Bab 22 Kerusuhan di Hari Ulang Tahun

1001 Kata
Saat Indra memasuki ruang kerja suasana berbeda didapatkannya. Kue ulang tahun dan kartu ucapan telah menghiasi meja kerjanya. Masih terlalu pagi bagi Indra untuk menyaksikan kejutan. Kue tart dengan hiasan lilin angka dua puluh empat membuatnya terharu. Kartu ucapan tertulis rapi dibaca Indra. Dear Indra Happy Birthday!!! Semoga apa yang kamu harapkan berhasil. Jadilah pribadi yang rendah hati sampai kapanpun. Dibalik rasa bangganya, ia merasa bingung. Hati Indra bertanya-tanya, siapa pengirim kue tart ini. Hanya tertulis untuk penerima, tetapi pengirim disembunyikan. Rasa penasaran terhadap pengirim yang belum terjawab membuat Indra mencicipi kue dengan colekan tangan. Indra menunduk sembari memperhatikan kue agak lama. "Happy Birthday!" "Selamat ulang tahun!" Sontak saja Indra kaget dengan kehebohan dua anak muda. Masuk tanpa permisi, seolah seperti rumah sendiri. Indra tidak menyangka di belakang mereka ada Pak Cipta. Menyalami Indra secara bergantian dilakukan mereka. Ya, sebagai tanda ucapan selamat atas bertambahnya umur. "Makasih kalian semua," ucap Indra dengan rasa bahagia. Tanpa bersuara, Liza langsung menyalakan dua lilin warna merah yang berbentuk angka dua dan empat. "Tiup lilinnya ... tiup lilinnya, sekarang juga." Vino dan Liza semangat bernyanyi. Pak Cipta hanya mengawasi tingkah anak muda sembari melipat dua tangan di bawah d**a. Baginya menghibur diri tidak harus pergi menonton komedi, menyaksikan kebahagiaan orang lain bisa membuat hatinya merasa terhibur. Wusss .... Lilin berhasil ditiup Indra. Suara tepuk tangan membuat ruangan menjadi lebih ramai. Senyum menghiasi setiap wajah para insan yang dipertemukan dalam satu ruangan. "Hari ini api telah padam. Ambilah pelajaran darinya, andai saja api itu gak kamu tiup, kalau kena angin bakalan merusak segalanya," kata Vino. "Masyaallah, aku seneng kalau denger kamu ngomong kek gini, Vin." Indra memberikan pujian terhadap sahabatnya. "Potong kuenya ... potong kuenya, sekarang juga." Vino dan Liza masih menunjukkan kekompakannya. Indra mengambil pisau yang telah disiapkan di samping kue. Dengan mengucap "Bismillah" ia perlahan-lahan memotong kue dan meletakkan di atas kertas tebal yang biasa digunakan untuk meletakkan kue. Potongan pertama masih di tangan Indra. Ia hendak meneteskan air mata, tetapi berusaha ditahan agar tidak jatuh. "Andai saja ada Ibu di sini pasti kuberikan kepadanya." "Potongan pertama tetap menjadi hak ibumu. Bungkus saja!" pinta Liza. Dengan cekatan Liza merebut potongan kue yang masih berada di tangan Indra. Gadis itu menyisihkannya lalu berkata, "Kamu boleh memotong lagi untuk orang lain!" Indra yang tengah didampingi Liza dan Vino melakukan potongan kedua. Kue itu diberikan kepada Pak Cipta sebagai penghormatan. Usai kue diterima Pak Cipta jam waktu kerja telah datang. Pemilik perusahaan itu berpesan, "Silakan lanjut kerja! Jadilah manusia yang lebih baik, Nak Indra!" "Terima kasih petuahnya, Pak." Indra memberikan tanggapan terhadap kalimat yang diucapkan Pak Cipta. Laki-laki tua itu meninggalkan ruang kerja Indra. Tinggallah tiga anak muda yang masih menghuni ruangan bersejarah itu. "Kuenya dikasih ke kulkas aja gimana? Kita makannya nanti pas istirahat." Vino memberikan saran. "Ngikut aja." Indra memberikan pendapat. Liza tidak menjawab apa-apa, hanya saja aksinya menyetujui karena gadis itu langsung membereskan kue dan membawanya pergi dari ruang kerja Indra. Tanpa pamitan Vino langsung menerobos pintu. Indra berada dalam kesendirian setelah keramaian tinggal kenangan. *** Istirahat telah datang, sesuai dengan janji Vino dan Liza kembali memasuki ruang kerja Indra. Menikmati kue menjadikan mereka tidak pergi ke kantin. "Gimana enak gak?" Liza menanyakan soal rasa kepada dua orang temannya. "Enak kok. Teksturnya lembut, pokoknya pas di lidah," ujar Indra sambil mengacungkan jempol. "Lebih tepatnya menjadikan aku ngirit, gak jajan," kata Vino dengan polos. Beberapa potongan berhasil disantap Indra, tetapi ia tidak tahu kue berasal dari siapa. Tidak ada seorang pun yang mengakui kue itu pemberiannya membuat Indra berhenti menelan. "Bentar, Bentar! Ini kue dari siapa?" tanya Indra sambil menatap Vino dan Liza secara bergantian. "Itu yang buat Mbok Inah," jelas Liza. "Ini Mbok Inah siapa? Sepertinya aku gak kenal." "Kamu memang gak kenal, Mas. Mbok Inah itu yang bantu-bantu di rumahku," terang Liza singkat, padat, dan jelas. "Jadi kamu di rumah sudah gak sendirian dong!" Liza tersenyum. "Kalau sendirian aku gak bakal bawa kek ginian." Saat kebahagiaan mendatangi tiga manusia tanpa konflik, tiba-tiba suara pintu terbuka kasar sampai di telinga mereka. Sontak saja mereka mengarahkan mata ke arah pintu. Sosok Astri berdiri tegak di ambang pintu bagaikan penguasa yang mendatangi rakyatnya. "O, jadi gini ulah kalian. Udah kutunggu-tunggu di kantin ternyata pada di sini," kata Astri dengan sinis. "Kalian pada janjian?" tanya Liza pada dua laki-laki yang tengah duduk berjejer. "Vino yang biasanya makan bareng sama dia." Indra menunjuk ke Vino. "Wong cuman ketemu di kantin, gak janjian kok." kilah Vino. Dengan langkah keberanian Astri mendekati meja kue. Gadis itu langsung menyerobot seperti belum makan. "Ini kue apaan?" tanya Astri sambil menikmati kue. "Makanya jadi orang yang sopan!" Indra berkata dengan spontan. Astri tidak terima dituduh tidak sopan oleh Indra. "Saya sudah seperti ini tidak sopan. Baiklah akan kutunjukkan letak kesopananku." Gadis itu melepas blazzer, lalu menjalar ke jilbab yang dipakai. Liza langsung menarik gadis Astri keluar. Ia tidak mau sahabat laki-lakinya tergoda dengan petunjukan yang akan ditontonkan Astri. Tepat di depan pintu masuk Liza melepaskan tangan Astri. Jilbab tidak lagi menutupi kepala, blazzer telah terlepas membuat Liza malu sejadi-jadinya. "Kamu di sini kerja, bukan untuk menggoda laki-laki!" kata Liza sambil menyatukan gigi atas dan bawah. Perbincangan dua wanita menjadi sorotan para karyawan lain. "Apa yang terjadi, Bu?" tanya gadis berusia dua puluhan tahun yang kebetulan sedang melewati dua wanita. Liza tersenyum sambil berkata, "Gak papa." Gadis itu telah pergi. Liza melototkan mata sembari berkata, "Jika fitnah terjadi. Bersiaplah menghadapi kehidupan barumu!" "Saya akan tetap bersama prinsipku." Astri bersikukuh. Liza menghentakkan kakinya. Astri berjalan tanpa rasa malu, tanpa peduli pakaian semrawut yang digunakan. Liza menjabak rambut dengan kedua tangan, ia takut hal yang tidak diinginkan terjadi. Kembali memasuki ruang kerja Indra dilakukan Liza sembari berkata, "Orang gila itu sudah pergi." Baru saja selesai bicara. Astri kembali datang menggunakan tanktop. Dengan sigap Liza mendorong Astri untuk tidak memasuki ruangan asistennya. "Benar-benar gila." Dengan sigap Indra menelpon satpam untuk menyingkirkan Astri. Kedatangan dua satpam yang kekar membuat Astri tidak berdaya, gadis itu dikembalikan pada tempat kerjanya secara paksa. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN