Bagian 10
Malam semakin larut. Mata ini belum bisa terpejam sama sekali. Aku mondar-mandir memikirkan apa yang harus kulakukan selanjutnya.
Tiba-tiba, terbesit ide di dalam benakku untuk mengambil sesuatu. Ya, sertifikat rumah, aku harus mengamankannya terlebih dahulu. Hanya itu satu-satunya harta benda yang kami miliki setelah menikah.
Aku membuka lemari, lalu menarik sebuah map coklat yang berada di bawah tumpukan baju milik Mas Bayu. Di dalamnya hanya ada kartu keluarga dan juga buku nikah. Dimana sertifikat rumah?
Ya ampun, aku sampai lupa. Sertifikat rumah ini telah digadaikan ke bank oleh Mas Bayu beberapa bulan lalu. Ia bilang ingin menambah modal, tapi nyatanya tidak ada perubahan yang kulihat di tokonya. Apa jangan-jangan Mas Bayu telah membohongiku? Apa mungkin Mas Bayu sengaja menggadaikan rumah ini untuk membeli rumah buat gundiknya itu?
Baiklah, karena Mas Bayu telah berani bermain-main denganku, akan kubuat ia miskin. Aku tidak akan pergi dari rumah ini sebelum berhasil mendapatkan apa yang aku mau. Tidak mungkin aku meninggalkan rumah ini dengan tangan kosong.
Oke, aku akan sabar menunggu Mas Bayu hingga ia pulang ke rumah ini. Aku yakin, di dompetnya ada ATM dan aku akan menguras uang di ATM-nya sampai habis.
***
Jarum jam menunjukkan pukul 07.30. Belum juga ada tanda-tanda bahwa Mas Bayu akan pulang. Sudah dua hari Mas Bayu tidak pulang. Alasannya mobil carry yang mereka gunakan untuk mengantar barang pesanan pelanggan mogok di jalan sehingga tidak bisa pulang ke rumah. Padahal, aku tahu bahwa Mas Bayu tengah sibuk mempersiapkan acara akikahan anaknya dan wanita itu.
Ibu dan juga Hana tengah bersolek ria di dalam kamar sambil ketawa-ketiwi. Sementara aku tetap berada di dalam kamar sambil memikirkan rencana untuk memberi pelajaran kepada para pengkhianat itu.
Tak lama kemudian, terdengar bunyi ketukan di pintu.
"Dek, buka pintunya. Mas pulang!"
Ternyata si tukang selingkuh itu sudah pulang.
Aku pun membukakan pintu, lalu Mas Bayu langsung masuk.
"Maafin Mas, ya, Dek. Mas nggak bisa pulang karena mobilnya mogok. Jadi terpaksa nginap di penginapan. Jangan marah ya," ucap Mas Bayu sambil meraih tanganku.
Aku hanya diam, tidak berniat menjawabnya. Aku tahu Mas Bayu telah berbohong.
"Oh ya, Dek, hari ini Mas mau menghadiri acara akikahan anak dari temannya Mas. Tolong Adek setrika baju ini ya." Mas Bayu memberikan tiga helai baju yang masih dibungkus plastik padaku.
"Kok' ada tiga, Mas?" Dahiku mengernyit melihat ketiga helai baju tersebut, warnanya juga sama.
"Iya, kemejanya buat Mas. Atasan buat Hana dan gamis untuk Ibu," jawabnya santai sambil meraih handuk.
Oh, jadi mereka semua akan memakai baju yang sama untuk menghadiri acara itu?
"Kok aku enggak ada, Mas?" Aku pura-pura memasang wajah sedih.
"Iya, maaf ya, Mas lupa minta, Dek. Lagian, kamu gak usah ikut. Cuma sebentar, kok."
"Kalau begitu suruh Hana aja buat nyentriknya, Mas. Aku lagi sibuk.
Setelah mengucapkan kata-kata itu, aku pun meninggalkan Mas Bayu dan pergi ke dapur untuk mempersiapkan sesuatu.
Ogah! Aku mana mau menyetrika baju-baju itu! Lagian, aku akan pastikan bahwa tidak seorangpun dari mereka yang akan pergi ke acara akikahan itu.
Kalian ingin bermain-main denganku? Oke, aku juga akan memberi sedikit pelajaran untuk kalian.
***
Mas Bayu, Ibu dan juga Hana tengah bersiap untuk pergi. Tak bisa dipungkiri, Mas Bayu terlihat gagah sekali memakai kemeja batik itu. Ibu juga terlihat anggun memakai gamis batik yang menempel sempurna di tubuhnya, Hana pun demikian, cantik sekali. Tapi sayang, kecantikan dan ketampanan tidak berarti lagi di mataku karena mereka semua adalah pengkhianat.
"Mas, Bu. Sebelum berangkat, teh-nya diminum dulu ya!" Aku meletakkan nampan yang berisi tiga gelas teh yang masih mengepulkan asap di atas meja.
"Tumben kamu baik hari ini? Karena ada Bayu, ya?" Ibu menatapku sinis sambil meraih satu gelas teh manis buatanku itu.
"Nggak kok, Mona 'kan memang baik dari dulu, Bu! Mas, ini teh-nya diminum dulu. Hana juga."
Mereka bertiga pun meminum teh manis yang sudah dicampur dengan obat tidur tersebut. Mari kita lihat, kalian akan berangkat ke acara akikahan itu atau ….
"Ayo, Bu, Hana, nanti kita telat," ucap Mas Bayu sambil merapikan kemejanya.
"Tunggu, Ibu kok' mendadak jadi pusing gini, ya? Bentar, Ibu ke kamar dulu." Ibu pun masuk ke kamarnya, disusul juga oleh Hana. Sepertinya obat tidur itu sudah mulai bereaksi. Bagus!
"Dek, kok' Ibu sama Hana belum keluar juga dari kamar?" tanya Mas Bayu, ia terlihat gelisah, mondar-mandir kesana-kemari.
"Nggak tau tuh, Mas. Coba Mas lihat ke kamar!"
Mungkin karena sudah tidak sabar, Mas Bayu segera menyusul ibu dan adiknya itu.
"Ibu, Hana, kok' malah tidur, sih!" Nada bicara Mas Bayu terdengar seperti orang yang sedang marah.
Yes, berhasil! Ibu mertua dan adik iparku itu kini telah tertidur. Tapi tunggu dulu, kenapa Mas Bayu tidak ikutan tertidur, ya? Padahal mereka sama-sama minum teh itu? Kenapa Mas Bayu masih terlihat biasa-biasa saja? Apa mungkin tubuh Mas Bayu kebal terhadap obat itu?
"Ibu, Hana, ayo bangun!" Mas Bayu terus saja menepuk-nepuk pipi ibu dan adiknya itu secara bergantian. Tapi sepertinya usahanya sia-sia. Mereka telah terlelap dan terbuai dalam mimpi indah.
"Apa, sih, yang terjadi sama kalian? Belum puas apa, tidur semalaman?" Mas Bayu mengomel. Ia akhirnya meninggalkan kamar tersebut sambil membanting pintu sehingga menimbulkan bunyi yang memekikkan telinga.
"Barangkali Ibu dan Hana sudah bangun mendengar Mas membanting pintu. Mas yakin," ucapnya padaku, kali ini wajahnya terlihat lebih bersemangat.
Saat Mas Bayu membuka pintu kamar tersebut, ternyata hasilnya zonk. Bunyi sekuat apapun tetap tidak bisa membangunkan mereka.
Mas Bayu terlihat putus asa, ia kemudian menyambar kunci mobil yang terletak di atas meja. Mungkin ia memutuskan untuk pergi sendirian.
Di sini aku menjadi penonton setia. Aku ingin lihat apakah memang benar obat tidur itu tidak ada pengaruhnya untuk Mas Bayu.
"Sepatu Mas mana, Dek?"
"Itu di luar, udah aku siapin."
Mas Bayu mengambil sepatu tersebut dan langsung memakainya. Belum selesai, tiba-tiba Mas Bayu menguap.
Yes, kena kamu, Mas!
"Mas kenapa? Ngantuk ya?" Aku menghampirinya dan pura-pura bertanya.
"Enggak tau nih, kepala Mas tiba-tiba pusing!"
"Yasudah, Mas istirahat di kamar saja dulu. Aku bantu ya!"
"Tapi Mas harus pergi ke acara akikahan itu, jika tidak …."
"Jika tidak, apa, Mas?
Aku tahu, jika kamu tidak datang, pasti wanita itu akan marah padamu dan akan terjadi perang dunia, Mas! Memang itu yang kuinginkan!
Mas Bayu tidak menjawab pertanyaanku. Sepertinya ia sudah kehilangan kesadaran. Tubuhnya berat sekali sehingga aku kesusahan untuk memapahnya ke kamar.
Sesampainya di kamar, aku membuka kancing kemejanya bagian atas. Lalu aku tidur di d**a bidangnya, kemudian berselfie ria dengannya, seolah kami berdua sedang melakukan ritual suami istri.
Ya, foto ini akan aku kirimkan kepada gundiknya itu. Pasti ia akan kebakaran jenggot melihat foto ini.
Ponsel Mas Bayu yang sedang berada di saku celananya berbunyi. Pasti wanita itu yang menelpon karena Mas Bayu tidak kunjung datang.
Tuh, kan, dugaanku benar!
Aku sengaja menggeser ikon berwarna merah, menolak panggilan tersebut. Ternyata kontak yang bernama Andi itu terus saja menelpon, bahkan berkali-kali mengirim pesan.
"Mas, kamu di mana, sih?"
"Kok' lama banget?"
"Mas, kenapa teleponku tidak diangkat? Kamu jangan main-main ya, Mas! Ini acara penting, loh. Bahkan kita sudah merencanakannya jauh-jauh hari! Kamu dimana, sih, Mas?"
"Ibu dan Hana mana? Kalian jangan buat aku malu, ya, Mas!"
"Aku tidak akan memaafkanmu jika tidak datang sekarang juga."
"Maaas, jawaaaaaab!"
"Tamu undangan sudah berdatangan, Mas, mau ditaruh dimana wajahku, Mas?"
Wanita itu mengirim pesan beruntun kepada suamiku, tapi sayangnya tak ada satupun pesannya yang dibalas. Ya iyalah, pemilik ponsel ini sedang ngorok, mana mungkin bisa membalas pesan!
Ahahay! Aku suka sekali permainan ini.
Bersambung