19. Ribut Tapi Ngga Berantem

2523 Kata
Siang ini kelas IPA 1 terasa begitu ramai. Karena matahari dengan bahagianya tersenyum menyapa kelas itu, mereka jadi tidak berselera pergi-pergi keluar kelas, lebih baik di kelas katanya, ngadem. Tapi karena ketiga puluh murid itu kumpul tanpa adanya seorang guru, maka jadilah kelas ini seperti kebun binatang. Ada yang teriak heboh karena kalah bermain game, ada yang naik meja sambil memegang sapu menjadikannya mic —konser dadakan—, ada yang tidur tidak merasa terganggu sama sekali, ada juga yang asik touch up. "YA AMPUN DIEM DULU DONG!" Vanesha berteriak kesal melihat teman-temannya tidak bisa diatur. Padahal ia akan membagikan sesuatu yang penting, tapi anak kelasnya tidak ada yang peduli. "VERNAND! BERHENTI NGGA LU ANJING?!" Vernand berteriak kencang kala Vanesha datang dan langsung menarik kupingnya keras. Dan semakin histeris ketika suara 'you lose' terdengar cukup kencang. "AH ANJING! KALAH KAN!" Kesalnya, Vernand memalingkan wajah berusaha menghindari tatapan kakaknya yang semakin menajam. "Awas aja Lo!" Cowok itu melihat kakaknya menjauh dan menghembuskan napas lega, lalu kembali melihat Gilang yang sedang bernyanyi di atas sana. "Gila si Gilang, bohay juga die." Gumamnya penuh kekaguman. Gimana engga, p****t Gilang tuh cukup berisi, ditambah celananya yang kekecilan membuat belahan p****t cowok itu tercetak jelas. Banyak cewek yang iri sama pantatnya. "TARIK SEST!" Gilang teriak kencang lalu menyodorkan ujung sapunya ke bawah, berpura-pura menjadi artis. "SEMONGKO!" Dan kelas menjadi lebih heboh ketika musik mulai berganti. Beberapa siswi yang memang suka banget sama aplikasi joget yang lagi tenar segera memperlihatkan kemampuannya. Gilang, sang raja dangdut, bergerak mondar-mandir dengan asik di atas meja, matanya terpejam dan bibirnya terkatup rapat, berjalan dengan goyangan yang uwahhh. "Gila, benar-benar gila." Bianca mengalihkan pandangannya pada Franky. Cowok itu lagi memijat pangkal hidungnya lelah. Bianca kemudian terkekeh pelan, "anak asuhan Lo tuh." "Bukan lah gila, ngapain gua ngasuh, bapaknya aja ngga peduli." Franky menggeleng kencang, lalu menatap Rayhan yang masih asik menjelajahi dunia mimpinya. Liat lah cowok itu, bahkan suara bising pun tak mampu membangunkannya. Jangankan ini deh, mereka pernah nyoba mindahin cowok yang lagi tidur itu ke parkiran, tapi tetap ngga bangun juga. Alhasil besok pagi abis mereka ngga bisa lolos dari guru karena Reyhan ngambek. Dia tidur di sekolah sampai jam delapan malam. "Ini kapan pada diemnya sih ya ampun, gua cuman pengen bagiin ini doang." Franky berujar frustasi sambil menatap tumpukan kertas di meja guru. "ENGKI! JOIN SINI LAA!" "HEH? GILA LO? OTAK LO?!" Bukan Franky yang menjawab teriakan Gilang, melainkan Vanesha. Cewek itu sudah berdiri di depan sambil bertolak pinggang menatap Gilang sangar. "KI! AYOLAH!" Karena Franky hanya diam sambil menatap kerumunan itu datar, Gilang jadi berdecak, terlintas ide usil di benaknya. "I SAY ENGKI YOU SAY JELEK!" ENGKI?!" "JELEK!" "ENGKI?!" "JELEEEKKKK!" "Anak anjing." Bianca terbahak mendengar Franky mengumpat pelan. Franky memang anak pendiam yang tidak banyak tingkah, salah karena guru menaruhnya di kelas ini, jadilah ia ikut terkena virus IPA 1. "DIEM NGGA LO PADA?!" Vanesha menatap mereka jengah, berjalan menuju belakang meja guru, cewek itu kemudian mengambil penggaris panjang yang waktu itu membuat Bu Sonya jatuh. Brak... Brak... Satu kelas diam begitu suara penggaris dan meja beradu dengan sangat kencang. Mereka semakin menutup rapat mulutnya ketika Vanesha mengeluarkan tatapan mematikan. Cewek itu galak, sangat galak, itu sebabnya ia mendapat julukan ibu tiri di kelas. Tapi karena sikap galaknya juga ia bisa menjadi salah satu pawang pelindung IPA 1. "Nah gini dong anak setan. Sekarang gua bakal bagiin formulirnya, diem oke?" Bahkan ia tidak menyuruh anak-anak itu untuk duduk atau sebagainya. Gilang dan Leon yang memang paling berisik langsung duduk menghabiskan air minum yang sempat mereka diborong. "Lo dua ngapain diem aja? Bantuin gua cepet." Suruh Vanesha. Mendengar perintah cewek itu datar, Bianca dan Franky segera mengambil bagian dan ikut membagikan kertas-kertas itu. "Ini apaan?" Tanya Leon. Ia sibuk mengipas-ngipas lehernya dengan buku tanpa sampul. Tidak menerima kertas pemberian Vanesha. "Ntar juga tau." Vanesha meletakkan kertas itu sambil memukul meja kasar. Karena cowok ini suara indah Vanesha hampir habis. Setelah dirasa semua anak sudah menerima formulir, Vanesha, Bianca dan Franky kembali ke depan, dengan cewek galak itu sibuk menjelaskan. Tapi kalau Vanesha sih, bukan ngejelasin, marahin iya. "Jadi itu formulir dari sekolah, mau ada camping lima hari empat malam. Isi lengkap pakai huruf besar, besok kumpulin lagi ke gua atau Engki." Jelasnya dengan suara sedikit membentak-bentak dan mata menajam. "Ini sesuai grup Pramuka, Nes?" "Bebas. Bikin sendiri juga boleh. Tapi sampe sana kita dibagi kelompok sama guru." "Harus besok banget?" Disya, si cewek kalem berujar dari belakang. "Iya. Emang napa? Lo ngga bisa?" "Iya, ngga bisa kayanya. Bokap nyokap lagi di luar negeri." "Pake tanda tangan Tante atau siapa kek gitu, pokoknya sekelas harus ikut semua ya!" Vanesha menunjuk semua anak kelas dan menggerakkan tangannya ke kiri ke kanan. "Kalo ngga ikut, traktir seminggu kemana aja." Ancaman Vanesha sukses membuat IPA 1 kembali heboh mengeluarkan protesnya. Tidak terima akan ancaman tersebut. Apa-apaan, enak di Vanesha ini mah. "Udah ah ribet lo pada. Pokoknya besok kumpul, kalo ngga ikut tetep kumpulin." Setelah mengucap begitu Vanesha langsung duduk manis di tempatnya, asik bercanda ria dengan sang kekasih. "Ca Lo ikut ngga?" Tanya Franky. Mereka masih di depan, duduk di bangku guru berdua. Dempet-dempetan. Satu orang sebelah p****t doang yang duduk. "Ikut lah, jarang-jarang kan. Sekalian refreshing, penat banget otak gua belajar mulu." Jawab Bianca dengan nada lesu, ia kemudian menyandarkan kepalanya di bahu Franky. Cowok itu cukup kekar untuk anak alim yang hobi membaca dan selalu ikut olimpiade. Franky terkekeh pelan, tangannya digunakan untuk mengelus puncak kepala Bianca pelan. "Makanya jangan dipaksain, otak Lo tuh kecil." Bianca mendengus kesal, ia memukul perut Franky cukup keras, membuat cowok berwajah bulat itu kembali terkekeh, kali ini lebih kencang. "Otak Lo ngga cape apa, Ki, belajar mulu? Di sekolah selalu baca buku, rumah Lo juga gudang buku. Perpustakaan lebih gede dari ruang tamu. Ngga penat belajar?" Franky menggeleng dengan senyum manisnya. "Ngga lah, udah hobi. Gua malah ngerasa ngga lengkap kalo ngga baca buku atau ngga ngeliat tumpukan buku gitu. Rasanya ada yang kurang." Bianca kembali mendengus. Ia sibuk melihat isi formulir yang baru ia bagikan. "Lo ngga terpaksa kan? Kembali cowok itu menggeleng kepalanya pelan. "Engga ko, santai. Bonyok ngga suka maksa atau nuntut-nuntut begitu. Mereka mau gua sendiri yang milih jalan hidup gua, mereka ngga suka ikut campur aja." Bianca menganggukan kepalanya pelan. Ia meletakan formulir itu, matanya mulai terasa berat. Elusan Franky di kepalanya sangat lembut sampai membuatnya mengantuk. "Tidur aja, Ca. Ngga akan gua tinggal." Ucap cowok itu sangat tahu alasan Bianca masih berusaha terjaga. "Tidur, tidur." Suara halus Franky bagai lagu tidur baginya, membuat Bianca menyamankan posisinya dan ikut menyusul Reyhan ke alam mimpi. Franky tidak menghentikan usapannya, ia tersenyum simpul dan menyibukkan diri dengan ponsel. *** Nathan keluar dari UKS dengan wajah bantal. Terlihat sekali baru bangun tidur. Baru sampai depan pintu, cowok itu mengumpat kesal karena ngga jadi nguap. Padahal tinggal mangap, tapi seseorang keburu datang dan menggagalkan. "Nat, dicariin anak-anak tuh di lapangan." Ucapnya tanpa rasa bersalah. Bahkan tidak menyadari raut muka Nathan. "Ngapain? Bukannya latian masih nanti?" Darren, cowok yang nyamperin Nathan tadi menggeleng pelan. "Makanya baca grup. Jamnya dimajuin, jadi di sekolah juga. Cepetan deh, keburu bang Raka dateng." Ucapnya sebelum pergi dari hadapan Nathan. Bang Raka itu pelatih basket mereka. Sengaja dipanggil bang karena umurnya memang masih muda. Baru sembilan belas tahun, tapi sudah bisa menjadi pelatih dengan bayaran tinggi. Nathan mendecih pelan, ia baru saja bangun dan langsung disuruh latihan. Tidak mau membuang waktu lama, cowok itu melangkahkan kaki menuju lokernya, mengambil Jersey basketnya yang memang selalu disiapkan disitu dan pergi ke kamar mandi. Isi loker Nathan ngga banyak, ya samalah kaya isi loker cowok pada umumnya. Ngga ada buku apapun. Hanya Jersey basket, satu set pakaian bebas, sepatu lengkap dengan kotaknya dan dua topi dan satu kupluk berbeda warna. "Ah anjir, mager banget gua." Nathan keluar dari kamar mandi sambil membawa tasnya yang sengaja ia bawa masuk. Berjalan dengan malas menuju lapangan, Nathan mengernyit heran melihat ada Jonathan tengah melempar bola di lapangan. "Latihan?" Gumamnya entah pada siapa. Nathan meletakkan tas nya di tempat biasa dan langsung lari ke lapangan karena melihat bang Raka sedang berjalan ke arah sini. Latihan dimulai, semua berlatih dengan semangat, seakan tanpa rasa lelah mereka terus berlari mengejar bola berwarna oranye tersebut dan berusaha memasukkannya ke dalam ring. Beberapa kali bang Raka teriak kesal karena kecerobohan muridnya. "Yang bener! Jangan dorong-dorongan!" "Ayo ayo." "HEH RIZAL! BISA MAIN NGGA SIH KAMU?" "CEPAT CEPAT! Masukin!" Latihan selesai tepat setelah bola masuk ke dalam salah satu ring, membuat satu kubu bersorak gembira dan satu kubu lagi mengeluh lemas. Nathan berlari menuju tempat dimana tasnya berada. Mengambil botol minumnya dan meminumnya hingga hampir habis. Cowok yang sedang mengatur napasnya itu tersentak kaget saat Jonathan duduk di sebelahnya. Ikut melakukan hal yang sama dengan yang Nathan lakukan. "Sekelas sama Bianca kan? Keliatannya deket banget ya kalian." Nathan mengerjab kaget, kemudian berdehem pelan dan mendatarkan wajahnya. "Hm, kita emang deket." Jonathan mengangguk paham. Ia memang memiliki pribadi yang tenang dan terkesan cuek. Tidak suka cari masalah. Tapi kalau sedang kalut, ya namanya cowok, bawaannya emosi, pengen nonjok orang. Tak lama seorang perempuan datang, memberi minuman dingin pada Jonathan. Padahal cowok itu udah minum tadi, tapi dia tetap nerima dan meneguk habis air dingin tersebut. Cewek itu lalu tersenyum dan mengelap keringat Jonathan dengan handuk kecil. Membuat Nathan tersentak kaget melihat semua itu. Sadar tengah diperhatikan, gadis tersebut menoleh, dan membulatkan matanya kaget. "Lho? Kak... Kak Nathan kan? Temennya kak Bianca?" Tanyanya sambil mengingat-ingat nama cowok ini. Nathan menaikan satu alisnya bingung. "Lo tau nama gua? Perasaan tadi..—" belum sempat menyelesaikan kalimatnya, gadis tersebut terlanjur memotongnya dan berucap panik. "Eh, itu... Tadi kak Bianca cerita, terus ngasih tau nama kakak." Nathan mengangguk pelan. Walau ragu, ia tetap berusaha percaya. Kalaupun gadis ini berbohong ya untuk apa marah? Semua warga Starlight High School tau dan kenal dengan sosoknya. Jadi wajar aja kalau dia juga tau. "Kak Jo udah mau pulang?" Nathan mengalihkan pandangannya begitu mendengar suara gadis itu yang terkesan dilembut-lembutkan, menatap dua orang itu bingung. Jonathan mengangguk pelan, terlihat malas meladeni namun tetap tersenyum menanggapinya. "Iya, kenapa?" Sumpah, Nathan ngga pernah dengar nada selembut itu keluar dari mulut Jonathan. Cowok itu selalu bicara dingin dan kasar. "Bareng yaa?" Ucap gadis itu sambil mengacak-acak rambut Jonathan dengan handuk. "Oke? Okeee?" Sedikit memaksa, tapi gadis itu terus berusaha bersikap manis di depan Jonathan. Membuat Nathan semakin tidak mengerti. "Iya, jangan diberantakin, Ren." Kesal Jonathan. Tangannya menarik paksa tangan gadis itu, kemudian menyisir rambutnya ke belakang. Violett tersenyum senang begitu mendengar Jonathan memanggilnya dengan sebutan Irene, nama yang hanya orang terdekatnya yang boleh menggunakan nama tersebut untuk memanggilnya. "Janji yaa? Jangan kabur." Violett melengkungkan bibirnya ke bawah sambil melipat tangan di d**a. Namun beberapa detik kemudian ia kembali tersenyum, "aku tungguin di parkiran." Ucapnya girang. Jonathan menghela napas, mengangguk pelan dan menatap gadis itu sambil tersenyum tipis. "Iya, udah sana, pake jaketnya, jangan sampe kedinginan." Katanya sambil mengusap kepala Violett. Violett yang diperlakukan seperti itu sontak tertawa kecil, ia mengangguk semangat dan hendak berlari menjauh. Namun berbalik lagi dan memeluk Jonathan erat, membuat cowok itu mau tidak mau membalasnya. Lalu berlalu meninggalkan. Semua itu tak lepas dari pengelihatan Nathan. Bagaimana cewek itu bersikap sok manis dan sok lugu. Bagaimana Jonathan menerima semua perlakuan gadis itu dan membalasnya dengan baik. Nathan dibuat tercengang dengan interaksi dua orang itu. Jonathan mengalihkan perhatiannya, menatap Nathan yang juga sedang menatapnya kaget. "Kenapa Lo?" Jonathan bertanya karena Nathan melotot sampai matanya hampir keluar. Melihat itu, Jonathan beranggapan bahwa Nathan adalah tipikal cowok yang humoris. Pantas bisa dekat dengan Bianca, gadis itu receh. "Lo?" Nathan menunjuk Jonathan dengan jarinya, membuat cowok itu mengernyit tak suka. Segera Nathan menurunkan tangannya dan mengontrol suaranya. "Itu siapa?" Jonathan kembali dibuat heran. Namun ia menatap ke tempat dimana Violett pergi tadi. "Itu Violett, adeknya Christian." Jawab Jonathan kelewat santai, tidak tahu bahwa Nathan hampir tersedak ludahnya sendiri. "Adeknya Christian? Ko gua ngga pernah liat?" Walau sempat adu jotos, Nathan dan Jonathan sebenarnya cukup sering berinteraksi, mengingat jabatan mereka di club basket yang mengharuskan mereka berinteraksi lebih. "Dia sempet izin empat setengah bulanan. Berobat ke luar negeri, wajar banyak yang ngga kenal." Nathan mengangguk paham, ia kemudian menatap Jonathan tajam. "Lo ada apa sama dia? Keliatannya deket banget? Sampe peluk-pelukan segala?" Jonathan menatap cowok itu heran. Bingung kenapa Nathan tiba-tiba bersikap seperti ini. "Ya wajar, gua emang deket sama dia. Dari kecil gua yang ngurusin." "Sedeket itu? Kalian hampir ciuman lho tadi?" Tanya Nathan tak habis pikir. Jonathan semakin dibuat heran, tapi kemudian melunakan wajahnya seakan baru menemukan sesuatu. "Kenapa? Lo suka sama dia?" Nathan tergelak, ia segera menggeleng tidak membenarkan tuduhan Jonathan. Menghela napas lelah, Nathan menyandarkan pundaknya di tembok dan menatap lapangan yang sudah sepi. "Gua ngga suka sama dia. Tapi gua ngga suka Lo deket sama itu cewek." Jawabnya to the point. "Kenapa ngga? Gua biasa pelukan sama dia, dulu kecil gua yang mandiin dia." Jawabnya masih dengan intonasi yang tenang. Jonathan juga ikut menatap lapangan dalam diam. "Jauhin dia kalo Lo mau deketin Bianca." Nathan sedikit memutar badannya menghadap Jonathan, menatap cowok itu dalam. "Lo ngga bisa deketin Bianca kalo masih begitu sama adeknya Christian." Jonathan ikut menatap Nathan dalam-dalam. Mencari alasan kenapa cowok itu bisa berucap demikian. "Kenapa sih? Udah gua bilang, gua sama dia emang sedeket itu. Dia udah gua anggep adek sendiri." "Lo nganggep dia adik, tapi emang dia nganggep Lo abang? Lo ngga liat Jo? Cara dia ngeliat Lo tuh kaya mengharapkan lebih." "Perasaan Lo doang kali. Dia emang natep gua begitu dari kecil." "Itu dulu Jo." Nathan menghembuskan napasnya kasar. "Sekarang jawab. Lo ngapain ngedektin Bianca?" Mendengar pembicaraan mulai serius, Jonathan menegakkan badannya dan menatap lawan bicaranya tajam. "Perlu Lo tau? Itu urusan gua." "Perlu, Bianca sahabat gua, adik gua. Gua ngga bisa diem aja ngeliat Lo berperilaku begitu ke cewek lain sedangkan Lo masih ngedeketin Bianca." "Kenapa emang? Salah?" "Salah lah bego." Geram Nathan. Tak lama senyum miringnya terlihat jelas. Seharunya ia sudah bisa menebak ini dari awal. "Lo tuh emang cowok b******k ya. Deketin temen gua yang polos banget kaya Bianca dan asik main-main sama cewek lain. "Jadi begini cara main Lo? Wahh, hebat banget. Harusnya dari awal gua ngga ijinin Lo deketan sama Bianca." "Apaan sih? Main-main apa? Lo ngomong gini seakan-akan gua lagi selingkuh dari Bianca. Gua bahkan ngga ada hubungan sama temen Lo itu." Nathan menarik kerah Jersey cowok itu kasar, tak habis pikir dengan ucapannya. "Lo!" Hampir saja ia kehilangan akan dan memukul Jonathan. "Ngga usah deketin Bianca lagi kalo cuman jadiin dia pelampiasan." "Pelampiasan apa maksud Lo? Gua ngga sebejat itu ya sialan!" Terpancing emosi, Jonathan menatap Nathan tajam, berusaha menahan diri agar tidak menonjok cowok itu sekarang juga. "Ngga sebejat itu? Lo jadiin Bianca pelampiasan disaat Violett ngga ada disini. Iya kan? Atau Lo mau mainin Bianca doang?" Nathan menghembuskan napas kasar. Ia tidak mengerti pertengkaran mereka sekarang. Jonathan dan dirinya sama-sama tipikal yang tenang dan lebih suka menyelesaikan masalah dengan mulut dari pada otot. Dan sekarang masalah itu justru merambat kemana-mana. Membuang botol minumnya yang sudah kosong ke sembarang arah, Nathan berdiri mengambil tas hitamnya ingin pulang. Ia menatap tajam Jonathan sebelum pergi meninggalkan cowok itu. "Jauhin Bianca."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN