Gadis yang Diculik

1816 Kata
Teriakan Pak Pramudya membuat Julio berlari ke sumber suara. Kakinya begitu cepat, berlari dengan jangkauan yang lebar. Bahkan saat menaiki tangga, ia menapaki dua atau tiga anak tangga dalam sekali jangkauan. “Obatnya dimasukin lewat apa, Om? Diminum? Disuntik?” cecar Julio begitu ia masuk ke dalam kamar Julie. “Di-disuntik,” jawab Pak Pramudya dengan sedikit gagap. “Di infusnya,” lanjut pria itu sambil menunjuk infusan Julie. Julio langsung mengalihkan tatapan matanya pada benda yang tergantung itu, lalu turun hingga ke bagian selang yang terpasang di punggung tangan Julie. Segera ia tarik bagian connector yang menghubungkan antara selang infusan dan bagian needle—jarum—yang tertancap di pembuluh vena. Aliran cairan infus terhenti saat itu juga. “Om, tolong pegangi Julie. Saya akan menghubungi dokter untuknya.” Julio enggan mempercayai dokter yang sama lagi. Entah dokter Intan berkomplot dengan perawat tadi atau tidak, Julio pastikan hanya dokter kepercayaannya yang akan mengurusi Julie. “Wir, tolong jemput dokter Martin dan bawa ke rumah Julie, sekarang! Penting banget, gak pake lama. Julie kejang-kejang, habis disuntik entah racun atau apa itu oleh orang suruhan Jonathan.” Julio memutus sambungan teleponnya setelah memastikan jika Warren mengiyakan perintahnya. Pria itu kembali memegangi Julie, terutama bagian tangannya yang mengucurkan darah karena bagian needle infus tersebut tetap berada dalam pembuluh venanya. Julio menarik pelan needle tersebut lalu menghentikan darah dengan menekannya. **** Jonathan berdiri di depan para penjaga rumah penyekapannya. Matanya begitu tajam, terarah secara bergantian pada belasan pria itu. Satu persatu ia buat menunduk, dan begitu kepalan tangannya terayun satu persatu ke wajah pria itu. Semuanya tersungkur. “Dasar bodoh!” umpatnya. “Kalian tidak kuberi makan dan kugaji mahal-mahal untuk meributkan kebakaran kecil yang terjadi di pagar rumah sebelah. Bahkan jika kebarakan itu membesar, kalian tidak diperbolehkan meninggalkan tempat kalian berdiri tanpa perintah!” Jonathan menodongkan tangannya, menunjuk pria-pria bodoh yang telah membuat Julie dibawa pergi oleh Julio. Kakinya terayun sesaat sebelum satu persatu penjaga itu ia hadiahkan tendangan di perutnya. Ada yang terbatuk, ada yang meringis kesakitan, dan ada juga yang memohon maaf. “Satu orang bahkan sampai mati, sementara yang satunya masuk rumah sakit, oleh seorang anak kecil seperti Julio?” Jonathan tertawa. “Apa gunanya badan besar kalian? Percuma badan kalian besar kalau otak tidak punya. Anak itu mengalahkan kalian dengan api kecil, dasar bodoh!” Jonathan makin murka setelah Julie berhasil dibawa kabur oleh Julio. Tanpa Julio ikut campur akan urusannya dengan Julie saja ia sudah sangat membencinya, apalagi ditambah dengan Julio yang membawa pergi Julie dari rumah penyekapannya. Ia tak akan membiarkan anak nakal itu menang atas dirinya. Perseteruannya dengan Julio akan semakin memanas. Bukan hanya soal masalah lama, tapi juga tentang Julie, dan harga dirinya. Satu rencananya gagal bukan berarti ia akan menyerah. Ia belum selesai membuat Julie membayar atas penghinaan yang gadis itu lontarkan padanya. Tidak, hingga ia benar-benar puas. Sekadar menghajar Julie hingga babak belur wajah cantik itu belum sepadan menurutnya. Hari ini, ia mengirim seseorang setelah menyuruh orang-orang suruhannya untuk mengamati rumah orang tua Julie. Gadis itu tak dibawa ke rumah sakit, makanya Jonathan mengirim masuk orang suruhannya untuk memberikan kejutan kecil untuk Julie dan keluarganya. Memberikan peringatan bahwa ia belum selesai dengan masalah ini. Pintu mobil milik Jonathan terketuk dari luar. Mobil pria itu terparkir tak jauh dari kediaman orang tua Julie—sekitar 30 meter, tapi masih di area perumahan yang sama. Gadis muda berpakaian perawat itu dipersilakan masuk dan duduk tepat di samping Jonathan. “Saya sudah menyuntikkan cairan yang Pak Jonathan berikan.” “Bagus.” Jonathan mengeluarkan sebuah amplop tebal lalu memberikannya pada gadis itu. “Ini bayaranmu, pergilah.” “Terima kasih, Pak. Jangan ragu untuk menghubungi saya untuk tugas-tugas berikutnya.” Gadis itu keluar dan meninggalkan mobil Jonathan. Sementara pria itu masih tetap di tempat yang sama. Menunggu hal berikutnya terjadi sebelum ia menjalankan misi lanjutan. Kalau rencananya kali ini berhasil, harusnya Julie dalam keadaan kritis dan orang tuanya tak punya pilihan lain selain membawa Julie ke rumah sakit. Saat itulah ia akan menculik Julie lagi, entah dalam perjalanan ke rumah sakit atau saat berada di rumah sakit. Dan tebakan Jonathan benar saja, kurang sejam ia menunggu dan sirene ambulance sudah terdengar mendekat. Senyum puas tercetak jelas di wajah pria itu. Terlebih saat ambulance itu melewati mobilnya lalu memasuki gerbang rumah orang tua Julie. Pria itu mendengkus pelan. “Saatnya kau kembali padaku, Nona Julie Adriyana Hermawan. Kau harus kembali, kau masih berhutang atas mulutmu yang tak tahu diri itu.” Kurang lima menit kemudian, sirene ambulance kembali terdengar berdengung dengan lantangnya lalu keluar dari gerbang rumah Pak Pramudya. “Ke rumah penyekapan yang baru,” perintah Jonathan pada sopirnya. “Kau,” tunjuk Jonathan pada Wira, asistennya. “Pastikan sendiri dengan mata kepalamu kalau gadis itu dibawa kembali ke rumah penyekapan. Aku akan menantikan kedatangan Nona Julie Adriyana Hermawan di sana.” “Baik, Pak,” jawab Wira lalu turun dari mobil Jonathan. Meninggalkan Jonathan untuk pergi ke rumah penyekapan dengan diantar oleh sopir. Wira menuju mobilnya, kemudian ia mengikuti ambulance yang sudah membawa Julie beberapa saat yang lalu. Ia kemudikan mobilnya dengan cepat agar tak ketinggalan arah. Entah rumah sakit mana pun yang dituju oleh keluarga Julie, akan ia pastikan untuk menculik Julie lagi. Sambil mengemudi ia juga sambil berkoordinasi dengan orang-orang suruhannya. Beberapa akan bertugas sebagai dokter dan perawat palsu, bahkan sudah lengkap dengan kostum mereka masing-masing. Sementara yang lain sudah menyiapkan mobil untuk mengangkut Julie pergi. Di belakang mobil yang dikemudikan Wira bahkan sudah ada beberapa mobil lain yang bersiap untuk tugas masing-masing. Sebenarnya Wira memikirkan dua cara, menculik Julie di jalanan atau menculiknya di rumah sakit. Namun, jika menculik di jalanan akan cukup beresiko apalagi ini masih siang. Banyak kendaraan berlalu lalang yang akan menyebabkan lebih banyak saksi yang melihat mereka. Makanya ia pilih untuk menjalankan aksinya di rumah sakit. Begitu ambulancenya sampai di rumah sakit, Wira akan menyuap beberapa orang di tempat itu agar memudahkan rencananya. Ah, siapa yang tak suka uang apalagi kalau jumlahnya banyak. Memang, uang selalu menjadi solusinya. Ambulance sampai di rumah sakit tujuan. Langsung terhenti di depan IGD. Pasien langsung dibawa masuk untuk segera ditangani. Dan saat itulah Wira dan seluruh timnya bekerja. Masing-masing langsung bergerak sesuai posisi yang sudah ditentukan. Dokter dan perawat palsu masuk, bersiaga kalau tiba masa mereka untuk bertugas. Dan untuk memudahkan itu, Wira membawa uang dengan nominal ratusan juta di dalam briefcase berwarna hitam. Wira mengetuk ruangan salah seorang dokter di rumah sakit tersebut. Di papan nama yang tergantung di bagian atas pintunya tertulis nama dr. Arjun. Pintu dibuka dan Wira segera menyalami sang pemilik ruangan. “Sangat menyenangkan memiliki seorang teman yang bekerja di rumah sakit ini.” Entah kebetulan atau keberuntungan, salah satu kenalannya bekerja di rumah sakit di mana Julie dibawa. Ah, betul-betul menyenangkan. Akan lebih mudah baginya. “Silakan masuk,” sapa dokter Arjun dengan ramah sambil menyilakan Wira untuk duduk. “Kau ke sini tanpa mengabari, apa yang bisa kubantu?” “Ini salah satu hal yang sangat kusukai tentangmu, kau sangat cepat. Tak suka basa-basi.” “Jadi, apa itu?” “Ada seorang pasien yang dibawa ke IGD.” “Dan?” tanya dokter Arjun. “Dan bosku menginginkannya.” “Menginginkannya?” ulang dokter Arjun, memastikan niat Wira. “Aku ingin membawanya pergi, tapi tanpa dicurigai dan ketahuan oleh keluarganya. Juga tanpa meninggalkan jejak.” “Ah ….” Dokter Arjun mengangguk pelan, tampaknya sudah paham dengan maksud Wira. “Kawan, kau tau kan hal yang kusukai?” Dokter Arjun bertanya balik. “Tenanglah, aku membawa banyak hal kesukaanmu.” Wira menepuk pundak teman lamanya itu lalu membuka briefcase yang ia bawa. Memamerkan isinya yang berwarna merah muda, berlembar-lembar, atau lebih tepatnya bergepok-gepok jumlahnya. “Baiklah, beri aku waktu dan akan kuurus pasien itu.” “Kau tau, bosku tidak suka menunggu lama.” Dokter Arjun berdiri dari duduknya seraya tersenyum. “Seperti yang kau katakan tadi, aku sangat cepat, bukan?” Di masa lalu, dokter Arjun beberapa kali melakukan hal yang bertentangan dengan sumpah dokternya. Iya, di masa lalu dan hari ini akan ia lakukan lagi. Memangnya kenapa ia harus berhenti jika bayarannya sampai ratusan juta? Toh, ia hanya perlu mengatur bawahan-bawahannya, dan sedikit mengakali CCTV. Dokter Arjun mendatangi IGD dan mengecek pasien yang barusan dibawa ke tempat itu. Saat ini tengah ditangani oleh dokter yang berjaga. Dokter berusia 35 tahun itu menyingkap tirai pembatas antar ranjang di ruang IGD, melihat ke arah pasien yang tengah diobati. “Pasien ini, tolong pastikan memberikan perawatan terbaik. Keluarganya baru saja menitipkannya padaku. Kata keluarganya tolong melakukan pemeriksaan menyeluruh agar penyakitnya bisa ditangani dengan segera.” “Baik, dok,” jawab tenaga medis yang bertugas dengan serempak. “Setelah ini, bawa dia untuk pemeriksaan CT Scan.” “Sampai CT Scan, dok?” “Iya. Tidak usah banyak bertanya. Ikuti saja kemauan keluarganya. Toh, mereka akan membayar juga.” “Baik, dok.” Selesai memberi perintah agar pasien yang diincar oleh Wira dibawa ke ruang CT Scan, dokter Arjun beralih ke ruang CCTV. Setelah menyelesaikan tugasnya ia kembali ke ruangannya di mana Wira menunggu. “Aku sudah mengerjakan tugasku, pasien incaranmu sudah dibawa ke ruang CT Scan. CCTV sudah kumatikan, sekarang ambillah dia.” Dokter Arjun berucap dengan enteng, tanpa ada beban bahwa ia lagi-lagi mengabaikan sumpahnya sebagai seorang dokter. “Berarti itu milikku?” “Ambillah, dan akan kuambil pasien itu,” balas Wira lalu keluar dari ruangan dokter Arjun. Wira segera menelepon dokter dan perawat palsu suruhannya menuju ruang CT Scan. Beberapa penjaga juga ia kerahkan ke tempat yang sama untuk mengamankan lokasi. Sambil menunggu orang-orang suruhannya bekerja, Wira kembali ke mobilnya. Tepat di sebelah mobilnya, sebuah mobil box terparkir. Mobil yang akan dipakai untuk membawa Julie. “Kita ke parkiran samping sana.” Wira memberi perintah kepada sopir mobil box itu. Ia telah diarahkan oleh dokter Arjun untuk membawa mobilnya ke parkiran samping agar lebih mudah untuk langsung membawa Julie ketika dikeluarkan dari ruang CT Scan. Parkiran samping juga cukup sepi karena hanya digunakan oleh mobil-mobil angkutan barang-barang untuk keperluan medis atau obat-obatan. Mobil bergerak, ke arah yang dituju. Di sana mereka menunggu. Lima menit kemudian, brankar terdorong mendekat. Wajah pasiennya ditutupi seolah telah meninggal dunia. “Cepat!” perintah Wira seraya ia turun dari mobilnya. Perintah pria itu tersambung ke masing-masing earpiece yang telah terpasang di telinga semua anggota tim. Pendorong brankar—dokter dan perawat palsu—mendorong lebih cepat sesuai arahan. Penjaga segera menghampiri mobil box, lalu membuka box belakang agar Julie bisa dimasukkan. Sopir mobil box juga sudah bersiaga, begitu Julie dimasukkan, ia akan langsung tancap gas menuju rumah penyekapan. Wira juga sudah ikut menunggu di belakang mobil box bersama beberapa penjaga. “Cepat, bantu mereka mendorong lebih cepat!” “Baik, Pak.” Pasien di atas brankar akhirnya tiba di belakang mobil box. Hanya tinggal memasukkannya saja. Wira menyingkap kain yang menutupi wajah gadis itu. “SIALAN! SIAPA YANG KALIAN BAWA INI?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN