Bagian 8
"Ternyata Mbak Mona diam-diam memiliki tabungan ya, Bu. Coba aja kita tau dari dulu ya," ucap Hana kepada ibunya.
"Iya, memang dasar kakak iparmu itu orangnya pelit. Ibu sih, dari dulu sampai sekarang gak pernah suka sama dia." Ibu mertua membenarkan ucapan anak bungsunya itu.
Astaghfirullah … ternyata Ibu tidak pernah suka sama aku. Ya Allah, rasanya sakit sekali mengetahui kenyataan ini.
"Salah Ibu sendiri, sih! Kenapa gak tinggal sama Mbak Andini. Mbak Andini jauh lebih baik dari Mbak Mona. Apalagi Mbak Andini sudah memberikan cucu buat Ibu. Apa yang selama ini Ibu idam-idamkan sudah diberikan oleh Mbak Andini. Kenapa kita gak tinggal sama Mbak Andini saja sih, Bu?"
Ya Allah … ternyata ibu mertua dan adik iparku sudah mengetahui tentang hubungan Mas Bayu dengan wanita itu. Mereka benar-benar tega padaku. Pandai sekali mereka menyembunyikan semua itu dariku. Mereka ternyata bersekongkol untuk menyakitiku.
"Apa yang kamu katakan memang benar sih, Hana. Bukannya Ibu enggak mau tinggal sama Andini, tapi Bayu melarang. Katanya Andini tidak bisa mengurus dan melayani kita karena dia tidak mau direpotkan. Apalagi sekarang dia harus mengurus bayinya. Ibu mana bisa ngerjain pekerjaan rumah. Ibu maunya dilayani. Hanya Mona yang bisa kita manfaatkan, yang bersedia mengerjakan semuanya. Kita tinggal terima beres saja, iya kan?"
Setega itu mereka padaku!
"Kan ada asisten rumah tangga di rumah Mbak Andini, Bu?"
"Enggak tau tuh, Andini melarang kita untuk tinggal bersamanya. Mungkin dia punya alasan lain kali ya?"
"Mungkin juga, tapi Ibu benar juga. Kalau disuruh milih, Hana lebih memilih tinggal di rumah ini. Semuanya sudah disediakan oleh Mbak Mona. Mau makan tinggal ambil, baju-baju juga tinggal pakai, sudah dicuci dan disetrika oleh Mbak Mona."
Astaghfirullah … selama ini mereka hanya memanfaatkanku saja. Jahat sekali!
"Bu. Mari kita paksa Mbak Mona buat mengambil semua uang ini dan menyerahkannya kepada kita. Pasti Mbak Mona tidak akan berani melawan, iya kan, Bu?"
"Iya, mana mungkin si Mona itu berani sama Ibu. Dia pasti akan nurut!
"Betul itu. Mbak Mona itu penakut," timpal Hana.
Kamu tau enggak Hana, Ibu mau pakai uang ini buat beli baju baru dan juga perhiasan. Lusa, Andini sama Bayu kan, mau ngadain acara akikahan buat Faisal. Ibu tidak mau dong, terlihat biasa saja di acara akikahan cucu Ibu. Ibu ingin tampil cantik, beda dari yang lain."
Ternyata ibu mertua sudah sangat hafal siapa nama bayi itu. Mereka juga mau mengadakan acara akikahan buat anaknya Mas Bayu dan wanita yang bernama Andini itu diam-diam tanpa sepengetahuanku. Benar-benar keterlaluan!
Mereka tidak peduli padaku sedikitpun. Alangkah teganya! Mereka hanya membutuhkan tenaga dan uangku saja. Sungguh ini tidak bisa dimaafkan.
"Hana juga mau dong, Bu."
"Iya, begitu dapat uangnya kita langsung shopping. Oke."
Baiklah, kini aku sudah mengetahui semua rahasia mereka. Aku tidak boleh panik, harus tetap tenang menghadapi mereka. Bersikap seolah aku tidak tahu apa-apa.
Aku menarik napas dalam kemudian mengembuskannya perlahan.
Bismillahirrahmanirrahim ….
"Assalamualaikum." Aku mengucap salam kepada ibu mertua dan adik iparku itu.
"M-mona, ka-kamu sudah pulang?" tanya Ibu terbata. Ibu mertua dan adik iparku terkejut melihat kehadiranku.
Ya, memang ini belum waktunya pulang kerja. Wajar saja jika mereka tidak menyangka bahwa aku akan pulang secepat ini.
"Iya, Mona sudah pulang. Kenapa, Bu? Kok' liatin Mona kayak gitu? Kayak ngeliat hantu saja." Aku tersenyum sinis melihat raut wajah mereka yang sedikit panik.
Kuberanikan diri mendekat kepada mereka berdua, walaupun sebenarnya jantungku sudah dag dig dug dari tadi. Namun, sebisa mungkin tetap bersikap santai di depan mereka.
"Biasanya jam segini 'kan kamu belum pulang. Kamu kenapa pulang cepat? Berarti nanti gaji kamu dipotong, dong!" Ibu masih saja bicara soal gaji. Memang benar ya, yang ada di kepalanya hanya uang, uang dan uang.
"Mona capek kerja terus, Bu. Dipotong sedikit juga enggak apa-apa. Toh, kesehatan jauh lebih penting dibanding segalanya," jawabku setenang mungkin.
Aku sengaja berkata seperti itu agar mereka sadar bahwa uang bukanlah segalanya.
"Ngomong-ngomong, ngapain Ibu dan Hana berada di kamarku? Itu yang Ibu pegang apa?" Aku pura-pura tidak tahu, padahal aku sudah mendengar semua pembicaraan mereka.
"Oh ini. Tadi Ibu hanya iseng beresin lemari kamu, eh tau-taunya Ibu nemu ini."
Pintar sekali ibu mertuaku ini berbohong, padahal aku sudah mendengar semuanya. Sekarang rumah ini sudah tidak aman. Ibu dan Hana sudah semakin berani menggeledah kamarku.
"Oh, begitu. Yasudah, sini kembalikan buku tabungannya. Buku tabungan ini sebenarnya mau Mona buang, tapi belum sempat. Toh, udah enggak ada isinya, ngapain juga masih disimpan." Aku sengaja berkata seperti itu biar mereka mengira kalau di buku tabungan itu tidak ada saldonya.
"Jadi maksudmu buku tabungan tidak ada isinya? Terus, kenapa masih ada saldo yang tertulis di sini? Mbak pikir Hana ini orang bodoh, apa?" Hana protes, tidak terima.
"Hana ini anak kuliahan loh, Mbak. Enggak bisa dibohongi. Di situ tertera dengan jelas kapan Mbak Mona terakhir menyetor uang ke bank," ucapannya lagi.
"Memang enggak ada yang salah dengan apa yang tertera di buku itu, Hana. Masalahnya sekarang uangnya enggak ada lagi. Sudah habis. Kamu tahu sendiri 'kan kalau Mas Bayu mengurangi jatah bulanan buat Mbak? Mbak dapat duit darimana buat memenuhi semua kebutuhan kita kalau bukan dari situ?" Aku tidak mau kalah, aku membuat-buat alasan, semoga saja mereka percaya.
"Bohong. Kamu pasti bohong kan, Mona? Jika sampai Ibu tahu bahwa kamu berbohong, Ibu tidak akan mengampuni kamu." Ibu mengancamku.
Ibu saja berbohong, masa aku enggak boleh? Aku hanya ingin menyelamatkan apa yang menjadi hakku.
"Yasudah, mana ATM-nya? Sini biar Hana ngecek langsung," sahut Hana yang masih belum percaya.
"Mbak enggak pakai ATM, Hana. Mbak mana ngerti urusan begituan."
"Nggak mungkin, Hana nggak percaya. Jawaban Mbak Mona sungguh enggak masuk akal. Di buku tabungan ini tertera dengan jelas kapan transaksi terakhir. Mbak Mona terakhir menyetor uang ke bank sejumlah dua juta. Setelah itu enggak ada uang keluar lagi. Mbak pikir Hana bisa ditipu?"
Aduh, susah sekali untuk mengelabui kedua manusia serakah ini. Jika aku memberikan ATM-nya, pasti akan ketahuan. Ampun deh! Aku bahkan sampai kehabisan kata-kata. Tidak tahu mau beralasan apa lagi agar mereka bisa percaya.
"Yaudah kalau nggak percaya, silakan periksa. Geledah saja tas dan juga kamar ini bila perlu."
"Ayo, Hana, kita geledah kamar ini. Kita cari ATM-nya sampai ketemu," ajak Ibu.
Geledah saja, ATM-nya sudah kusimpan di tempat yang aman. Tidak akan ada satu orangpun yang bisa menemukannya kecuali aku.
"Awas saja kalau Mbak ketahuan bohong. Hana akan mengadukannya kepada Mas Bayu." Hana mengancamku, benar-benar adik ipar yang tidak punya sopan santun.
Mereka berdua kembali menggeledah kamar ini, begitu juga dengan tasku. Lakukan saja sampai kalian capek, kalian tidak akan mendapatkan apa-apa.
Bersambung