Bab 21 Surprise Tidak Terduga

1090 Kata
Langit Surabaya menunjukkan pesona indahnya. Liza menyambut kedatangan pagi dengan olahraga senam sesukanya. Halaman rumah dijadikan tempat untuk olahraga sekaligus menikmati pemandangan yang ditunjukkan-Nya. Keringat mulai membasahi baju yang membalut tubuh Liza. Tidak perlu membutuhkan biaya mahal untuk hidup sehat, begitulah konsep yang tertanam dalam pikirannya. Olahraga dianggap cukup baginya, ia segera mengelap keringat yang bercucuran dengan handuk khusus. Niat untuk segera memasuki rumah ditunda karena mobil tidak asing berhenti tepat di depan rumahnya. Liza menyiapkan mental untuk menghadapi kenyataan. Rasa sedihnya sudah terluapkan saat di kantor ditemani Indra, sekarang hanya sisa-sisa kesedihan yang masih ada. Mata Liza menangkap empat orang keluar dari mobil. Dalam hati ia berkata, ‘Kenapa ngajak pembantu segala?’ Dengan tanggapan ramah, Liza mengajak tamunya memasuki ruang tamu. Saat mereka nyaman dalam posisi duduk, Liza langsung berkata, “Saya nanti langsung ke kantor jam sebelas. Pakde tidak perlu khawatir, saya akan menyelesaikan tanggungjawab saya.” “Kamu akan selamanya punya tanggungjawab di situ, Nduk,” kata Pak Cipta dengan tegas. “Panjenengan bisa ganti saya dengan orang yang lebih layak.” “Kenapa kamu ngomong seperti itu, Nduk?” tanya Bu Cipta. “Saya harus cari pekerjaan yang bayarnya lebih besar.” Perkataan Liza membuat suami istri itu melongo. Mereka saling melemparkan pandangan. Tidak menyangka ponakannya masih kurang dengan gaji dan fasilitas yang diperoleh. “Kamu itu gak ada bersyukur-syukurnya ya?” ucap Pak Cipta sambil menggelengkan kepala. Liza tidak mau dituduh tidak mensyukuri apa yang telah didapatkan membuatnya berkata, “Aku sudah mensyukuri apa yang telah diberikan Tuhan sampai saat ini, tapi bersyukur saja tidak membuatku cukup. Apalagi cobaan berat yang harus kuterima.” Pak Cipta tidak meneruskan kemarahan yang akan diciptakan karena kata-kata Liza sangat menyentuh. Ia teringat kemarahan yang ditunjukkan pada Liza kemarin. Memang ada penyesalan dalam dirinya, tetapi semua sudah terlanjur. Seharusnya dirinya menjadi penenang bukan menambah kesedihan yang ada. “Maafkan pakdemu ini ya, Nduk! Kemarin terlalu emosi.” Pak Cipta mengakui kesalahannya. “Liza memaafkan Pakde kok.” Perkataan yang diucapkan Liza membuat Pak Cipta dan istrinya lega. Ia bersyukur kemarahan yang tidak jelas termaafkan. Pendengar setia dilakukan dua manusia yang dipercaya keluarga mereka. Suasana mendadak sunyi usai saling memaafkan. Pak Cipta mengubah kesunyian dengan memulai pembicaraan. “Apa kamu tidak bisa merubah keputusanmu untuk mencari uang yang lebih banyak?" "Tidak." Liza tidak mau mengubah keputusannya. Kecemasan melanda Pak Cipta, ia tidak tahu masa depan perusahaan kalau Liza pergi dari kehidupannya. Dengan lunak ia mempertanyakan alasan keponakannya. "Apa terkuatmu?" "Tidak perlu kujawab. Pakde pasti sudah tahu." Liza bersikeras untuk tidak terus terang maksud kepergiannya. Pak Cipta tidak mau kedatangannya membawa sia-sia. Ia memutarkan otak agar Liza tetap berada dalam perusahaan miliknya. "Bagaimana kalau perusahaan yang pakde bangun jatuh ke tangan orang lain?" "Pakde sudah tidak mempedulikan perasaanku. Aku juga tidak peduli akan hal itu." Kalimat yang baru saja diucapkan Liza seperti misi balas dendam. Pak Cipta tetap berusaha untuk melunakkan hati ponakannya. "Bukankah saya sudah minta maaf dan kamu sudah memaafkan!" Liza tersenyum kecut. "Aku memang sudah memaafkan. Tapi gak akan bisa ngembalikan hartamu kan, Pakde!" "Terus apa hubungannya?" "Iya. Gajiku belum bisa untuk membeli mobil baru," tandas Liza. Pak Cipta tertawa berbahak-bahak. Liza kesal, ia merasa dihina oleh pakdenya sendiri. Gadis itu mengembuskan nafas dengan kasar. "Bagus! Liza sebagai bahan guyonan," kata Liza dengan suara meninggi. Tawaan mengudang emosi menjadikan Pak Cipta meluruskan perkataannya. "Kamu jangan marah dulu, Nduk! Kamu pengin mobil? Nanti pakde kasih." "O, begitu. Kemarin kenapa pas Liza kena musibah malah diomelin. Tenang aja, Liza mau kerja di tempat yang uangnya lebih banyak mau buat gantiin mobil Pakde yang kebakar kok. Bukan untuk kesenangan Liza pribadi," kata Liza sambil menahan air mata. Pak Cipta tidak menyangka kalau kemarahannya waktu itu dipikir secara dalam oleh ponakannya. Sejauh itu Liza berpikir. Ia bangga dengan keponakannya yang bertanggung jawab, walaupun bukan berasal dari kesengajaan dirinya. "Pakde bangga denganmu. Kamu wanita yang bertanggung jawab atas mobil yang kuberikan. Kamu gak perlu mengganti," kata Pak Cipta dengan tersenyum. "Kamu seharusnya tahu Liza, kalau pakdemu itu menderita hipertensi," timpal Bu Cipta Kalimat yang baru saja diucapkan sang Bude membuat Liza bisa memahami. Ia hanya mengangguk tanpa bersuara setelah pengakuan itu datang. "Kalau kamu masih mau cari uang banyak untuk beli mobil Pakde ikhlas. Kamu yang beli, maka seratus persen jadi milikmu," kata Pak Cipta dengan berat. Suatu ketidaktegaan melihat sepasang suami istri yang sudah tua membuat Liza mengambil keputusan secara dadakan. "Liza akan tetap bekerja di perusahaan yang Pakde bangun." "Kamu serius!" tanya Pak Cipta untuk memastikan. Liza tersenyum. "Serius." Kebahagiaan dirasakan Pak Cipta dan Bu Cipta saat ponakannya kembali membuka hati. Sekeras apapun pendapat manusia akan mudah dilunakkan, jika mendapat masukan yang bernalar. "Kamu tahu kita mengajak Mbok Inah ke sini?" tanya Bu Cipta. "Biar Mbok Inah ngerti kontrakan Liza," jawab Liza. "Tentu saja, Non." Mbok Inah ikut nimbrung. Liza malu dengan panggilan yang diberikan. "Kayak di tv-tv aja. Panggil nama ajalah, jangan Non!" "Aduh. Kayak gak enak kalah manggil Liza gitu, ya udah kalau mbak aja gimana?" "Seenaknya Mbok Inah aja. Asal jangan Non!" "Pakde bawa Mbok Inah untuk teman Liza di sini. Pakde khawatir aja, anak cewek tinggal sendirian di rumah. Beliau ini akan menemani kamu 24 jam," jelas Pak Cipta. Liza tidak menyangka mendapat surprise dari Pakde dan budenya. Ia menganggap hal ini sangat istimewa dalam hidupnya. *** Astri belum melihat batang hidung Liza membuatnya mencari peluang untuk masuk ke ruang kerja Indra. Rasa kecewa dirasakan Astri saat laki-laki harapannya tidak berada di dalam ruangan. "Oke. Aku tunggu di sini," kata Astri sambil duduk di kursi yang berhadapan dengan kursi Indra. Indra memasuki ruangannya. Ia terkejut saat melihat Astri berada dalam ruangan sambil memainkan handphone. Suara lantang dikeluarkan Indra. "Ngapain kamu di sini?" Suara Indra sampai ke telinga Astri. Gadis itu menghentikan permainan handphonenya. Menoleh ke arah belakang sambil menatap Indra yang tengah mematung. "Nunggu kamu." "Ini bukan jam kerja kamu. Saya kira gak ada urusan dengan saya," kata Indra sambil melangkahkan kaki. "Saya memang masuk siang bukan masuk pagi, Pak. Tapi apa salahnya kalau saya ingin bertemu Bapak?" Posisi duduk dilakukan Indra. "Jelas salah. Jangan temui saya diluar jam kerja!" "Ini ruangan ber-AC tapi gerah banget." Astri membuka jilbab yang membungkus rambutnya. Melihat aksi Astri yang tidak patut membuat Indra berkomentar, "Di sini ada CCTV lho!" "Tidak peduli." Astri memperlihatkan rambut cantiknya dihadapan Indra. 'Astagfirullah. Ini godaan macam apa? Dia berani membuka jilbab di hadapanku, padahal dia jelas-jelas bukan mahromku. Lebih baik aku pergi daripada mengundang fitnah,' batin Indra. "Silakan nikmati ruangan ini! Ada yang harus saya selesaikan diluar." Indra memberikan alasan. Indra segera pergi meninggalkan wanita yang memancing-mancing dirinya. Ia memang berbohong, tetapi dalam hal kebaikan. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN