Foto Bayi Siapa?

1188 Kata
Bagian 1 "Mas, foto bayi siapa yang ada di ponselmu?" Dahiku mengernyit sesaat menatap foto bayi bersarung tangan yang tubuhnya terbedong kain pada layar ponsel Mas Bayu, suamiku. Aku memang sengaja meminjam ponsel Mas Bayu untuk menelpon Bapak di kampung. Setelah selesai, iseng-iseng aku melihat-lihat galeri ponselnya, ternyata ada foto bayi di sana. "Mas, kok' enggak dijawab, sih?" Karena tidak di jawab, aku kembali bertanya. "Itu, nemu di google," jawabnya santai sambil menyesap kopi yang kuhidangkan untuknya. "Nemu di google? Kok fotonya banyak begini, Mas? Bajunya juga beda-beda?" Masa iya, nemu di google? Sepertinya foto bayi ini langsung di foto dari ponsel, deh! Aku tahu perbedaan foto yang asli dengan gambar yang diambil dari google. "Mas cuma iseng-iseng kok. Memangnya kenapa, sih?" Mas Bayu malah balik bertanya. "Iya nih, jadi istri kok' ya curigaan sama suami! Enggak baik loh, Mona!" sahut ibu mertua yang kini ikut bergabung bersama kami di ruang tamu. "Mona 'kan cuma bertanya, Bu! Apa itu salah?" Aku tidak terima jika ibu mertua terus-menerus menyudutkanku. Padahal, aku cuma bertanya. "Bertanya boleh-boleh saja! Cukup sekali. Tidak perlu bertanya untuk yang kedua atau ketiga kalinya, paham?" Ibu mertua meninggikan nada bicaranya. Jika sudah begini, aku hanya bisa diam karena tidak mau memperpanjang masalah. Begitulah ibu mertuaku, selalu saja ikut campur dalam urusan rumah tanggaku. Ibu mertua selalu membenarkan Mas Bayu, biarpun anaknya tersebut melakukan kesalahan. "Seharusnya kamu introspeksi diri, Mona! Kenapa suamimu sampai menyimpan foto bayi segala di galeri ponselnya? Itu karena Bayu ingin sekali memiliki anak. Sedangkan sampai detik ini, kamu belum juga bisa memberinya anak!" Degh! Kata-kata Ibu tersebut bagaikan pedang yang menusuk jantungku. Menciptakan perih tak terkira di hati ini. Tidak ada satupun wanita di dunia ini yang tidak ingin memiliki anak. Tapi apalah daya, aku hanya bisa berusaha dan berdoa. Selanjutnya Allah semata lah yang menentukan di rahim wanita mana akan menitipkan ciptaannya. "Ibu, Mona mohon jangan berkata seperti itu lagi. Bukan kita yang menentukan, Bu, tapi Allah!" Aku berusaha mengubah pola pikir Ibu, berharap Ibu mertuaku tidak lagi menyalahkan diriku atas semua ini. "Mona, kamu enggak usah mengajari Ibu soal itu." Ibu berucap dengan ketus sambil memandangku dengan tatapan sinis. "Seharusnya kalau Ibu sudah tahu, Ibu tidak boleh terus-menerus menyalahkan Mona seperti itu, Bu!" "Terus, siapa yang mau disalahkan? Bayu? Kamu tau sendiri, kan, Mona! Kakak-kakaknya Bayu semua memiliki anak. Hanya Bayu yang belum memiliki anak. Ibu sangat yakin bahwa kamulah yang bermasalah, bukan Bayu!" Siapa yang tidak sakit hati mendengar dirinya dihina seperti itu. Apalagi suami sendiri seolah tidak peduli dan tidak ada pembelaan darinya. Padahal, Mas Bayu lah yang menyuruhku untuk menunda kehamilan karena saat itu ekonomi kami belum mapan. Sekarang malah aku yang disalahkan! "Mona tidak mandul, Bu! Ini hanya masalah waktu saja! Mungkin saja karena efek dari suntik KB, Bu! Dulu, beberapa hari setelah menikah, Mona pernah suntik KB. Itu pun Mas Bayu yang nyuruh karena belum siap memiliki anak. Insyaallah suatu saat nanti, Allah pasti akan menitipkan janin di rahim Mona. Mona yakin pada kebesaran Allah, Bu!" Aku berusaha menahan bulir bening yang dari tadi hendak keluar sambil mengelus perut yang masih rata, belum ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa aku hamil. Aku hanya berharap ada keajaiban dari Allah. "Ngakunya tidak mandul, tapi sampai detik ini belum hamil juga! Mandul dan tidak bisa hamil 'kan sama saja!" Setelah mengucapkan kalimat itu, ibu mertua pun beranjak dari tempat duduknya. Membuka pintu kamarnya lalu membanting pintu dengan keras sehingga menimbulkan bunyi yang memekikkan telinga. "Mas bosan lihat kamu sama Ibu berdebat terus tiap hari, Dek. Bisa nggak sih, kalian itu akur seperti menantu dengan mertua pada umumnya? Mas sudah capek bekerja seharian, pulang ke rumah masih harus mendengar keributan. Mas capek, Dek!" protes Mas Bayu. Tadi Ibu, sekarang suamiku sendiri juga ikut menyalahkanku. "Mas minta kamu ngalah aja sama Ibu, Dek. Ucapan Ibu tadi enggak usah dimasukin ke hati. Mungkin Ibu berucap seperti itu saking pengennya punya cucu." "Aku sudah mengalah pada Ibu, Mas. Tapi tadi Ibu sendiri yang memulai. Jelas aku tersinggung dengan ucapan Ibu. Aku sakit hati dikatain mandul, Mas!" "Sudah ya, enggak usah dibahas lagi! Mending kita ke kamar aja, yuk! Mas capek mau istirahat!" Mas Bayu beranjak dari tempat duduknya, lalu berjalan menuju kamar kami. Ia seolah tidak peduli pada perasaan istrinya. Padahal dulu Mas Bayu sendiri yang menyuruhku untuk menunda kehamilan karena belum siap untuk memilih anak. Sekarang, malah aku yang disalahkan. Jika saja saat itu aku tidak menurutinya, mungkin tidak akan seperti ini jadinya. *** Sudah larut malam begini, mataku belum juga terpejam. Sudah kucoba untuk merubah posisi tidur, tapi tetap tidak bisa. Mata ini seolah tidak bisa diajak kompromi. Pikiranku berkelana jauh, memikirkan tentang rumah tanggaku. Sejak kehadiran Ibu mertua dan juga Adik iparku Hana di rumah ini, hidupku seolah tidak bisa tenang. Jangankan untuk berduaan dengan Mas Bayu, untuk bersantai saja tidak bisa. Selalu saja Ibu menyuruh ini dan itu. Kerjaan di rumah ini seolah tidak ada habisnya. Bukan cuma itu saja, beliau kerap kali meminta uang padaku dengan jumlah yang tidak sedikit. Padahal seluruh kebutuhannya di rumah ini sudah aku tanggung. Ditambah kebutuhan Hana adik iparku yang masih kuliah juga sangat banyak. Sehingga membuat kepalaku pusing dalam mengolah gaji Mas Bayu. Semua harus cukup, Mas Bayu tidak mau tahu hal itu. Untuk mencukupi kebutuhan di rumah ini, aku bekerja sebagai kasir laundry dari pagi sampai sore. Hasilnya lumayan, bisa menutupi kebutuhan dapur. Sebenarnya bisa dikatakan gaji Mas Bayu sudah lebih dari cukup. Ya, Mas Bayu memiliki toko bangunan, tapi itu semua tidak ada artinya karena sikap boros ibu mertua dan juga Hana yang suka berfoya-foya. Masih pertengahan bulan saja uang yang diberikan Mas Bayu sudah habis. Makanya aku bela-belain untuk bekerja, agar bisa menutupi semua pengeluaran. Jarum jam dinding sudah menunjukkan pukul 23.30, tapi mata ini belum juga terpejam. Aku kembali teringat pada foto bayi yang tersimpan di galeri ponsel Mas Bayu. Aku masih belum yakin dengan jawaban Mas Bayu tadi. Masa ia sih, foto itu diambil dari google? Karena rasa keingintahuanku, aku pun mengambil ponsel Mas Bayu yang berada di atas meja. Untung saja ponselnya tidak menggunakan kata sandi layar sehingga aku begitu mudah untuk mengeceknya. Galeri adalah menu pertama yang kubuka. Kutelusuri semua foto dan album. Ternyata di galeri tersebut ada sebuah album yang diberi nama 'my family'. Seketika mataku membulat saat melihat foto Mas Bayu sedang menggendong bayi. Ya, bayi yang digendongnya itu mirip sekali dengan bayi yang kulihat di foto itu. Ya Allah … apa arti dari semua ini? Tadi Mas Bayu ngakunya foto bayi itu ia comot dari google. Terus ini apa? Berbagai pertanyaan menari-nari di dalam pikiranku. Ada apa ini? Apa sebenarnya yang terjadi? Belum juga rasa penasaranku terjawab, tiba-tiba ponsel Mas Bayu yang sedang berada dalam genggamanku bergetar. Sebuah pesan WA masuk dari kontak yang bernama Andi. "Mas, besok beliin s**u buat Haikal ya. Susunya Haikal sudah habis nih." [Salah Mas sendiri, sih, enggak bolehin aku mengASIhi Haikal.] "Sekalian beli pampers dan juga pil KB ya Mas! Takut kebobolan, Haikal 'kan masih kecil, Mas." "Mas sudah bobo ya? Yaudah deh, mimpi yang indah ya, Sayang, bye." Tunggu dulu, apa aku tidak salah lihat? Kontak yang bernama Andi mengirim pesan seperti ini kepada suamiku? Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN