Dibawa ke Rumah Sakit

1608 Kata
“Apa Julio sering keluar bersama wanita berusia empat puluhan akhir-akhir ini?” “Tidak, Pak,” jawab seseorang dari seberang telepon. Jonathan mendengkus keras, tak percaya akan ucapan asistennya di seberang telepon. “Apa kau sedang mencoba melindungi Julio dariku? Atau sudah bosan bekerja padaku? Ingin mencari pekerjaan lain? Atau sekarang kau ingin bekerja pada Julio?” “Tidak, Pak. Sama sekali tidak.” “Sekali lagi kutanya, apa Julio sering keluar bersama wanita berusia empat puluhan akhir-akhir ini?” Pertanyaan yang sama, tapi kali ini diucapkan dengan penuh penekanan. Bak mengancam, jika saja pria di sambungan telepon itu menjawab tak seperti yang ia inginkan. Maka sesuatu pasti akan terjadi. Dan ia pastikan jika itu adalah hal yang buruk. “Ee-ee, saya akan mengeceknya kembali, Pak.” “Mengecek kembali?!” Suara Jonathan meninggi. Namun, setelahnya ia sadar jika tempatnya berada ini tidak dilengkapi fitur kedap suara. Penghuni kamar sebelah bisa mendengarnya dengan mudah. Bahkan Julio di kamar 21, bisa saja mendengar apa yang tengah Jonathan tanyakan pada asistennya. “Sebenarnya apa yang kalian lakukan selama ini? Apa kalian hanya bermalas-malasan selama ini? Hingga hal seremeh ini tak kalian ketahui?” tanya Jonathan dengan nada suara yang direndahkan. Meski nada suaranya telah merendah, tapi tetap saja ucapannya penuh penekanan. “Ma-maaf, Pak. Akan kami selidiki kembali.” “Kutunggu hasil penyelidikan kalian besok pagi,” putus Jonathan lalu melempar ponselnya ke tempat tidur. “Sial! Mereka sangat lambat mengurusi anak itu.” Jonathan melompat naik ke tempat tidur, namun baru dua detik ia berbaring, ia kembali mengumpat akan aroma menjijikkan yang ditinggalkan oleh Brenda. Bau parfum wanita. Kalau wanitanya asli, mungkin tak akan dipermasalahkan oleh Jonathan. Tapi, beda cerita karena aroma itu datang dari seorang cewek jadi-jadian. “Sialan! Makhluk terkutuk itu sangat menjijikkan.” Jonathan menatap pintu kamarnya, kalau ia berada di rumah dan mendapati sesuatu yang mengganggu, tinggal menyuruh pelayan untuk membereskan. Sayangnya di tempat ini, ia tak memiliki satu orang pelayan pun. Atau haruskah ia membayar salah satu penghuni kos lagi untuk membereskan kamarnya dari aroma menjijikkan yang ditinggalkan Brenda? Tapi, sungguh amat merepotkan. “Menyusahkan sekali tinggal di sini.” Pria itu bangkit dari tempat tidur, enggan untuk menciumi aroma parfum Brenda yang menyengat. Ia berniat mengganti seprai, makanya ia menghubungi Julie. “Lama sekali diangkatnya,” omel Jonathan setelah dua kali panggilannya tak dijawab. Barulah di panggilan yang ketiga dijawab oleh Julie. “Saya ingin mengganti seprai.” “Silakan, Om. Om gak perlu laporan ke pemilik kos hanya untuk urusan ganti-mengganti seprai. Silakan lakukan kapan pun Om suka.” “Maksud saya, kamu ke sini. Bawakan saya seprai baru dan gantikan seprai saya.” “Maaf, Om, ini bukan hotel. Ini hanyalah kamar kos-kosan. Saya, selaku pemilik kos tidak bertanggung jawab atas pergantian seprai penghuni kos. Hal-hal seperti itu silakan dilakukan sendiri.” Julie segera memutus panggilan tersebut secara sepihak, sukses membuat Jonathan mengumpat dan melempar ponselnya ke kasur. Tapi, apa yang dikatakan Julie memang benar. Tempat itu hanyalah kos-kosan. Sama seperti kos-kosan yang dikelola oleh Julie, milik Jonathan yang mencapai ribuan kamar pun tak menyediakan jasa ganti-mengganti seprai. “Sialan!” u*****n lain yang meluncur dari mulut Jonathan. “Semua kesulitan ini gara-gara anak sialan itu! Dasar anak haram!” Jonathan menghempaskan tubuhnya ke kursi, kepalanya mendongak dan dengan mata yang terpejam. Tapi, pikiran pria itu tak pernah berhenti. Masih kacau gara-gara sebuah surat wasiat. 80 persen dari saham milik Kemal Harisman akan diserahkan ke ahli waris yang sudah memiliki keturunan. 20 persen sisanya akan disumbangkan untuk masyarakat. Kemal Harisman adalah ayah kandung Jonathan yang meninggal dunia sebulan lalu. Dan minggu lalu, surat wasiatnya telah dibacakan oleh pengacara kepercayaan Kemal Harisman di depan seluruh keluarga. Sayangnya, Jonathan tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan aset 80 persen itu. Karena hingga di usianya yang ke 46 tahun, pria itu belum juga memiliki keturunan. Ia menikah di usia yang cukup muda waktu itu, 20 tahun. Namun, hingga istrinya meninggal setahun yang lalu, mereka belum dikaruniai keturunan. Dan inilah yang menjadi krisis terbesar yang dialami olehnya. Aset bernilai trilyunan itu bisa saja dimiliki orang lain. Dan tentu, Jonathan tak mau jika hal itu terjadi. Ia harus menyingkirkan satu persatu penghalangnya agar aset trilyunan itu sah menjadi miliknya. Lantas, siapa yang harus ia singkirkan duluan? Atau justru siapa yang harus ia miliki duluan? Seorang istri baru yang akan memberikan keturunan untuknya? Atau melenyapkan pewaris lain? “Aku harus memastikan jika gadis itu subur sebelum kunikahi. Aku tidak akan menghabiskan sekian puluh tahun untuk bersama wanita mandul. Cukup istri pertamaku yang tak bisa memberikan keturunan untukku.” **** Pintu kamar Julie diketuk pagi-pagi sekali. Membuat sang pemilik kamar melangkah dengan malas untuk membuka pintu. Sebenarnya ingin bermasa bodoh dan berpura-pura masih tidur, namun suara ketukan itu amat mengganggu. Tak kunjung berhenti, malah makin ribut. Mau melanjutkan tidur pun tak bisa lagi. Bola mata gadis itu langsung bergerak memutar begitu ia lihat siapa yang telah menganggu tidurnya. Siapa lagi kalau bukan pria tua yang sok kaya itu. Eh, memang kaya. Tapi, super menyebalkan. “Maaf, Om. Kami gak menyediakan seprai.” Julie kira jika pria itu datang untuk mengeluh soal seprai. “Kalau butuh seprai baru, silakan membeli sendiri dan memasangnya sendiri.” “Ini bukan tentang seprai.” “Terus apa?” “Ikut saya ke rumah sakit.” Ucapannya tak bernada mengajak, tapi lebih ke memerintah. Memerintahnya pun bukan dengan sopan, tapi seenak hati. “Kenapa saya harus ke rumah sakit?” “Kamu harus diperiksa.” “Saya sehat-sehat aja.” “Kamu harus diperiksa kesuburannya.” “Kesuburan? Emangnya Julie tanah? Mau ditanami padi?” Julie bertanya dengan nada suara yang meninggi. Tak terima dengan ucapan pria itu yang seolah-olah memperlakukannya bak tanah yang harus dicek subur atau tidaknya. “Tes kesuburan wanita.” Jonathan memperjelas maksudnya. “Untuk mengetahui apakah kamu bisa memberikan saya keturunan.” Julie tertawa. “Memberikan keturunan?” “Iya.” “Saya tidak memiliki rencana untuk memberikan keturunan untuk Om Jonathan yang terhormat.” Gadis itu menggelengkan kepala dengan tegas. “Silakan cari perempuan lain.” Julie hampir menutup pintu kamarnya, sayangnya langsung dicegah oleh Jonathan. Pria itu menarik pegangan pintu dari luar, sehingga Julie gagal menutup pintunya. “Mau apa lagi sih, Om? Julie kan udah bilang kalo Julie tidak bersedia memberikan keturunan kepada Om. Jadi, gak perlu repot-repot mengecek apakah Julie subur atau tidak.” “Saya akan membawamu ke rumah sakit,” putus Jonathan, seenak jidatnya saja. “Tapi, saya tidak mau dibawa ke rumah sakit.” Sayangnya Jonathan berhasil menarik tangan Julie hingga gadis itu terseret keluar melalui ambang pintu kamarnya. Mata Julie membelalak kaget, tak menyangka ia akan diperlakukan sekasar ini. “Om ini kenapa sih? Jangan maksa-maksa Julie!” Tak peduli apa yang dikatakan oleh gadis itu, Jonathan tetap pada tujuannya. Setelah berhasil mengeluarkan Julie dari kamarnya, langsung saja ia raih pinggang gadis itu. Amat cepat ia bergerak, tak sempat ditolak oleh Julie. Bahkan Julie belum sepenuhnya sadar kalau tubuhnya terangkat. Tubuhnya diletakkan ke pundak bagian kiri Jonathan, melengkung. Seperti tengah membopong karung yang ia naikkan ke pundaknya. “LEPASIN JULIE, OM! TURUNIN JULIE, OM! OM INI MAU NGAPAIN SIH?” Rupanya teriakan Julie tak berhasil membuat Jonathan bersedia memenuhi keinginan gadis itu. Justru malah mengundang perhatian para penghuni kos yang sudah bangun. Membuat mereka menonton dari depan kamar masing-masing. Beberapa orang bersorak, menggoda kebersamaan Ibunda Ratu dan Ayahanda Raja mereka, sementara yang lain hanya diam. Tak ketinggalan, bahkan Julio menyaksikan dari lantai tiga. Melihat Julie dibopong dan dibawa masuk ke dalam mobil Jonathan. Pria itu tak bergerak sedikit pun, hanya mengamati. Tak membantu, meski Julie telah berteriak meminta pertolongan. “Dasar orang tua berengsek!” Julie mengumpat begitu ia dipegangi oleh Jonathan di dalam mobil. Sementara mobil tersebut telah melaju, dikemudikan oleh sopir Jonathan. “Om tau gak, kalo Julie bisa memperkarakan hal ini ke polisi?” “Silakan saja.” “Oh, sepertinya Om tidak takut dipenjara.” “Saya hanya perlu membayar beberapa puluh atau ratus juta dan saya akan baik-baik saja. Kau sudah tahu bukan, kalau segala hal di dunia ini bisa diselesaikan dengan uang?” Sial, Julie ingin berkata tidak. Tapi, memang benar begitulah dunia berputar. Julie pun berkali-kali menyelesaikan segala kesulitannya dengan uang. Terlalu memalukan jika ia harus menyanggahi ucapan Jonathan. Padahal aslinya ia juga melakukan hal serupa. “Tenanglah, kita hanya ke rumah sakit.” “Setidaknya biarkan Julie mengganti pakaian dulu. Kenapa Om membawa Julie ke rumah sakit dengan piyama tidur seperti ini? Bahkan Julie belum sempat mencuci muka atau menggosok gigi.” Mobil berhenti di parkiran rumah sakit. Julie mulai memetakan cara untuk kabur di otaknya. Rumah sakit ini cukup ia kenali karena Sophie bekerja di sana. Setidaknya, ia bisa mencari perlindungan melalui kakaknya itu. Ia harus bisa kabur begitu turun dari mobil. “Jangan melawan atau membuat keributan, kita hanya periksa ke dokter kandungan.” Julie mengangguk kecil. Untuk saat ini ia harus menurut. Kalau ia melawan, bukan tidak mungkin Jonathan akan melakukan hal gila, seperti membopongnya bak karung beras lagi. Perlawanannya hanya akan membuat Jonathan waspada. Kaki Julie yang tak dilapisi alas kaki perlahan menyentuh lantai dingin basement yang digunakan sebagai parkiran. Gadis itu melebarkan jangkauan matanya tanpa berpaling, agar tak membuat Jonathan waspada padanya. Padahal ia tengah mencari jalan untuk kabur. “Bagaimana janji dengan dokternya, kau sudah mengaturnya, bukan?” Jonathan bertanya pada sopirnya. “Sudah, Pak. Kami sudah menghubungi dokter kandungannya.” “Bagus.” Jonathan menarik Julie mendekat padanya. “Ayo.” Dasar pria tua berengsek, dia bahkan berjalan begitu percaya diri, tak peduli jika kakiku kedinginan tanpa alas kaki. Cih! Suami seperti inikah yang harus kumiliki? Aku bersumpah, tidak akan menyerahkan diri pada orang gila sepertinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN