DUA LIMA

1202 Kata
-25- Rambut panjang dikuncir ke belakang, kumis tipis dan rahang kokoh, hidung mancung dan sorot mata teduh. Ia biasa dipanggil Mas Jun, pria berumur 27 tahun, punya seorang istri dan 2 anak. Punya toko buku kedai dan rental PS. "Pria ramah," batin Tio yang duduk di samping Abim dan Mas Jun, berhadapan dengan Dewi "Silahkan diminum tehnya, maaf kalau saya tadi datang terlambat," ujar mas Jun ramah. "Enggak kok, Mas, mereka aja yang ngaret, kita mah udah nunggu di sini setengah jam!" tukas Abim santai, membuat Dewi dan Disya menatapnya tajam. "Kacamata, lo pulang aja, ya, gue antar deh. Atau mau dianter Rian?" tawar Abim sambil mengulum senyum. Dalam hati, Abim sangat tak ingin Tika ikut dalam pembicaraan, bisa jadi peyek Jika Tika tahu apa inti dari pertemuan itu. "Enggak usah sok baik!" sahut Tika dingin "Lagian si Rere belum balik dari rumah elo, si Rere pasti kesepian kalau nggak ada gue ..." Abim tersedak biskuit lalu terbatuk kecil, ia meneguk teh hangatnya agak buru-buru. "Nggak mungkin ... Rere sayangnya ama gue, mana mau dia punya Mommy yang galak kayak elo!" Para pendengar yang ada di sana Saling pandang. "Rere nggak betah tinggal di rumah berantakan, apalagi sama cowok kayak-" "Stop!" potong Tio. "Rere siapa?" tanyanya mewakili 4 orang lain. "Anak kucing!" jawab Abim dan Tika bersamaan. Tio menganga. "Apa-apaan mereka?" "Terus-" "kita ke intinya saja!" potong Dewi, ia sedang tak ingin mendengar topik lain yang tak bermutu dari mulut Abim. Tio menyikut pelan perut Abim yang pura-pura tak dengar. "Nggak! kita mau dengar semua yang elo tahu tentang Siska." "Semuanya," ulang Disya dengan menekan suaranya. Abim melirik sekilas pada Rian yang masih terlihat tegang. "Semuanya? Gini aja ..." Abim menajamkan matanya lalu membuka kembali kedua kelopak matanya dan melirik Mas Jun "Kita dengar dulu dari Mas Jun, siapa Fransisca dan siapa Dinika?" Tika meremas tangannya di bawah meja, suara Abim yang mulai merendah dan sedikit menekan begitu mengganggunya, ia lebih suka Abim yang biasa dan tak jelas daripada Abim yang serius. "Lalu, siapa Mas Jun bagi Siska dan Dini ...." Kelima orang lainnya menatap Mas Jun penuh tanda tanya, menanti jawaban apa yang akan pria itu lontarkan. Walau dalam hati mereka–kecuali Tio–bertanya-tanya, Siapa itu Dini? "Ternyata kamu tahu lebih banyak dari yang saya kira," ucap Mas Jun sambil menunduk. ••• "Fransisca dan Dinika, mereka si kembar dari ayah dan istri mudanya. Sejak kecil, Siska dan Dini selalu bersama dan tak terpisahkan. Sampai 2 tahun lalu, Ayah meninggal karena serangan jantung, 2 bulan berikutnya ibu mereka yang bernama Sari gantung diri di rumah." Mas Jun menjeda, mengambil napas dalam-dalam. "Dini shock berat, karena Dini lah orang pertama yang nemuin mamanya gantung diri di kamar. selama hampir 1 tahun lebih, Dini nggak bisa diajak komunikasi, selalu saja mengurung diri di kamar." Mas Jun menyeruput teh pelan, rasanya akan memakan waktu yang lama untuk bercerita. "Siska masuk ke SMA Bintang setelah Dini yang depresi dan nggak mau diajak sekolah. Sebenarnya Siska pengen nungguin Dini, tapi ibu bilang kalau Siska sekolah duluan aja, biar Dini pulih dan nyusul sekolah." Tika menggigit bibir bawahnya kecut, ia tak menyangka kalau sosok Siska ternyata menyimpan sebuah cerita yang pahit. "Setelah genap setahun, Dini akhirnya mau membuka diri lagi. Dia mau sekolah, tapi ia tak mau satu sekolah dengan Siska." Mas Jun mengeratkan cengkramannya ke gagang gelas, mengingat kembali pertengkaran-pertengkaran Siska dan Dini. "Dengan berat, Siska setuju. 4 bulan lalu Dini mendaftarkan diri di sekolah pilihannya, dan sekolah itu adalah ... SMA Awan!" Kelima pelajar itu membulatkan mata tak percaya, terutama Tio. "Tapi setelah pendaftarannya Dini nggak pernah kelihatan lagi hingga sekarang, seolah lenyap ..." bisik Mas Jun sembari menunduk dan mengeraskan rahangnya. "Berikutnya ..." Mas Jun menoleh pada Abim yang duduk di sebelah kanannya. "Giliran kamu, saya juga ingin tahu seberapa banyak kamu tahu soal Siska dan Dini," ujarnya lemah, seolah tak ada tenaga lagi. "Beneran? Tapi cerita saya enggak bakalan sama kayak yang Mas Jun atau orang lain pikir, malah ..." Abim membulatkan mata saat Tika memandangnya tajam. "O-oke, oke. Gue cerita, dengerin!" Abim berdehem. Ia berpikir mulai dari manakah ia harus bercerita, cukup sulit karena ada banyak versi. Setelah menemukan episode awal dari ceritanya, Abim membuka suara. "Masih ingat kalau gue pernah nge stalk Siska?" tanyanya pada Tika, Tika mengangguk. "Gue mau jujur ... Sebenarnya gue nggak pernah suka sama Siska!" Disya menegangkan tubuhnya kaget, ia rasa untuk yang satu itu hanya permasalahan perasaan antara Abim dan Tika, ia tak ada hubungannya walau dalam hati ia sangat ingin tahu apa saja yang sudah Abim dan Tika bicarakan sehingga membawa-bawa rasa suka A.K.A cinta. "Dari cerita Mas Jun, gue juga pernah lihat Dini di SMA awan, dua kali. Gue sih belum kenal Dini hari itu ..." Abim menerawang, mengingat kembali memori 4 bulan lalu. "Gue datang telat dan gak sengaja papasan sama Dini yang lagi nyari ruang Pak Dedi, kepala sekolah. Sebagai warga sekolah yang baik dan benar, gue anterin aja. di tengah jalan ada yang ngelempar bola basket, pas banget kena kepalanya. Gue yakin kalau Dini sempat lihat orangnya, tapi gitulah, anak baru suka diem." Tio menganga, ia ingat! Kala itu ia melihat Abim yang juga datang telat malah jalan santai bareng cewek. Ia iseng memungut bola basket yang ada di pinggir lapangan, dengan skillnya di bidang basket, ia melempar bola itu penuh tenaga, maksud hati ingin mengenai Abim, malah cewek asing itu yang kena. Dengan cepat, Ia berlari bersembunyi. Tio tak menyangka bahwa Dini lah cewek itu. "Dan habis itu, WUSH ... Gue gak pernah lihat dia lagi," tukas Abim dengan peragaan tangan. "Setelah itu, tepatnya di awal Maret, gue ke kafe Ungu dekat SMA Bintang, di sana gue pertama kali Siska bareng sama elo dan elo." Tunjuk Abim pada Tik dan Dewi dengan dagunya. "Awalnya gue kira kau Siska dan Dini itu satu orang yang sama, makanya gue ikutin. Kan aneh, habis daftar ke SMA A, eh masuknya malah ke SMA B. Dan yang paling bikin kue nggak bisa berhenti ngikutin Siska, karena ini ..." Abim menyodorkan hp-nya pada Tika. Tika mengerutkan dahinya saat mendapati foto-foto di HP Abim. "Itu kasusnya Eno, kalau lo pengen tahu," sambung Abim. Tika mengerjap-ngerjapkan mata, Dewi dan Disya saling menempel pada Tika, mencoba melihat apa yang ada di HP Abim. "Gue gak sengaja lihat berkas di tas Eno. Gue bahkan masih gemetaran waktu itu, orang hilang, Dinika, 3 bulan lalu," ucap Abim sambil menunduk dalam, seolah ia menanggung rasa bersalah yang amat. "Gue udah kepikiran macam-macam. Di satu sisi gue tahu kalau berkas polisi kayak gitu nggak mungkin palsu." Abim menautkan kedua tangannya. "Di sisi lain, gue yang baru tahu soal Siska harus mikir ulang, wajah dan potongan tubuh yang sama persis tapi dengan nama berbeda ..." Disya yang sedari tadi duduk manis, kini ikutan menunduk, topik ini terlalu berat baginya. "Kesimpulan gue, mereka ada dua dan kembar," pungkas Abim dengan suara dalam. "Cuma itu doang cerita gue, gak lebih, jadi jangan mikir macam-macam sama gue apalagi sampai meracuni otak temen sendiri," tukas Abim. Dewi yang merasa tersindir hanya mendumel tak jelas. Dan Rian? Ia menundukkan wajah pucat nya, seragamnya basah kuyup akan keringat dan napasnya tak teratur, tangannya tak berhenti bergetar. "Sampai gini gara-gara satu meja sama dia?!" batinnya tak menyangka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN