak jauh dari tempat mereka mengobrol. “Nih pakai,” Azmi mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya, sebuah jas almamater yang sepertinya baru selesai di laundry. “Engga usah Mas,” Khadija menolak. “Kita mau naik motor Dija, nanti masuk angin, besok kalau kamu ga masuk saya ga bisa cover kerjaan kamu, ini baru dicuci kho, tuh masih wangi,” Azmi meyakinkan agar gadis itu mau memakai outer yang berupa sebuah jas yang dia berikan. “Oh ya udah, lusa saya balikin ya Mas, besok saya cuci lagi,” Khadija menerima jas tersebut yang memang kebesaran ditubuhnya. Azmi mengangguk memangkas perdebatan. Azmi meminta Khadija untuk segera naik. Mereka pergi meninggalkan gerbang pabrik ditemani sinar rembulan yang samar-samar mengintip dari balik awan. Sepeda motor maticnya membelah keramaian, berbelok memangkas jalan. Namun naas sepertinya didepan terjadi kemacetan yang lumayan. Khadija mencuri dengar katanya sedang ada evakuasi dari kendaraan yang terguling. Memang kehidupan di kota serba opportunis, dalam sesak deretan sepeda motor yang terjebak macet, para penyanyi jalanan menggunakan kesempatan itu untuk mencari sepeser rupiah. Terdengar jelas dentingan gitar akustiknya mengiringi sebuah lagu yang Khadija sendiri tidak tahu judulnya apa. Namun lirik demi lirik membuat hatinya kembali merasakan sakit, seolah lagu itu ditujukan hanya untuknya. Jreng jreng jreng “Sungguhku menyesal telah mengenal dia Dan aku kecewa telah menyayanginya Dan aku tak akan mengulang kedua kalinya Kusimpan rindu dihati gelisah tak menentu Berawal dari kita bertemu kau akan kujaga Kuingin engkau mengerti betapa kau aku cinta Hanya padamu aku bersumpah kau akan kujaga” (punk rock jalanan) Khadija memalingkan wajah menatap kelangit lepas, menghalau cairan bening yang hendak menyeruak. Rupanya hatinya masih menyimpan nama itu, meski dia sudah berusaha menutupnya rapat-rapat namun sepertinya celah itu belum seutuhnya hilang. Terlihat rembulan yang berbentuk setengah seolah sedang menatapnya. Kendaraan perlahan bergerak meninggalkan dentingan yang semakin samar terdengar. Menuju kontrakannya, membelah keramaian. Sementara disuatu tempat, disebuah balkon lantai dua rumah kosan elit mahasiswa, ada sepasang mata sedang memandang bulan yang sama. Pemuda itu tengah duduk sambil membiarkan laptop melihatnya. Pikirannya masih carut marut tidak tahu harus mengurai semuanya darimana. Berkali-kali dia menghela nafas dan memejamkan mata. Sampai suatu lengan kekar menepuk pundaknya. “Bro, masih mikirin itu,” seorang pemuda berpakaian santai menghampirinya dengan membawa secangkir kopi panas dalam mug besar. Dia duduk di salah satu kursi dan meletakkan kopinya di samping laptop pemuda itu. “Lu pikir gue semudah itu menerima semua kondisi yang gue yakin semua ini hanya jebakan, gue yakin ini persekongkolan semua keluarga agar gue mau menikahi wanita itu,” keluhnya sambil membuang nafas kasar. “Mending Lu temuin dulu dia, jelaskan kalau Lu tidak seperti yang dia pikirkan, dia pasti sakit hati dan kecewa berat Med, disaat Lu berjanji akan memperjuangkannya, dia malah menangkap basah Lu bertunangan sama sahabatnya sendiri,” ucap lelaki itu menatap sahabatnya iba. “Gue masih ga punya keberanian selama kebenaran itu belum terungkap, dia pastinya akan lebih percaya pada apa yang dia pikirkan setelah melihat semuanya,” ucapnya sambil menarik nafas panjang. “Ahmed, came on Bro, terus Lu mau bawa kemana kehidupan Lu?” ucap lelaki itu sambil menyeruput kopinya yang sudah hangat. Udara kota Bandung yang sejuk membuat kopi yang dibuatnya tak membutuhkan waktu lama untuk menghilangkan kepulan panasnya. “Tapi Gue yakin bisa menemukan celah agar pernikahan itu tidak akan pernah terjadi, sambil mengulur waktu, gue akan mengumpulkan bukti akan persekongkolan mereka, sebenci itukah mereka padamu Kha,” Ahmed memejamkan matanya membayangkan sosok gadis yang dimintanya untuk membuka hati untuknya. Perasaan bersalah menggelayutinya selama beberapa bulan terakhir, namun Ahmed belum memiliki keberanian, butuh bukti untuk mengungkapkan kalau dia memang tidak melakukan apa-apa pada malam itu. Pikirannya kembali menerawang kejadian dua bulan kebelakang. Mencoba kembali menghubungkan titik-titik dimana dia merasa dijebak dan akhirnya terpaksa untuk mengulur waktu dengan meminta kepada keluarga untuk bertunangan dulu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN