17 - Gegar Otak

1809 Kata
Bi Yana meletakkan beberapa potongan buah dan kue kering, berikut dengan lima cangkir berisi teh hangat di meja ruang tamu. Wanita paruh baya itu segera meninggalkan tempat setelah berusaha dengan keras menyembunyikan perasaan tegangnya saat meletakkan cemilan-cemilan tersebut. Bahkan asisten pembantunya, Sari, juga terlihat ingin buru-buru ngacir karena merasakan aura dingin di sana. ‘Beuh, anak muda jaman now’, Bi Yana menggelengkan kepala. Ia memang sudah sudah berumur, tapi ia terus mengikuti berita-berita perkembangan jaman, mulai dari berita-berita di TV, infotainment, hingga i********: pun Bi Yana punya. Kalau kata Sari, asistennya dalam rumah tersebut mengatakan : biar nggak kelihatan bodoh-bodoh amat. Biar bisa ikutan main tik-tok dan nggak kalah eksis sama generasi micin masa kini. Gaul dan nggak gampang dikadalin. ‘Mereka pasti kebanyakan nonton sinetron dan saat ini mereka sedang terjebak dalam situasi di mana mereka harus menjadi para pemerannya,’ batin Bi Yana sembari tersenyum tipis. Memikirkan hal tersebut membuat Bi Yana penasaran setengah mati. Diam-diam dan berusaha agar tidak kentara, ia pun melirik kembali ke tempat di mana lima orang remaja itu berada, tetapi wanita tersebut segera membatalkan niat karena tertangkap mata oleh salah satu cowok yang mengaku sebagai kakak dari cewek yang dibawa Tuan Mudanya ke rumah. ‘Duh, gagal deh,’ desah Bi Yana. Terpaksa benar-benar pergi dari sana dan kembali menuju dapur. Setelah memastikan Bi Yana tidak ada di sana bahkan hanya untuk sekedar mencuri dengar percakapan mereka, tiga cowok yang duduk di sofa bagai tuan rumah itu memperhatikan dua sosok remaja tujuh belas tahun yang duduk di seberang mereka. Menatap dua sosok itu bagai tersangka pembunuhan berantai yang sedang di sidang. Alena melirik Devan, dan tangannya terasa sangat gatal untuk segera menggeplak kepala cowok yang ada di tubuhnya itu karena melihat ia tengah sibuk sendiri memperhatikan kuku-kuku jari tangannya. Perempuan itu sesekali mengernyit, lalu terlihat menerawang. Namun tak lama kemudian ia mengangguk-angguk, tidak jelas apa yang sedang ia pikirkan. Mendengus kecil karena sadar ia tidak bisa berlaku seenaknya, Alena menatap ke depan dan bulu kuduknya langsung meremang karena merasa dikuliti hidup-hidup oleh tatapan tajam penuh laser dari ketiga kakak lelakinya. ‘Aduh, gawat! Apa yang harus aku lakukan? Aku harus ngomong apa ini?!’ batin Alena panik. Otaknya berpikir keras demi mencari sebuah alasan yang masuk akal karena ia tidak mungkin mengatakan pada ketiga saudara kandungnya itu bahwa dengan ajaib jiwanya dan Jiwa Devan sedang tertukar. Bahwa sesungguhnya ia adalah Alena, bukan Devan. Bisa-bisa mereka justru  menganggapnya gila atau sinting dan tak segan-segan  untuk mengirimkannya jauh ke Rumah Sakit Jiwa. “Jadi, bisa tolong jelaskan apa yang tadi mau kamu lakukan terhadap adik saya?” Alena menunduk dalam sambil merutuk dalam hati saat mendengar suara Alka. Ia sama sekali tidak berani menatap mata kakak pertamanya. Karena tidak ada satu patah katapun keluar dari bibir Devan, Alka menghela napas. Ia mencekal lengan Aldi dan Alvian yang sudah ingin beranjak dari sofa untuk langsung menerjang dan memukuli cowok itu. Sejak mereka melihat apa yang terjadi di dalam kamar tadi memang mereka berdua  sudah ingin membunuh Devan, namun Alka dengan pikiran dan sikap dewasanya memperingatkan mereka untuk tidak bertindak sebelum mengklarifikasi. Jadi, di sinilah mereka saat ini. Berusaha mengklarifikasi sesuatu yang bagi Alvian dan Aldi adalah sesuatu yang sia-sia. “Saya menunggu penjelasan dari kamu, Devan!” Lagi, Alka bersuara. Menatap dengan penuh wibawa pada remaja pria yang baru ia kenal dan temui hari ini. Alena membuka bibir, tapi kemudian menutupnya lagi. Membuka bibir lalu menutupnya lagi. Ia benar-benar tidak tau harus berkata apa. “Heh, playboy tengik cap tokek-tokek di dinding! Ngaku aja deh kalau lo—“ “Aish, si b******k ini! Berisik kalian semua!” Semua orang menatap satu-satunya gadis di sana dengan tercengang. Terutama Aldi yang ucapannya tadi terpotong begitu saja dan harus menerima u*****n langsung dari adiknya sendiri. “A- Alena... Kamu... Ka-kamu ...” Aldi sungguh kehabisan kata-kata. Mendengar Alena mengucapkan k********r pada dirinya membuat cowok berkaus biru tersebut hampir terkena serangan jantung. “Oh, hai Kak Aldi!” Alena yang sebenarnya adalah Devan asli mengangkat tangan kanan menyapa seniornya tersebut. “Gue baru sadar lo ada di sana. Bagaikan bagian putih dari kotoran cicak yang jatuh ke lantai putih. Nggak kelihatan! Hahahahaha!”  Kali ini, ketiga cowok yang sama sekali tidak Devan kenal itu menatapnya horor. Sementara mata Alka tidak terlepas dari Alena, Aldi dan Alvian saling pandang lalu berteriak histeris bersamaan. Ini benar-benar sudah tidak wajar lagi. * * * (oke, mulai dari sini ketika saya menulis nama Devan itu berarti dia adalah Alena, dan jika saya menulis nama Alena, maka ia adalah Devan. Meminimalkan kebingungan juga buat saya yang menulis dan juga... ingat, tubuh mereka masih tertukar saat ini.) * * * "Aaaahhhk... Alenaa... Kamu lagi sakit? Apa ini? Kamu kenapa??" Alvian sudah berdiri di samping Alena, menggoyang-goyangkan lengan gadis itu dan merengek seperti anak kecil. "Kamu nggak apa-apa? Apanya yang sakit, hm?" Aldi menyentuh kening Alena yang sama sekali tidak panas. Ekspresinya benar-benar menunjukkan jika ia khawatir setengah mati. Alena menatap kedua cowok itu dengan aneh, lalu menatap Alka. Satu yang ia  pahami adalah Alka merupakan kakak lelaki dari tubuh yang ia tempati. Tapi siapa cecunguk yang berambut belahan tengah ini? Dan apa-apaan ini? Jadi Aldi adalah tipe cowok bucin? Ia merasa luar biasa aneh karena baru pertama kali melihat Aldi seperti ini. "Aish, lepasin gue!" Alena menyentakkan tangannya dari Alvian. Mengabaikan dua cowok yang terkejut di sampingnya, ia berjalan cepat menuju Alka. "Kakaaak, tolong usir mereka berdua dari sini!" tunjuk Alena pada Aldi dan Alvian. Bukannya melakukan apa yang diharapkan oleh gadis itu, Alka justru menatapnya dengan penuh tanda tanya. Cowok dengan jaket kulit yang melekat pas di tubuhnya itu menatap satu-satunya adik perempuan yang ia miliki dari atas ke bawah, lalu ke atas lagi. Mungkinkah ini bukan Alena tetapi hanya seseorang yang mirip dengan adiknya? "Kakaaak!" Alena yang sudah duduk di samping Alka menggoyang lengan Alka, merengek dengan manja. "Tapi mereka..." "Gue nggak peduli! Gue nggak suka sama mereka!" seru Alena. Lalu ia menatap Aldi lama, alisnya pun terangkat karena tiba-tiba sebuah ide cemerlang hadir dalam otaknya bagaikan sebuah lampu pijar. Alena menyeringai tipis. Mungkin, inilah saat yang tepat untuk bisa memberikan Aldi pelajaran. Menyembunyikan senyuman yang ingin sekali terbit di bibirnya, Alena menunjuk Aldi. Lalu semaksimal mungkin memasang wajah tidak suka pada cowok itu. "Dan lo!" Aldi menatap Alena, menunggu kata-kata yang keluar selanjutnya dari adiknya yang mungkin terkena gegar otak itu. "Kita putus!" Aldi terbelalak kaget, sementara Alena merasa berada di atas awan saat ini. Rasanya sungguh menyenangkan bisa melihat tampang merana dari senior yang paling tidak ia sukai di sekolah. Alena menyandarkan tubuh ke sofa, melipat kedua tangannya dan mengangkat kaki kanan menumpu ke atas kaki kirinya. Ia duduk bagaikan seorang ratu yang berhasil merebut kekuasaan kerajaan dari sang raja. "Mulai sekarang, lo bukan pacar gue lagi!" Mulut Aldi menganga, kompak seperti Alvian. Di sisi lain, seorang Devan juga terperangah karena shock dan siap mati terkena serangan jantung. Semesta sepertinya sedang bercanda dengannya. Bagaimana mungkin cowok yang ada di tubuhnya itu masih belum menangkap fakta jika Aldi adalah salah satu dari kakak lelakinya? "Pulang! Ayo kita pulang sekarang!" Entah sejak kapan Alvian sudah berdiri di depan ALena dan menarik tangan perempuan itu untuk berdiri. "Ogah! Lo aja yang pulang! Lepasin gueeee!" Alena berusaha memberontak, melepaskan cengkeraman tangan Alvian di lengannya. "Nggak! Kamu harus pulang sama kita!" tegas Alvian, ia lalu menatap Aldi yang masih berdiri di posisinya. Mulut cowok itu masoh menganga, otaknya berusaha mencerna dengan apa yang tengah terjadi. "Aldi! Sampai kapan kamu akan berdiri terus kayak orang b**o di situ? Ayo, bantu aku!" Seruan ALvian mengembalikan kesadaran Aldi. Ia berjalan mendekat, lalu menarik lengan Alena yang satu lagi. Mereka berdua kompak menyeret tubuh Alena untuk segera pulang ke rumah. "Heh! Kita udah putus! Nggak usah sentuh-sentuh gue!" berontak Alena. Ia berusaha menahan tubuh agar tidak melangkah bersama dua cowok asing itu. Alena pun menoleh, menatap Alka yang masih bergeming sejak tadi. Satu-satunya cowok yang tidak mengeluarkan suara atau bertindak apapun terhadapnya. "Kak! Bantuin gue! Gue mau diculik sama dua cowok ini!" histeris Alena. Dan ia tidak tau alasan kenapa pria itu menatapnya dengan tatapan yang sulit ia mengerti. "Aaaaakkhhh... gue nggak mau pergi! Gue mau di sini! Lepasin!" Alena berteriak-teriak, berusaha sekuat tenaga untuk mencegah dirinya dibawa paksa dari rumahnya sendiri. Mereka baru setengah jalan saat tiba-tiba dihadang oleh Bi Yana. Wanita paruh baya tersebut tersenyum lalu sedikit membungkukkan badan. "Anu, Den, biarin Neng Alena makan dulu, atuh! Bibi sudah masak banyak. Sayang kalau nggak kemakan nanti." Aldi dan Alvian saling tatap. Baru saja hendak mengeluarkan statemen mereka tetapi sebuah suara dari belakang membuat mereka urung. Setidaknya, itulah jawaban yang hendak mereka berikan pada Bi Yana. "Tidak usah, Bi. Terimakasih. Tapi adik saya sepertinya sedang tidak enak badan. Kami harus segera pulang." Alka tersenyum ramah pada Bi Yana. Pembawaannya yang kalem namun tegas membuat Bi Yana yakin jika pria yang ada di hadapannya adalah sosok yang luar biasa. "Ya sudah kalau..." "Gue lapar," potong Alena. Ia menatap Bi Yana dengan muka melas. Ia tidak sedang berbohong saat ini, bahkan perutnya sudah berbunyi memberi sinyal pada orang di sekelilingnya jika ia sedang berkata jujur. "Biarin gue makan dulu, please..." Alka menatap Alena. Belum sempat memberi komentar apapun saat sebuah suara menginterupsi mereka. Devan, dengan muka tidak enak berkata, "Tolong, biarkan Dev - maksudku Alena buat makan dulu. Kami - maksudku dia ... Alena hanya makan roti sejak kemarin." "Roti?!" Aldi kali ini bersuara. Melupakan kejanggalannya karena mendadak Devan ber aku-kamu. Ucapan Devan tentang Alena hanya makan roti sejak kemarin lebih menyita perhatiannya. "Jadi para guru di tahun ini menganiaya anak didik mereka sendiri?!" Aldi menatap Alena. "Alena, katakan siapa penanggung jawab acara camping tahun ini, biar kita laporin ke pihak yang berwajib!" "Ah, nggak kayak gitu kejadiannya!" sela Devan cepat. "Hanya saja saat itu ..." Devan belum sempat selesai menjelaskan saat tubuh Alena tiba-tiba luruh ke lantai. Gadis itu jatuh terduduk dengan lemas. Membuat Aldi dan Alvian yang sejak tadi mencekal kedua tangannya terkejut. Mereka berjongkok cepat, diikuti oleh Alka. "Alena! Kamu nggak apa-apa?" ketiga cowok itu menanyakan pertanyaan yang sama secara bergantian. Alena saat ini sungguh membuat mereka cemas. Menatap pada satu-satunya cowok yang ia tau sebagai Kakak lelakinya, Alena berkata, "Gue lapar, Kak." Alka mengerjab, menatap adiknya. "Ya, kalau begitu, ayo kita makan dulu," angguk Alka. Ia membantu Alena berdiri lalu menggendongnya ke punggung. "Di mana meja makannya, Bi?" tanya Alka pada Bi Yana. Sedangkan Alena sudah bersandar nyaman di punggung cowok itu. "Oh, ke sini!" jawab Bi Yana. Wanita itu menunjukkan jalan ke arah meja makan diikuti oleh Alka, Alvian dan Aldi. Bahu Devan merosot ke bawah. Entah apa yang harus ia lakukan ke depan. Ia terjebak dalam tubuh yang bukan miliknya dan itu membuatnya frustasi. Mengacak rambut hingga nampak lebih berantakan, ia pun menyusul Alena dan tiga kakak lelakinya. Untuk saat ini ia hanya perlu makan, sebelum ia ambruk seperti Alena karena tidak makan banyak kecuali roti sejak kemarin.   ================================ Aku harap kalian tidak bingung dengan karakter Devan dan Alena. Memang sangat susah menuliskan dua karakter dengan jiwa yang tertukar saat mereka sedang bersama. Mau menulis Alena tetapi kadang maksudku adalah Devan, mau menulis Devan tapi kadang maksudku adalah Alena, Nah, kan susah... Tapi satu clue buat kalian para pembaca : kalian akan mengetahui siapa Alena dan Devan yang aku maksud dalam cerita jika kalian membacanya pelan-pelan! Aku akan berusaha semaksimal mungkin untuk membuat cerita ini dipahami oleh kalian :)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN