Part 3 Enam Tahun Lalu

2423 Kata
"Masuk! Dan pakai sabuk pengamannya!" Perintah Kanu pada Kalista. Setelah melihat Kalista memakai sabuk pengaman, Kanu memberikan Kei padanya dengan hati-hati, agar tak membangunkan anak perempuan itu. Sekilas dilihatnya kembali, sungguh mirip dirinya. Seuntai senyum tersungging di bibirnya. Aah..., anakku... putri cantikku... Segera setelah dia duduk di belakang kemudi, dinyalakannya mobil dan pendingin. Dia tak mau jalan dulu. Selain pastinya masih tersendat di pintu keluar, dia ingin minta penjelasan sejelas-jelasnya dari perempuan di sebelahnya ini. Kanu melirik Kalista, yang tampak ketakutan dan memeluk Kei dengan erat. Diambilnya nafas panjang dan dibuangnya dengan kasar. Diacaknya rambutnya. Frustasi! Hampir enam tahun berlalu, dan saat bertemu orang yang paling dicarinya, dia malah bingung, tak tahu harus berkata apa. Kangen? Pastinya! Dia sungguh kangen pada Kalista. Dia sangat ingin memeluk Kalista. Tapi melihat kondisi Kalista sekarang, membuatnya marah. Bukan..., bukan marah pada Kalista tapi marah pada dirinya sendiri. Karena dia, Kalista jadi hidup begini. Semenderita itukah Kalista? Bagaimana dengan anakku? Ah ya... siapa tadi namanya? Kei...? Aku tadi dengar Lista memanggil anak cantik itu, Kei? Bagaimana dengan Kei? Langsung diperhatikannya anak perempuan yang sedang tertidur pulas di pelukan Kalista. Anaknya tampak baik-baik saja. Tampak sehat, ceria, dan pintar. Tadi saat dia mengikuti Kalista diam-diam, dia mencuri dengar pembicaraan ibu anak itu. Sepertinya Lista merawat anakku dengan baik. Kei tak kekurangan suatu apa pun. Pandangan Kanu beralih pada Kalista. Dia tampak kurus. Bajunya lusuh. Tas ransel yang dipakainya pun lusuh. Kalista yang dipandang sedemikian rupa oleh Kanu, menjadi takut. Dia semakin mengeratkan pelukannya ke Kei. Takut laki-laki itu akan mengambil Kei, anaknya. Satu-satunya miliknya yang berharga. Tangan Kanu terulur, hendak mengusap air mata yang meluruh di pipi kurus Kalista. Tapi reflek Kalista menjauhkan wajahnya. Bayangan kejadian itu, masih tampak nyata, padahal sudah hampir enam tahun berlalu. Tapi rasa sakit akibat tamparan itu masih ada. Rasa panas yang menjalar di pipinya seperti masih terasa. Tapi yang terutama perih karena lisan yang terucap, yang membuat lukanya kembali berdarah. "Jangan menangis, kumohon... Jangan menangis, Lista. Maaf, aku memaksamu ikut. Aku... aku... aaah..." Kembali Kanu menarik nafas panjang. Tangannya menggantung di udara, kosong. "Kenapa, Lista? Kenapa?" "Ke... kenapa apanya?" Tanya Kalista takut-takut. Suaranya lirih. Dia takut Kei akan terbangun dan mendengar pembicaraan mereka. "Kenapa kamu pergi? Tanpa pamit? Tanpa kabar? Enam tahun, Lista! Selama hampir enam tahun ini aku mencarimu! Papa mama juga mencarimu!" Lirih Kanu, frustasi. Dia juga tak mau anaknya terbangun dan mendengar pembicaraan mereka. Kalista diam saja. Tak bereaksi. Dia mencoba mengira ke arah mana pembicaraan ini. Pelukannya ke Kei tidak mengendur. Apapun yang akan terjadi, Kei harus kupertahankan. Dia milikku. Milikku yang paling berharga. Satu-satunya. "Gadis kecil itu, dia anakku kan? Dia mirip sekali denganku." Sebuah pertanyaan yang tak membutuhkan jawaban. Tangan Kanu kembali terulur, bermaksud untuk menyentuh pipi Kei. Tapi kembali tangannya menggantung di udara karena Kalista menjauhkan badan Kei dari tangan Kanu, secara reflek. Naluri sebagai seorang ibu yang melindungi anaknya. "Kenapa kamu tak memberitahu aku kalau kamu hamil? Aku ayahnya! Aku berhak tahu atas anak ini." Sesal Kanu. "Apakah akan ada perbedaan? Bukankah saat itu aku diusir? Kalian mengusirku bahkan tanpa mau mendengar penjelasanku. Kuingatkan kalau lupa." Kalista menjawab dengan sedih, sebenarnya dia tak mau mengingat masa lalu. Sama saja seperti kembali mengorek luka lama, yang sudah hampir mengering. Padahal sudah hampir enam tahun berlalu. Masa yang paling menyakitkan baginya. Saat menjadi tersangka, saat dituduh telah berbuat hina, saat tak lagi dia dipercaya. Saat mereka bahkan tak mau mendengar apa penjelasannya. Terutama oleh orang-orang yang selama ini sangat disayanginya. Keluarganya, terutama suaminya. Kanu memejamkan matanya. Selintas terbayang kembali kejadian enam tahun lalu. Saat mereka, menuduh Kalista tanpa pernah mau mendengar alasannya. Saat mereka kemudian mengusir Kalista karena emosi yang memuncak. Dia baru sadar efeknya sekarang sangat menyakiti Kalista. "Ke mana kamu selama ini? Kamu... apakah kamu baik-baik saja?" Kanu mengamati wajah Kalista yang polos tanpa make up. Dulu wajah itu selalu memakai make up terbaik, walau hanya sapuan bedak dan lipstik tipis karena dia tahu Kalista sudah cantik dari tanpa make up. Sekarang pun Kalista tetap cantik, aura lembut dan menenangkan semakin menguar apalagi dengan jilbab yang menutup rapat kepalanya. Masih tetap menarik seperti dulu. Hanya tampak keletihan di wajahnya. "Aku baik-baik saja." "Gadis kecil itu..., mmm... anakku, siapa namanya? Berapa umurnya?" "Namanya Keisha Putri Witjaksana, aku biasa memanggilnya Kei. Dia baru saja berulang tahun yang kelima dua minggu lalu. Maaf, aku memakai nama keluargamu tanpa ijin." Dwi Arkanu Witjaksana. Itu nama ayahmu, nak. Suatu saat nanti Kei harus mencari ayah. Meminta restunya untuk menjadi wali nikah Kei. Jika ibu saat itu sudah tak ada, bawalah kotak ini, tunjukkan isinya pada ayahmu. Dan dia akan tahu bahwa kamu adalah putrinya. Ibu mau pergi ke mana? Kei ikut ibu, ya... Kei ikut ibuuu... Kei gak mau sendirian ibuuu... -isak tangis - Tidak boleh, Kei... Kei harus kuat. Kei... putri ibu, kesayangan ibu, maafkan ibu ya nak, harus membuat Kei menderita begini. Satu lagi, Kei adalah cucu Keluarga Diningrat. Temuilah juga eyangmu setelah bertemu ayahmu ya Kei. Mereka, eyang kakung dan eyang putri, Insya Allah akan sangat menyayangimu, nak. Seperti mereka dulu sangat menyayangi ibu. Dulu... yaa dulu... Pesan yang sering disampaikan Kalista pada Kei yang masih kecil saat itu, yang tentu saja tak tahu apa-apa. "Dia putriku, tentu saja dia pantas untuk menyandang nama Witjaksana ." Suara berat penuh frustasi laki-laki itu menyadarkan Kalista dari lamunannya. "Aku kehilangan momen berharga putriku, Lista. Aku bahkan tak tahu tanggal lahirnya. Aku tak tahu langkah pertamanya. Aku tak tahu kata pertamanya. Aku tak tahu apa-apa tentang putriku, Lista! Tak tahu!" Geram Kanu. Dicengkeramnya kemudi erat-erat. Dia ingin melampiaskan emosinya. Buku jarinya bahkan sampai memutih, menyadari kenyataan bahwa dia sama sekali tak tahu apa-apa akan putrinya, putri cantiknya. Tanpa sadar Kanu memukul kemudi agak keras. Membuat Kei menggeliat dan membuka matanya. Dia tampak bingung. "Ibu, ini di mana? Kok bis gedenya jadi kecil?" Tanya Kei dengan mata masih mengantuk. "Di mobil, sayang. Kita tidak jadi naik bis gede." Bisik Kalista sambil mengelus rambut anaknya penuh kasih. "Haloo sayang... sudah bangun ya?" Tanya Kanu perlahan. Tangannya terulur, bermaksud untuk menyentuh pipi anaknya. Sontak Kei terbangun. Matanya membulat, melihat ada sosok laki-laki di sebelah mereka. Laki-laki yang tadi dihindari oleh ibunya, membuat mereka berlari dan sembunyi. Dia melihat ke arah ibunya, tampak air mata. Om jahat penagih hutang! Aku harus bantu ibu. Kei menggigit tangan Kanu sekerasnya. Membuat Kanu mengaduh, dan segera menarik tangannya. "Aduuuh... kenapa digigit?" "Kei... " Kalista berteriak tertahan. "Bu... ayoo kita lari ibu... Om ini kan yang tadi kejar kita. Om jahat kan bu! Om tukang tagih hutang! Lepasin tali ini bu, ayo buka pintunya kita lari ibuu..." Teriak Kei panik melihat ibunya yang diam saja. Dan dia heboh menarik seat belt yang terpasang di tubuh di ibunya. Membuatnya semakin panik karena merasa ibunya ditali. "Haa?? Om jahat? Tukang tagih hutang?" Kanu bingung dengan reaksi Kei. Sementara itu Kalista sibuk menenangkan Kei. "Kei sayang, dengar ibu nak... Om ini bukan tukang tagih hutang. Ini juga bukan tali. Ibu tidak ditali kok. Ini namanya seat belt atau sabuk keselamatan. Ibu gak apa-apa kok." "Kalau om itu gak jahat, kenapa ibu menangis?" Kei menunjuk ke pipi ibunya. "Om apain ibu saya? Om pukul ibu saya ya? Om jahat!" Kei masih berteriak. "Kei... dengar ibu!" Bentak Kalista. Tapi saat Kei diam, dia menjadi menyesal sudah membentak anaknya. "Maaf ibu bentak Kei. Tapi sungguh ibu tidak apa-apa. Ibu menangis karena.... lapar." Mereka bertiga terdiam karena mendengar suara keroncongan dari perut Kalista. Kanu tertawa lepas. Kei nyengir dan Kalista hanya tertunduk malu. Dia benar-benar lapar. "Maaf, ibu jadi lapar karena tadi makan mie cup cuma sedikit ya? Kei tadi makan banyak banget ya bu?" "Enggak... kan memang sudah saatnya makan malam, Kei. Lihat tuh matahari sudah berganti tugas dengan rembulan. Sudah mulai gelap kan?" Kalista mencoba mengalihkan perhatian Kei agar lupa dengan peristiwa tadi. "Iya... ibu. Tapi kalau di kota kenapa bintang-bintang gak kelihatan ya bu? Kalau di kampung kan jelas banget." Sejelas suara kruyuk dari perut Kei. "Ibu..., Kei juga lapar. Ibu masih punya uang untuk beli makanan? Kalau tidak ada, Kei nanti mau langsung tidur saja pas sudah sampai di masjid ya, bu? Jadi biar gak kerasa lapar." Kalista melirik Kanu yang tampak serius mencerna perkataan Kei. Dilihatnya Kanu menarik nafas panjang. Tampak frustasi. "Eeeh... tapi bu, kemarin pas kita mau berangkat, Om Dirga kasih uang ke Kei. Kata Om Dirga uangnya bisa dipakai buat beli s**u sama roti kalau uang ibu sudah habis. Kata Om Dirga lagi, bisa dapat segini bu. Itu banyak banget kan ya?" Tanya Kei sambil menunjukkan kesepuluh jari tangannya. Wajah polosnya yang tampak berpikir, sungguh menggemaskan. Om Dirga? Siapa dia? "Kapan Om Dirga kasih ke Kei? Kok ibu gak tahu? Disimpan di mana?" "Pas ibu lagi pamit sama Eyang Sastro. Dikasih uang yang warna pink. Kata Om Dirga lagi ada gambarnya pendiri Bangsa Indonesia. Emangnya dulu pernah jatuh ya bu? Kok ada yang berdiriin lagi?" Belum sempat Kalista menjawab sekarang terdengar koor perut keroncongan membuat Kanu tertawa lepas. "Kalian pada kelaparan ya? Mau makan apa? Kei mau makan apa, nak?" Tanyanya lembut pada Kei. "Kei makan apa saja asal enak dan halal kok, Om. Kata ibu tidak boleh menolak makanan. Tapi Om, uang ibu tinggal sedikit banget buat pulang kampung besok. Kei gak makan juga gak papa kok, dulu sudah biasa kalau malam gak makan jadi langsung tidur aja kata ibu." Jawab Kei kalem. Tapi jawaban Kei tentu saja membuat Kanu sedih. Tangannya kembali terkepal. Ditariknya nafas panjang dan dibuang kasar. Sementara Kalista hanya menunduk, takut. "Mulai sekarang Om yang bayar makannya Kei dan ibu ya. Kei boleh makan apa saja loh. Kei mau makan apa?" "Bener Om? Om yang bayarin? Gak apa-apakah ibu? Katanya kita gak boleh berhutang apalagi sama orang yang baru kita kenal. Tapi Kei beneran lapar bu..." "Kei..., Om...." Kanu menunjuk dadanya, "Bukan orang asing. Om adalah..." "Untuk kali ini gak papa Kei. Katanya dulu Kei ingin sekali makan ayam goreng tepung yang seperti di film Upin Ipin kan?" Kalista segera memotong Kanu. Kei mengangguk. "Belum saatnya dia tahu, maaf..." Baik Kalista dan Kanu mengehela nafas. "Kalau begitu kita makan bertiga ya... Nanti Kei makan yang banyak ya nak, kalau Kei mau nambah lagi makan ayamnya, gak pa pa loh. Yang penting, Kei dan ibu tidak kelaparan lagi." "Iyaaa Om, iyaa... terima kasih..." Keceriaan Kei segera saja menular ke Kanu. Dia sungguh bersyukur Kalista merawat Kei dengan baik, walaupun mereka hidup dalam keterbatasan. "Euum Kei, Om mau tanya boleh?" "Boleh Om, boleh..." Jawab Kei sambil mengangguk. "Kei tadi bilang dulu sering gak makan malam, itu kenapa?" Kalista langsung menoleh ke arah Kanu, tampak tak percaya dengan pertanyaan yang diajukan laki-laki itu. "Ooh itu dulu Om... duluuu..." Bibir Kei membulat, semakin membuat Kanu gemas. "Pas sebelum kami tinggal di rumah Eyang Sastro, Om. Pas kami masih pindah-pindah. Uuuh Kei jadi sedih kalau ingat itu." "Eyang Sastro itu siapa? Dan kenapa Kei pindah-pindah?" "Eyang Sastro itu, kata Ibu, adalah neneknya Om Dirga. Yang punya usaha batik. Nah dulu, sebelum Kei, ibu sama Mbok ketemu Om Dirga, kami pindah-pindah tempat tinggal, Om. Ibu sering diusir karena katanya gak bisa bayar hutang. Terus ibu juga sering dipukuli. Sampai ibu nangis-nangis, Om. Kei kasihan sama ibu, tapi Kei gak boleh keluar sama Mbok, takut Kei diculik katanya." Kei menangis dan menghentikan ucapannya karena Kalista menegurnya. Agar berhenti bercerita. Itu masa lalunya, yang juga kelam. Tapi setelah bertemu Dirga dan keluarganya, hidup mereka berubah, jadi lebih tentram. "Terus..??" Tanya Kanu penasaran. Dia tak mungkin meminta Kalista bercerita karena perempuan itu pasti akan menolak. "Waktu itu uang ibu tinggal sedikit banget, Om. Sehabis ibu dipukuli sama orang-orang jahat itu, badan ibu demam, padahal sudah minum obat. Si Mbok belum pulang ke rumah karena hujan. Padahal mbok janji mau bawa makanan yang banyak. Tapi sampai malam, mbok gak juga sampai. Kei sudah lapar banget, Om. Seharian baru makan sekali. Tapi Kei lihat masih ada sisa nasi kemarin, masih sepiring kecil. Kei sudah bilang buat ibu saja, karena ibu belum makan. Tapi ibu bilang, ibu puasa, jadi gak boleh makan. Padahal kalau puasa kalau sudah malam kan boleh makan ya Om?" Tanya Kei pada Kanu. Sesekali Kanu mengangguk, tersenyum dan kembali konsentrasi menyetir. "Kei bilang sama ibu kalau nasinya buat Kei saja boleh gak? Kata ibu boleh. Tapi pas Kei makan rasanya agak sedikit asam, kata ibu sudah basi jadi tidak boleh dimakan, dibuang saja. Tapi kan sayang, Om, mubazir kalau buang makanan. Jadi Kei tetap makan saja, pakai kecap. Tapi eeh terus perut Kei sakit, mules gitu. Ibu bilang itu karena makan nasi basi. Jadi Kei kapok makan nasi basi, Om. Kalau malam tidak ada makanan, Kei minum air putih saja terus tidur deh. Baca doa sekalian minta mimpi makan yang banyak!" Mata Kei bersinar saat mengatakan makan yang banyak. Kanu terhenyak. Batinnya sungguh meradang. Sebegitu susahnyakah hidup Kalista hingga kadang mereka tidak makan? "Eeumm Om..." Kei tampak mengamati wajah lelaki di sebelahnya dengan serius. "Ya..?? Kei mau apa nak?" "Om kerja di Jakarta ya?" Kanu mengangguk. "Ooh pantesan uang Om pasti banyak ya, jadi bisa bayar makannya ibu dan Kei. Om, teman ibu?" "Kei..." Kalista menegur Kei dengan nada lembut. Kei anak yang cerdas, rasa ingin tahunya tinggi. Dia akan terus bertanya sampai puas. Dan walaupun hidup dalam keterbatasan tapi dia tetap mengoptimalkan kecerdasan anaknya. Beruntung dia dulu sering baca buku tentang psikologi. "Om bukan teman ibu. Tapi Om..." Kanu menggaruk rambutnya yang tak terasa gatal. Dia sangat ingin memberi tahu Kei bahwa dia ayahnya. Tapi tadi Kalista sudah melarangnya. Kanu melirik Kalista yang ternyata juga sedang melihat ke arahnya. Karena tak juga mendapat jawaban, Kei malah kembali bertanya, "Kalau begitu, Om temannya ayah Kei ya? Kan sama-sama kerja di Jakarta." Dia kira warga Jakarta itu saling mengenal seperti orang-orang di kampungnya. Kanu masih diam, dia menunggu reaksi Kalista yang malah tampak bingung. "Eeh tapi, kayanya Kei pernah lihat Om deh. Tapi di mana ya?" Kei mencoba mengingat. Wajah imutnya tampak berpikir keras. "Om coba senyum deh!" Lihatlah, bahkan sekarang dia bisa menyuruh Kanu. "Kenapa memangnya?" Tanya Kanu tapi tetap tersenyum, mengikuti permintaan anaknya. "Om pipi kanannya ada lubang, sama kaya Kei. Aah yaa... Kei ingat. Om ada di foto pernikahan ibu. Om pakai baju putih. Ibu pakai kebaya putih juga. Pakai jilbab putih juga. Ibu cantik banget deh. Eeh tapi ngapain kok Om foto sama ibu? Kok bukan ayahnya Kei?" Kalista menarik nafas panjang. Percuma saja menutupi kenyataan. Untuk anak seusianya, Kei sungguh cerdas. Logikanya jauh di atas umurnya. Empatinya juga bagus karena dia terbiasa untuk mengajari Kei berbagi dengan tetangga. "Karena... Om adalah ayah Kei. Aku ayahmu, nak. Ayah kandungmu!" | | | Jakarta, 4 Mei 2019
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN