Ratih Adipermana Laksa atau yang biasa dikenal sebagai Nyonya Faresta kini terlihat mengayunkan kedua kaki menuruni satu persatu undakan tangga. Sebelum jam sarapan tiba, pagi ini dia sibuk menjalankan rutinitas sehari-harinya yaitu membangunkan ketiga anaknya yang masih merem di pagi yang cerah ditemani kicauan burung sebagai alunan yang begitu merdu. Hari ini weekend, jadi anak-anak masih bergelut di bawah selimut masing-masing akibat semalam memilih begadang bersama. Gabriel menonton bola bersama Damian, sementara Abella dan Chiara menonton drama kesukaan mereka. Kalau Ratih tidak salah, tadi malam mereka tidur jam dua dini hari--tentunya setelah makan bersama juga, Ratih yang setia membuatkan mereka nasi goreng.
"Selamat pagi, Mama." Seseorang menyambut kedatangan Ratih ketika di lantai bawah. Dia semulanya duduk di ruang keluarga sambil menonton siaran berita bersama Papanya, langsung menghampiri ibunya dengan mencium pipi kanan dan kiri sebagai rasa kasihnya. "Mereka sudah bangun?" tanyanya kemudian.
Ratih mengusap puncak kepala anak sulungnya yang sudah begitu ceria di pagi ini. Dia sangat rapi dengan pakaian santainya. Zionathan Cello Faresta, lelaki tampan dengan rambut hitam legam. "Pagi, Sayang. Mereka sudah bangun, lagi gosok gigi dan cuci muka. Sebentar lagi kita sarapan."
Zionathan hanya mengangguk paham, lanjut membaca berita harian tanpa mau banyak bicara. Dan ya, seperti inilah sosok anak sulung di keluarga Faresta. Dia terkesan dingin, irit bicara, dan tidak senang keributan. Sikapnya persis Damian Faresta, sang Papa. Tidak terlalu memedulikan hal yang menurutnya tidak penting, diam pilihan terbaik. Namun meski begitu, Zionathan adalah lelaki hangat dengan penuh kasih sayang pada keluarganya. Dia sangat perhatian pada orang-orang tertentu, meski tetap kelihatan tak acuh.
"Mama, Papa ...!" Abella dan Chiara berlarian berebut ingin memeluk Damian duluan. Hanya saja keduluan Abella, Chiara berdecak kesal mengadu pada Ratih. "Kamu jangan curang, aku duluan meluk Papa!" Menepis jangan Chiara yang ingin menyentuh Damian. Anak kembar itu selalu saja berdebat setiap pagi, perkaranya tidak lain dan tidak bukan karena berpelukan saja.
Chiara mendesis, memajukan bibirnya. "Papa, liat Abel!" adunya manja.
Damian terkekeh. "Abel, gantian dulu sama Chiara."
Abella Clare Faresta, gadis berusia delapan belas tahun yang masih senang bersikap manja pada Mama dan Papanya. Baru saja lulus sekolah menengah atas, melanjutkan pendidikan di universitas seperti Abangnya--Zionathan. Meski kembar, kesenangan Chiara berbeda sekali dengan Abella. Chiara menyukai dunia seni, sementara Abella senang dengan dunia kuliner. "Nggak mau, aku mau menguasai Papa hari ini!" Memeletkan lidahnya pada Chiara yang masih memeluk Ratih.
"Kurang kerjaan banget pagi-pagi sudah buat ribut!" dengkus Gabriel Cyrilo Faresta, anak bungsu yang senang mencari gara-gara dengan orang rumah--terutama kakak kembarnya. "Ingat umur, sudah bukan bocah lagi." Matanya memutar malas. Gabriel ini berusia tiga belas tahun, duduk di bangku sekolah menengah pertama kelas satu. Saat berbicara soal prestasi, Zionathan dan si Kembar pemenangnya. Sementara Gabriel? Dia paling bandel dan malas belajar. Sukanya menonton bola, main games, dan jalan-jalan. Saat ditanya cita-citanya ingin menjadi apa, dengan lantang dia menjawab jadi pembisnis yang sukses seperti Papanya. Langsung mengundang gelak tawa seluruh keluarga, Gabriel paling memusingkan di antara yang lainnya. Meski begitu, dia sosok anak yang begitu peduli. Contohnya seperti tangan Ratih teriris pisau, dia langsung memberikan penolongan dan meyakinkan Ratih jika luka itu tidak akan menyakitinya. Begitu romantis, dia anak kesayangan yang selalu menyulut emosi dengan tingkah konyolnya.
Chiara Chesna Faresta, mencubit lengan Gabriel sebal. "Bang Zio, liat Gabriel. Dia senang banget ngajak barantem, marahi dia!"
Zionathan memijat pelipisnya, geleng-geleng kepala. "Abella, Chiara, ayo bergantian kalau mau meluk Papa. Jangan berantem terus. Benar kata Gabriel, kalian sudah besar. Jangan terlalu manja, malu sama teman-teman." Sekali Zionathan yang angkat bicara, si kembar langsung terdiam. Mereka bergantian memeluk Damian dan Ratih.
Gabriel memeletkan lidah. "Mampus dimarahi Abang!" Tertawa geli, sebelum kemudian dia juga ditegur oleh Zionathan. Anak itu emang senang sekali menguji kesabaran kedua kakaknya. Padahal jika ada pekerjaan rumah, Abella dan Chiaralah yang membantu Gabriel menyelesaikannya.
"Kamu tidak ingin memeluk Papa, Gabe?"
Gabriel langsung menggeleng. "Tidak, aku sudah besar. Kecuali kalau aku masih bayi, baru boleh dipeluk dan dicium."
Ratih tertawa. "Kalau tau kamu sudah besar, jangan lagi minta temani Mama tidur ya?" candanya yang mengundang tawa semua orang. Gabriel mendengkus lagi, melipat kedua tangannya di depan dadaa. Di emang sering meminta ditemani tidur oleh Ratih, katanya takut dan lebih nyenyak kalau sambil dipeluk ibunya.
"Yah, Mama. Kalau urusan itu beda lagi. Mama jangan keseringan tidur sama Papa, nggak boleh!"
Damian mengerutkan kening. "Kenapa jadi nggak boleh, bukannya kamu mau punya adik lagi?"
Abella dan Chiara berseru kompak, "Enggak mau!" Mengisi setiap sudut ruang keluarga, membuat Ratih tertawa yang akhirnya memberikan cubitan pada perut Damian, senang sekali membuat kebisingan. "Pokoknya aku nggak mau punya ade lagi, nanti tambah nyebelin kayak Gabe!" Abella mengerucutkan bibirnya, memutar bola mata malas.
Gabriel tidak terima, dia memukul tangan Abella. "Kakak Abel nakal, marahi dia lagi, Bang Zio!" Dia merengek pada Zionathan, meminta lelaki itu menegur Abella.
"Sudah, tidak perlu berdebat lagi. Kebiasaan kalau ngumpul pasti membuat keributan." Zionathan melihat surat kabarnya, menaruh di atas meja.
"Baiklah, waktunya sarapan." Damian menyuruh Chiara berdiri dari pangkuannya, melangkah bersama menuju ruang makan. "Jangan saling berebut, duduk di kursinya masing-masing!"
"Aku mau dekat Mama!" Chiara mengambil duluan kursi gabriel yang berada di samping kanan Ratih.
Sebelum Gabriel membuka suara, Zionathan duluan menyela, "Duduk di samping Abang saja. Tidak perlu berantem lagi. Kamu laku-laki, tidak apa jika sering mengalah." Akhirnya mau tidak mau, Gabriel duduk di sebelah Zionathan. Dia memicingkan mata pada Chiara dan Abella yang berada di seberangnya. "Chiara, jangan mulai!" Memperingati anak itu yang tengah memeletkan lidahnya pada Gabriel, saling membalas perlakuan yang sama.
Abella dan Chiara memang sangat manja ketika berada di rumah, apalagi kalau ada Damian. Keduanya begitu ingin menghabiskan waktu bersama Papanya, bahkan sekadar untuk bercerita singkat. "Papa, hari ini aku mau latihan menari di gedung kesenian. Papa anterin aku ya." Chiara membuka suara di sela-sela makannya. Kemarin Damian baru saja datang dari luar kota, hingga si kembar sangat merindukan pria itu. "Abel biar sama Mama membuat kue di rumah. Iya kan, Abel?"
"Iya. Hari ini aku akan mencoba resep baru, Mama ada waktu luang kan?" Ratih tersenyum, menganggukkan kepalanya.
"Kalau Gabriel, hari ini mau melakukan kesibukan apa?" tanya Ratih. Gabriel nampak berpikir keras, setelah itu mengulum senyum.
"Main PS!"
"Dih, Gabe! Kamu lebih baik belajar, lihat kan kemarin nilai kamu turun lagi?"
Gabriel membuang muka dari Abella. "Kak Abel nggak tau aja persaingan teman-teman ketat, mereka pinter-pinter semua. Lagian turunnya cuman sedikit, aku nggak bodoh-bodoh banget kok. Masih sedikit tertolong, masih ada yang peringkat terakhir di kelas."
Chiara menggelengkan kepala keheranan. "Harusnya bangga kalau peringkat satu di kelas, bukan malah peringkat tiga dari urutan terakhir. Bingung aku sama kamu, kerjaannya main mulu sih."
"Tenang aja Kak Chia, aku bakal jadi orang sukses kok. Aku bakal jadi penerus Papa. Iya kan, Ma?"
Ratih mengangguk cepat, Gabriel tertawa senang. "Anak-anak Mama semuanya akan menjadi orang sukses."
Damian mengamati Gabriel dan cara dia berbicara. Wajah anak itu sangat mirip dengan Ratih. "Makan saja dulu, baru lanjut mengobrolnya. Lihat Abang Zio, sejak tadi diam dan menikmati makanannya."
"Abang mah nggak bisa dilawan, dia emang nggak hobi bicara." Abella menaikkan bahu, menyuap nasi gorengnya dengan lahap. "Anteri Abel belanja sebentar nanti ya, Bang. Mau buat kue sama Mama, nanti Abang orang pertama yang aku suruh cicipin."
Zionathan tersenyum, mengangguk. Abella menepuk tangan ceria, senang sekali jika Zionathan yang mengantarkan belanja. Abella bebas memilih camilan apa saja, nanti biar Abangnya yang membayar.
"Abang, ternyata sejak beberapa hari yang lalu kita ada tetangga baru. Dia kuliah di tempat kamu juga loh. Udah liat siapa orangnya?" Ratih tiba-tiba teringat tetangga baru tepat di seberang rumahnya. Akhirnya setelah satu bulan kiranya rumah itu kosong, ada juga yang menempati. Rumahnya minimalis, jauh lebih sederhana dari kediaman Faresta yang megah. Kemarin saat jalan-jalan santai di sore hari menggunakan skuternya, ada seorang gadis yang tengah menyapu halaman. Ratih menyapa dia, kemudian mengobrol sedikit.
"Enggak, Ma. Aku belum liat."
"Cantik, namanya Pelangi. Coba nanti kamu kenalan, dia ramah dan sopan sekali anaknya. Seumuran kamu juga, sudah semester akhir. Dia tinggal bersama Neneknya, cuman berdua."
Zionathan tersenyum tipis, menanggapi dengan anggukan kepala saja. Dia kelihatannya tidak terlalu tertarik, lebih terkesan malas. Zionathan tidak terlalu peduli dengan banyak hal, apalagi diluar daripada urusan keluarganya. Sifat itu persis Papanya, malah sepertinya lebih parah.
****
"Nenek, kayaknya Paman sayur sudah ada di depan. Aku beli sayuran dulu ya, Nenek mau makan apa? Kalau aku mau tumis kangkung aja hari ini." Dia menyapa neneknya dengan ceria, melangkah menuruni undakan tangga sambil menggulung rambut panjangnya. Gadis itu bernama Pelangi Adriana, gadis ceria yang sangat kuat menjalani hidupnya yang penuh kerumitan. Dia tinggal bersama nenek Mariya, yang tidak lain ialah nenek baik hati yang dengan ikhlas merawat Pelangi sejak dua tahun lalu. Ibu Pelangi sudah meninggal, tidak lama setelah itu barulah dia ketemu dengan nenek.
Pelangi seperti diselamatkan oleh keadaan, Tuhan begitu baik menghadirkan Nenek Mariya untuk menolong Pelangi pada malam itu. Jika saja tidak ada Nenek Mariya, Pelangi tidak tahu harus meminta pertolongan pada siapa. Dua orang preman mengejar-ngejarnya dari dalam lorong, menagih hutang ibunya yang segunung. Kalau Pelangi tidak dapat membayar, maka jaminannya ialah dirinya yang akan dijadikan b***k sekss oleh orang-orang jahat itu. Pelangi sangat takut, dia bahkan tidak berani lagi kembali ke lorong. Tidak sanggup jika harus berhadapan dengan orang-orang yang tak pernah mau mengasihani sesamanya. Bukan Pelangi yang berhutang, lalu kenapa dia yang harus menanggung semuanya? Kadang dunia emang semenyedihkan dan setidak adil itu.
"Nenek ikut kamu saja, Nak. Ambillah uang di dompet Nenek di dalam laci nakas." Wanita itu sedang merawat tanamannya di teras samping, rajin sekali setip pagi begini memanjakan anak-anak kesayangannya.
Pelangi menggeleng kecil, lalu menunjukkan uang miliknya. "Aku punya uang sisa belanja kemarin. Masih cukup banget, Nek. Aku ke depan dulu, Nenek." Melangkah riang dengan baru bekas kemarin malam. Sejujurnya Pelangi belum mandi, nanti setelah memasak baru bersih-bersih. "Paman, kangkung pesanan aku kemarin sudah disisain?"
Paman sayurnya mengangguk. Dia mengeluarkan kangkung yang sudah dia bungkus secara berbeda agar tidak kehabisan lagi. "Sudah, Neng Pelang. Ini kangkung dua ikat, mau tambahan belanja yang mana lagi?"
"Kayaknya tambah tempe, cabai, sama ikan asin, Paman." Lalu membungkus semuanya. Syukurlah uang Pelangi cukup, malah tersisa dua ribu. "Terima kasih ya, Paman. Besok kalau lewat sini, panggil saja lagi ya."
"Iya, Neng Pelangi. Terima kasih kembali."
Pelangi masuk ke dalam dengan membawa sekantong plastik berisikan belanjaannya tadi. Dia akan membuat tempe tepung dan menggoreng ikan asin, sudah lama sekali tidak mencicipi ikan satu itu. Selama tinggal bersama Nenek Mariya, Pelangi jarang memakan ikan asin, Nenek selalu menyiapkan makanan yang enak-enak. Pelangi sangat bersyukur, Tuhan masih memberinya nikmat yang berlimpah. "Nenek segeralah mandi, biar nanti selesai aku masak, kita langsung sarapan."
Nenek Mariya mengangguk paham, segera meninggalkan tanamannya untuk bersih-bersih. "Hati-hati memasaknya ya, Nak." Dia selalu mengkhawatirkan Pelangi, apalagi pernah kejadian saat lengan Pelangi kecipratan minyak panas, Nenek Mariya sangat cemas.
"Baik, Nenek." Tersenyum ceria, senang sekali merasa dilindungi dalam keluarga kecil ini.
Tidak lama setelah Nenek Mariya ke kamarnya dan Pelangi mulai membersihkan kangkungnya, bel berbunyi. Pelangi segera meninggalkan dapur, melangkah cepat menuju pintu utama lagi.
"Selamat pagi, Kak Pelangi. Ini dapat bekal dari Mama." Abella menyerahkan wadah makanan kepada Pelangi. Ratih menugaskannya mengantar sekalian dia mau keluar dengan Zionathan yang saat ini menunggu di dalam mobilnya. "Yang itu rumah aku, kata Mama dia yang ketemu Kakak sore kemarin."
Pelangi tersenyum lebar, menganggukkan kepala. "Bilangi sama Mama, terima kasih banyak."
Abella mengulas senyum, kemudian melambaikan tangannya. "Aku lagi buru-buru, nanti saja aku main ke sini bareng Chiara ya. Dadah ...!" Langkahannya begitu cepat, berlarian kecil memasuki mobil hitam mewah yang sudah menunggu di depan pagar kediaman Pelangi.
Pelangi tersenyum lebar, senang sekali bisa memiliki tetangga yang baik dan seramah Ratih. Kalau kata Nenek Mariya, keluarga Faresta adalah pemilik lahan perumahan di sini, sebelum akhirnya pindah tangan kepada para pembeli. Kediaman Faresta yang paling besar dan mewah, beda dari yang lainnya. "Siapa yang datang, Nak?" Nenek Mariya urung mandi, dia sempat mendengar ada tamu yang datang.
"Anaknya Tante Ratih, tetangga depan, Nek. Tante Ratih kasih bekal makanan, lumayan buat nambah menu sarapan hari ini. Baik banget ya, Nek, orangnya."
Nenek Mariya tersenyum, mengusap lengan Pelangi. "Akan selalu ada orang baik di sekeliling kamu jika kamu menjadi anak baik. Nenek percaya, semua orang tidak membenci, tapi belum mengenal kamu lebih jauh. Kamu baik, kamu penyayang, yang pasti ... kamu tidak sama dengan ibu kamu."
Pelangi tersenyum, memeluk Nenek Mariya. "Terima kasih selalu mengingatkan tentang hal ini. Aku percaya di balik kesusahan pasti ada kemudahan. Nggak pa-pa saat ini semua orang membenci dan merendahkanku, tapi untuk masa yang akan datang, aku pasti membuktikan jika aku layak berada di tengah-tengah mereka."
"Kamu pasti bisa, bertahanlah sedikit lagi ya."
Pelangi mengangguk, lalu tersenyum lebar. "Tidak boleh sedih, ayo semangat untuk pagi yang cerah ini. Aku mau lanjut masak, Nenek juga mandi."
Seperginya Nenek Mariya, Pelangi memegangi dadaanya. Akan selalu ada orang baik di sekelilingnya, jika Pelangi menjadi anak baik. Dia tidak sama dengan ibunya, akan selamanya begitu.
****