Yang Muda atau Tua?

1744 Kata
“Ma, tolongin Julie.” Pada akhirnya, mau tak mau, ia akan kembali lagi pada keluarganya untuk meminta pertolongan. Setelah Julie menenangkan diri untuk sesaat, ia putuskan pulang ke rumahnya. “Apa masalahnya kali ini, Jul? Masih tentang Pak Harisman itu?” “Bukannya kamu bilang mau bunuh diri, Jul?” ledek Pak Pramudya saat Julie bergelut manja di lengan Bu Margaretha. “Mungkin emang lebih baik Julie mati, Pa, Ma. Sekarang Julie takut banget. Pa, Ma, masa Om Jonathan itu sampe pindah ke tempat kosnya Julie. Tadi malam dia datang bawa koper.” “Pak Jonathan sampai ngikutin kamu, Jul? Secinta itu dia sama kamu?” Bu Margaretha bertanya dengan antusias. “Sepertinya dia sangat tergila-gila sama kamu, Jul. Sampai-sampai memilih pindah ke tempat kos-kosan yang harga per kamarnya tak seberapa. Padahal dia punya rumah mewah dan ribuan kamar kos juga.” “Ma, ini bukan perkara dia cinta atau gak sama Julie. Tapi, itu orang menakutkan banget. Masa dia sampe ngikutin Julie. Ngejar-ngejar buat ngasih cincin.” Julie memegang kepalanya, ia pejamkan mata untuk beberapa saat. “Dan bodohnya Julie, ah ….” Ia mendesah panjang dengan amat frustasi. “Kenapa?” tanya Pak Pramudya. “Kamu ngapain?” Pria itu langsung curiga jika Julie pasti habis membuat masalah. “Julie ngatain orang itu, Pa,” lirih gadis itu. Mmenunjukkan bahwa ia benar-benar menakutkan akibat dari ucapannya yang seenaknya pada Jonathan. “Ngatain?” ulang Pak Pramudya dan Bu Margaretha berbarengan. “Iya, dan kayaknya orang itu marah.” Julie menundukkan kepala. Suaranya pun masih terdengar lirih. “Bukan kayaknya lagi, tapi orang itu beneran marah.” “Kamu ngatain apa emangnya?” “Julie ngatain kalo Om Jonathan itu udah tua. Tapi, kan emang dia beneran udah tua.” “Dia bilang apa?” selidik Pak Pramudya. “Emm … Julie disuruh nikah sama ee—” “Sama siapa?” potong Pak Pramudya dengan cepat. Tahu jika sebenarnya Julie belum bercerita dengan lengkap. Ia tahu jika putri bungsunya itu masih merahasiakan beberapa hal dari keseluruhan cerita ini. “Ngomong yang bener, Jul. Kamu jangan bikin masalah terus nutup-nutupin dari Papa. Kalo ada apa-apa, ujung-ujungnya pasti Papa juga yang harus tanggung jawab masalah kamu.” Julie menjambak rambutnya. “Julie ngatain Om Jonathan buat ngaca. Soalnya Julie masih muda terus gak cocok sama Om Jonathan yang udah ubanan dan tua. Julie ngomong kalo dibandingkan nikah sama Om-Om tua, lebih baik Julie nikah sama cowok miskin asal masih muda.” “CK! Anak ini,” geram Pak Pramudya. “Jul, astaga … anak gadis kok ngomongnya gitu banget. Nanti kualat kamu itu.” Bu Margaretha meringis. Ia menggelengkan kepala, tak tahu lagi mau berkata apa. Anak gadisnya ini memang bicaranya sudah kelewatan. “Julie gak maksud, Ma, Pa. Sekarang Julie takut … apalagi, ah ….” “Apalagi apa? Kenapa? Ngomong jangan dipotong-potong, Jul.” “Om Jonathan nantangin Julie, katanya kalo Julie gak mau nikah sama dia, ya Julie nikahnya sama penghuni kos-kosan Julie, yang masih muda tapi miskin. Yang bayar kos-kosan aja masih nunggak.” “Argh ….” Pak Pramudya ikut menjambak rambut. “Anak ini bener-bener yah.” “Julie tuh gak maksud, Pa. Julie tuh kesel diikutin terus. Mana Om Jonathan ngumumin di depan anak-anak kosan kalo dia mau ngasih cincin. Makanya seisi kosan tau kalo Julie bakalan dinikahin orang tua itu.” “Tua … tua … tua …. Itu mulutmu, Jul.” Bu Margaretha mengingatkan. “Ya Tuhan, anakku satu ini kok kalo ngomong gak pernah dipikirin dulu.” “Julie juga nyesel, Ma. Ini mulut gak pernah bisa diajak kompromi.” Pak Pramudya menghempaskan tubuhnya di sofa. Putri bungsunya ini sekali lagi bikin masalah. Kalau dulu-dulu Julie bikin masalah dan bisa diselesaikan dengan uang, kali ini uang Pak Pramudya tak akan cukup untuk mengatasi masalah ini. Orang yang mau diberikan uang memiliki warisan dengan nilai trilyunan, mau Pak Pramudya beri beberapa gepok uang agar masalah ini tak berlanjut. Bikin malu saja. Uang Pak Pramudya tak seberapa dibandingkan dengan milik Jonathan. Ini bukan lagi soal uang, lebih ke harga diri Jonathan yang sudah diinjak-injak oleh Julie. “Minta maaf, Jul. Kamu harus minta maaf sama Pak Jonathan.” Bu Margaretha memberi saran. “Julie takut, Ma. Julie takut ketemu sama Om Jonathan. Pokoknya Julie gak berani.” “Kamu harus berani, kamu yang bikin masalah, artinya kamu harus bertanggung jawab. “Pa, bantuin Julie, please ….” Julie memohon, dengan kedua tangan terkatup di depan wajah. Berlutut di depan Pak Pramudya agar pria itu menuntaskan masalah yang ia buat kali ini. “Kamu harus minta maaf, temui Pak Jonathan dan minta maaf.” “Tapi, temenin Julie, Pa. Julie takut kalau disuruh nemuin Om Jonathan sendiri.” “Papa juga takut, Jul,” ujar Pak Pramudya dengan lesu. “Apalagi dengan kenyataan kamu udah ngatain Pak Jonathan sampai segitunya. Papa rasanya mau ngilang, gak berani nemuin Pak Jonathan.” “Kalo gitu, kita ngilang sama-sama aja, Pa.” “Hush! Ngomong ngawur lagi!” Bu Margaretha langsung mengomeli, membuat Julie menutup mulutnya. “Papa sih, kenapa Papa jodohin Julie sama orang setua itu?” “Kamu kenapa minta suami yang tua waktu itu?” balas Pak Pramudya. “Kan Papa tau kalo Julie suka ngomong ngasal. Lagian Julie gak tau kalo bakalan menang lawan Kak Sophie dan Kak Nughie.” Pak Pramudya mendesah panjang. Saat ia mengatakan akan menghadiahkan seorang suami kaya untuk Julie sebenarnya ia belum benar-benar sampai di tahap menyepakati perjodohan ini dengan Jonathan. Menggeluti bidang pekerjaan yang sama membuat Pak Pramudya dan Jonathan beberapa kali bertemu. Dan di salah satu pertemuannya itu, Jonathan mengatakan bahwa ia sedang mencari seorang gadis muda. Pak Pramudya awalnya hanya menanggapi dengan mengatakan bahwa ia punya dua orang anak gadis. Murni bercanda, karena waktu itu Jonathan juga tampak tak begitu serius membicarakan hal ini. Sayangnya Julie bertindak terlalu cepat, mendului rencana Pak Pramudya. Ia sudah sibuk mengumpulkan informasi tentang pria bernama belakang Harisman. Mengikuti pria itu setengah hari hingga akhirnya ia ketahuan. Iya, ini karena gegabahnya Julie. Selebihnya mungkin karena takdir. **** Jonathan sedang menunggu makan siangnya disajikan, ia mengetuk-ngetukkan jari telunjuk dan jari tengahnya di meja. Pertanda jika pria itu tengah berpikir. Makin cepat ketukan jarinya, makin cepat perputaran jalan pikirannya. Pria itu memiliki banyak hal untuk dipikirkan. Kelangsungan bisnisnya, warisan bernilai trilyunan dari mendiang ayahnya yang meninggal satu bulan yang lalu, dan isi surat wasiatnya yang membuat ia merasa terancam. “Bagaimana gadis itu?” Bersamaan dengan ketukan jarinya yang terhenti, Jonathan terdengar bertanya. “Gadis yang mana, Pak?” tanya pria berusia 35 tahun yang merupakan asisten Jonathan—Wira nama pria itu. “Nona Julie?” “Bukan, yang pergi ke luar negeri.” “Oh … dia sudah sampai di Amsterdam, Pak. Sekarang dia sedang mengurus dokumen-dokumen untuk perkuliahannya, Pak.” “Janinnya, singkirkan janin itu.” Jonathan memerintah, tanpa peduli akan kelangsungan hidup si janin. “Jika bayi itu lahir, dia akan jadi masalah besar di masa depan.” “Disingkirkan?” “Apa saya perlu mengulang perintah saya?” “Tidak, Pak. Saya akan mengutus seseorang untuk mengurus hal ini.” “Pastikan janin itu sudah disingkirkan sebelum anak itu mengetahui tentang hal ini.” “Baik, Pak.” Setelah menyuruh orang kepercayaannya untuk melenyapkan keberadaan seorang janin, Jonathan makan dengan lahap. Seolah tak punya rasa bersalah atau rasa sesal sedikit pun. Justru wajahnya tampak baik-baik saja. Mengerikan, yah … pria itu seorang yang berbahaya. Dan pria berbahaya itulah yang membuat Julie ketakutan setengah mati. Ponsel Jonathan bergetar sesaat, dari layar preview ponselnya tampak sederet nomor tak dikenali. Di baris awalnya mengatakan identitas sang pengirim. Om, Ini Julie. Saya ingin meminta maaf sudah berkata kasar pada Om Jonathan yang terhormat. Saya tidak bermaksud mengatai Om. Mohon memaafkan Julie, Om. Jonathan tersenyum puas. Gadis satu ini sebenarnya bukan bagian dari rencananya. Ia tak punya niat menikahin seorang gadis bodoh yang hanya lulusan S1. Yang lulusnya pun bukan lulusan cumlaude apalagi lulusan terbaik. Hanya sekadar lulus, itu pun sudah sangat untung bisa lulus. Yah, Jonathan sudah mencari tahu tentang Julie, termasuk tentang drama perkuliahan gadis itu, yang selalu membuat uang Pak Pramudya melayang agar nilainya tuntas. Pria itu meletakkan sendok, ia raih ponselnya. Menelepon ke nomor milik Julie, tak beberapa lama hingga ia dengar suara gemetaran gadis itu di sambungan telepon. “Sudah makan siang?” “Be-belum, Om.” “Bersiaplah, seseorang akan menjemputmu untuk makan siang. Saya menunggumu untuk mendengar permintaan maaf secara langsung.” Setengah jam yang Jonathan habiskan untuk menunggu. Tetap duduk di tempat yang sama, dengan meja masih penuh makanan, menunggui hingga Julie duduk di depannya. “Silakan makan, Nona Julie Adriyana Hermawan. Ah … maksud saya, Nona Julie Adriyana Harisman.” Jonathan merivisi nama belakang Julie, seenaknya langsung mengganti nama keluarga Julie dengan nama keluarganya. Dalam hati Julie memberontak. Tak sudi namanya diganti seenak jidat. Tapi, ia sudah diwanti-wanti oleh Pak Pramudya dan Bu Margaretha sebelum datang, agar ia berkelakukan baik, agar ia tak membuat masalah lain. Makanya ia tahan-tahan dirinya agar tak menyanggahi ucapan Jonathan. “Om, Julie mau minta maaf.” “Baiklah, permintaan maaf diterima.” “Semudah itu?” “Saya pria yang pemaaf, Julie.” “Om gak dendam sama Julie, ‘kan?” “Tidak.” “Om beneran maafin Julie, ‘kan?” “Iya.” Julie bernapas lega. Keputusannya untuk mengirim pesan permintaan maaf ternyata adalah hal paling benar. Untunglah ia mendapat nomor ponsel Jonathan dari Babe Ahmad sewaktu pria itu mengisi identitasnya saat menyewa kamar kos kemarin. “Jadi, terimalah ini … seperti saya menerima permintaan maafmu.” Jonathan meletakkan kotak cincin yang telah ia buka penutupnya itu. Meletakkannya di antara piring-piring berisi makan siang. “Katanya Om menerima permintaan maaf Julie, kok masih ngasih cincin ini?” “Memangnya kapan saya mengatakan kalau pernikahan kita tidak akan terjadi?” “Loh?” “Kecuali jika kamu menikahi salah satu penghuni kosmu yang miskin itu. Saya akan mundur dengan lapang d**a,” ujarnya dengan senyum. Julie pikir ketika ia meminta maaf, dan ketika permintaan maafnya diterima, maka pria itu tak akan lagi mengejar untuk menikahinya. Bukannya masih menyodorkan cincin. “Tapi, Julie gak mau nikah sama Om,” ujar Julie sambil menunduk, suaranya terdengar lesu. “Kalau begitu, menikahlah dengan salah satu pria di kos-kosanmu. Yang masih MUDA itu.” Jonathan sengaja menekankan pada kata ‘muda’. Sengaja mengolok-olok gadis itu. Yang walaupun datang padanya untuk meminta maaf, tapi Julie tetap menolaknya hanya karena ia sudah tua.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN