Abim turun ke lantai satu dengan santai. Ia menghentikan langkahnya saat mendapati bang Mega tengah berbincang dengan dua wanita yang mengajaknya ribut tadi.
"Udah selesai?" tanya perempuan bernama Dea, dari nadanya saja Abim tahu kalau Dea tak suka padanya. Abim memilih mengangguk dan mendekat ke arah tiga orang yang tengah duduk di meja makan.
"Bang, kunci motor mana?" todong Abim tanpa basa-basi. Bang Mega melakukan gerakan cepat tiba-tiba, dengan sigap Abim menangkap sebuah kunci berbandul yang di lempar ke arahnya.
"Heh bocah!" sentak Dian. Abim berusaha untuk tak kaget mendengar teriakan Dian yang cempreng. Ia harus selalu tampil keren dalam keadaan apapun
"Ngapain lo di lantai atas sama Tika?" tanya Dian sengit. "Lo siapanya, musuh, temen atau PACAR nya, hah?" Dian berdiri sambil memukul meja. Sumpah, Abim ingin sekali menutup kedua telinganya. Bila perlu Abim akan menyumpal mulut Dian yang mengalahkan TOA.
"Gue tawanan, oke." Abim melirik bang Mega yang pura-pura tak dengar. "Gue diculik sama monster item, gede dan sok tuli," ucapnya dengan menekan tiap kata dan memandang bang Mega datar, yang ditatap hanya terkekeh kecil.
"Santai boi," ujar bang Mega seraya mengangkat kedua tangannya. "Kerja itu harus total. Nggak boleh setengah-setengah."
Abim mencebikkan mulutnya, mencibir sambil melangkah pergi. Ia hanya tak habis pikir dengan seluruh penghuni rumah ini.
Sesampainya di depan ayunan, ia mendongak dan mendapati Tika masih di sana, menatap Abim kosong. Keduanya saling beradu pandang, saling memperhatikan dan menilai.
Abim menghela napas, padahal ia hanya bercanda di saat terakhir tadi. Ia tak menyangka kalau Tika akan menganggapnya serius.
Namun, Abim cukup tahu jika ada yang salah, ia baru menyadarinya saat bercerita dengan Tika tadi.
Huh ...
Abim meneruskan langkahnya, menaiki sepeda motor dan menghidupkannya. Ia sempat terkejut saat ternyata ada seorang laki-laki paruh baya yang berdiri tak jauh darinya. Abim menelan ludah, ia sama sekali tak merasakan hawa keberadaan lelaki tersebut.
Abim mencoba melempar senyum dan mengangguk padanya, seorang pembantu yang berdiri, mematung lima langkah darinya, membalas reaksi Abim dengan menatap Abim yang tengah duduk di atas motor dengan tatapan yang sulit diartikan oleh.
~~~
"Siska ...." desah Tika lagi dan lagi. Tika hanya berbaring lemah di sofa ruang keluarga. Di sana hanya ada Dian yang tengah menatap heran atas tingkahnya akhir-akhir ini.
"Lagi? ya ampun, ini anak nggak bosen apa kayak gini terus?" batin Dian menggerutu tanpa melepas pandang Dari sepupunya yang tengah melamun tak jelas.
Dian mengedarkan pandang ke sekeliling ruang, perasaanya tak enak, namun ia sendiri tak tahu apa yang salah. "Sepi banget," batinnya bersuara. Situasi yang amat sepi, dibanding dengan beberapa malam sebelumnya. Seolah Dian tak mengenali rumah sendir
Orang tua Tika masih belum pulang, sedang orang tua Dian ada di luar negeri karena urusan bisnis. Jadilah rumah besar itu sepi. Hanya ada Dian, Tika, kakeknya, bang Mega juga beberapa orang pembantu, Yang tentunya ada di kamar mereka, beristirahat.
"Kakek ..." panggil Dian sambil beranjak mendekat ke arah kakeknya yang tengah duduk di kursi roda yang didorong oleh bang Mega.
"Tika kenapa?" tanya kakeknya saat mendapati salah satu cucunya hanya berbaring lemah di sofa.
Dian menoleh pada Tika, lalu mengedikan bahu tak tahu. "Galau, mungkin."
Kakeknya tertawa renyah, begitu pula bang Mega yang merasa tak ada yang lucu namun ikut tertawa.
Tika terjingkat, karena merasa geli di tapak kakinya. Ia segera duduk dan menatap heran pada gumpalan berbulu hitam yang tengah menjilati ujung jari kakinya.
"Ku-kucing?!" heran Tika.
"Tika ...."
Gadis berkaca mata itu menoleh, lalu berdiri terburu-buru mendekati sang kakek.
"Lagi mikirin siapa?"
Tika menggeleng pelan, lalu sedikit menyikut Dian.
"Tika nggak lagi mikirin–"
"Tika punya pacar, Kek," potong Dian yang langsung berlari menjauh. Kakeknya hanya ber oh ria dan mengangguk paham.
Bang Mega mengangkat kedua alisnya seraya membatin, "Jangan-jangan bocah yang tadi!"
"Nggak Kek! Tika nggak punya kok," belanya. "Lagian kak Dian juga kan nggak tahu apa-apa," sungutnya kesal pada sepupunya yang selisih umur empat tahun di atasnya.
Dian tersenyum miring. "Terus ngapain berduaan di lantai atas, hah?"
Tika menggigit bibir bawahnya, ia tak mungkin bercerita pada orang rumahnya. Untuk apa ia sudah susah payah membawa Abim diam-diam, bila akhirnya harus buka suara?
"Ah. Nggak penting!" rajuknya, ia segera pergi sebelum ditanyai hal-hal aneh oleh kakeknya.
°°°
"Siska ...." keluh Tika. Ini sudah hari kedua sejak kematian Siska. Tika tak bisa menahan rasa kosong di dadanya semenjak kepergian sahabatnya. Terlalu banyak kenangan indah yang ia lalui, bersama Siska dan Dewi.
Meong!
Tika terlonjak kaget, ia baru sadar kalau malam ini ia tak berbaring sendirian di kamarnya. Tika mengulurkan tangannya, mengelus lembut kucing hitam yang tengah duduk memandanginya polos. matanya hijau jernih, bulunya hitam lebat dan terasa halus bila dielus.
Di luar, hujan yang tadinya turun dengan lebatnya, kini sudah mulai reda. Menyisakan hawa dingin yang membuat Tika kembali menarik selimut tebalnya.
Tika terdiam sesaat saat tanpa sengaja menangkap sosok bayangan di luar jendela melalui ujung matanya.
"Kak Dian?" pikirnya seraya menyibak selimut dan hendak beranjak turun. Tapi segera ia urungkan niatnya saat kucing hitam di ranjangnya mengerang dan mengeluarkan cakar-cakar mungilnya.
Pandangan kucing hitam itu berubah nyalang, menatap jendela satu-satunya yang berada di kamar Tika. Jendela dua pintu, berlapis kaca buram dengan motif bunga.
Tika semakin heran dengan tingkah aneh tiba-tiba kucing itu, seolah sedang menatap musuh yang harus segera ia usir. Tika mengabaikan keraguanya, memilih untuk melihat siapa yang berdiri di luar jendela. Dengan berat, Tika melangkahkan kakinya, ia mendekat secara hati-hati.
Hingga, ia berdiri tepat di depan jendela kaca yang tertutupi gorden abu-abu secara sempurna. Perlahan, Tika mundur beberapa langkah. Ia menyadari satu hal yang sangat penting, hal penting yang harusnya tak boleh ia lupakan sampai kapanpun.
Kamarnya ada di lantai dua dan langsung berhadapan dengan pohon beringin raksasa samping rumah. Sekali lagi Tika menegaskan pada diri sendiri, sosok perempuan itu BERDIRI di luar jendela kamarnya yang ada di lantai dua!
Tiba-tiba lampu padam, jendelanya pun terbuka lebar tanpa sebab, memperlihatkan sosok asing yang ia kira sebagai sepupunya.
Tika jatuh terduduk, suaranya hilang. Sosok perempuan yang tadinya membelakangi Tika, kini perlahan membalikan badan penuh.
Keringat bercucuran dari dahi Tika, tubuhnya menegang.
"Sis-Siska ..." ucap Tika gugup, dan setelah itu hanya ada gelap dan sunyi.