Bab 23 Ketidakwarasan Astri

1022 Kata
Malam akan dijadikan saksi rapat keluarga Pak Cipta. Liza terlibat didalamnya, walaupun status hanyalah seorang keponakan. Cukup tiga manusia yang hadir dalam pembahasan penting. Ruang keluarga dengan hiasan lampu yang bergelantung bagaikan rumah konglomerat menambah pancaran keindahan. Suguhan buah-buahan menjadi andalan mereka. Air putih tidak pernah terlupakan dalam setiap kesempatan. Sederhana, tetapi terasa mewah. "Maafkan kami, Liza! Kami memutuskan untuk tidak memberikan fasilitas mobil untukmu," kata Pak Cipta dengan keberatan. Liza tersenyum. "Pakde dan Bude telah memberikan kesempatan padaku untuk memakai mobil sesukaku. Itu sudah membuatku bahagia." Jawaban dari Liza sangat memuaskan membuat Pak Cipta dan istrinya bangga. Gadis yang emosian kini sudah mengubah pikirannya menjadi lebih dewasa. "Tapi tenang aja. Kami sudah menyiapkan yang terbaik untukmu." Bu Cipta memulai pembicaraan. "Aku tahu kalian selalu memberikan yang terbaik untukku. Dari fasilitas mobil, pekerjaan Pakde yang dialihkan ke aku sampai sekarang, bahkan mengikhlaskan mobil yang telah terbakar." Liza menorehkan cerita singkat hidupnya. "Kami ada surprise untukmu. Semoga kamu suka." Bu Cipta menatap ponakannya dengan penuh kasih sayang. "Apa itu?" tanya Liza dengan penasaran. "Ayo ikut kami!" ajak Pak Cipta. Dengan mata berbinar-binar Liza mengikuti jejak langkah pakde dan budenya. Ruang keluarga telah ditinggalkan berujung keluar rumah. Aura negatif timbul dari pikiran Liza. Ia takut kalau surprise yang diberikan pakde dan budenya ternyata jebakan. Apalagi diwaktu malam. "Tidak .... " Suara sampai ke telinga sepasang suami istri membuat Pak Cipta bertanya, "Kamu kenapa?" Liza tidak kunjung menjawab pertanyaan pakdenya. Ia mengeliarkan matanya ke segala penjuru arah memastikan dirinya dalam keadaan baik-baik saja. Batinnya berkata, 'Ingat Liza, ini bukan kayak film di tv-tv! Ini kehidupan nyata.' Pertanyaan Pak Cipta tidak kunjung dijawab Liza. Gadis itu malah terlihat seperti ketakutan, binar bahagia yang terpancar matanya kini hilang. Istri Pak Cipta langsung menepuk pundak keponakannya. Dengan spontan Liza langsung berkata dengan lantang, "Aku gak mau dapat surprise." Penolakan yang terlontar dari mulut sang keponakan membuat Pak Cipta dan istrinya kaget. Suami istri itu saling melemparkan pandangan seolah menolak kalimat yang diucapkan Liza. "Kenapa, Liza? Ini hari spesial lho!" Bu Cipta memberikan penjelasan. "Aku gak mau nikah dilamar sekarang," kata Liza sambil melemaskan badannya hingga terjun ke lantai. Pak Cipta menggeleng. "Dari mana kamu tahu?" "Dari tv-tv." "Bangunlah, Nduk! Ini hidup nyata bukan tontonanmu di TV. Kamu habis nonton apa? Kok jadi begini." Bu Cipta mengernyitkan dahi sambil menepuk pipi Liza perlahan-lahan. Kalimat yang baru saja diucapkan budenya membuat Liza sadar. Ia tidak menyangka sebegitunya menghayati tontonan sampai masuk dalam kehidupannya. Liza kembali memgangkat tubuhnya untuk berdiri. Rasa malu mulai timbul saat melihat sopir andalan Pak Cipta menyaksikan ulahnya. Batinnya berkata, 'Untuk cuman ketahuan Pak Sopir. Coba aja ada orang perusahaan, mati dach aku.' "Kamu sudah sadar kan! Pesan Pakde cuman satu, jangan pernah bawa tontonan film di dunia nyata!" kata Pak Cipta diiringi bahasa isyarat satu jari. "Ihh. Udah lupakan aja, Pakde!" pinta Liza dengan rasa malu yang masih tersisa. Liza terus mengikuti langkah kaki pakde dan budenya. Mereka berhenti di depan garasi sembari menatap langit yang penuh bertaburan bintang. Hanya sekadar ikut-ikutan dilakukan Liza. "Sekarang lihat ke belakang, Nduk!" pinta Pak Cipta. Pikiran negatif kembali muncul dalam benak Liza. "Di belakang ada hantu? Jadi Pakde mau jebak saya lagi." Saking kesal dengan keponakannya yang menilai dengan kacamata negatif membuat Pak Cipta berkata dengan nada tinggi. "Kami memang suka menjebak. Apalagi sama ponakan sendiri." Surprise belum kunjung datang, Liza malah merasa dikerjain oleh pakdenya. Dengan muka cemberut Liza membalikkan badan. Ia sama sekali tidak menyangka mendapat sambutan yang begitu indah. Motor matic baru dan bermerek tepat di depan matanya. "Ini beneran surprise untukku, Pakde, Bude!" Pak Cipta dan istrinya tersenyum lebar. Rasa berterima kasih membuat Liza jingkrakan bahagia. Ia tidak membandingkan dengan mobil yang telah terbakar, tetapi ia sangat bersyukur atas perhatian yang diberikan mereka. *** Motor baru mengantarkan Liza sampai ke perusahaan. Banyak pasangan mata yang mengamati seorang Liza. Ia tetap percaya diri, tanpa peduli apa kata mereka. Parkiran mempertemukan Liza dan Indra. Liza tersenyum saat empat bola mata di antara mereka bertemu. Indra hanya menanggapi dengan senyuman saja. Saat hendak meninggalkan parkiran, Indra mendatangi Liza yang masih santai duduk di atas motor. "Tumben pakai motor!" "Apa salahnya seorang Liza pakai motor?" Liza balik bertanya pada Indra. "Ya, kan biasanya pakai mobil atau naik taxi." "Apakah dengan motor akan menurunkan derajat seseorang?" Liza masih saja menodongkan pertanyaan pada Indra. Pertanyaan berkelas membuat Indra menjawab sesimple mungkin. "Gak juga." Secara dadakan Astri mendatangi Indra dan Liza yang saling bercakap-cakap. Gadis itu menunjukkan pose manja. "Aduh. Mobilnya kemana, Bu Bos?" tanya Astri sambil membenahi kacamatanya. "Kenapa Anda tidak pakai mobil?" Liza balik bertanya. "Ya elah, Bu Bos. Masih di tempat penjualnya." "Jawaban saya sama dengan jawaban Anda," tegas Liza. "Ouh. Berarti kita kelasnya sama ya?" Astri mulai memancing masalah. "Maksudmu?" "Gak punya mobil. Selera kamu hanya seorang asisten. Gak laku kali ya?" kata Astri sambil terkekeh. "Emang dagangan!" bela Indra. Ingin berkata kasar, tetapi Liza sadar akan dirinya. Berada di lingkungan perusahaan dengan posisi terhormat tidak mungkin dilakukannya. Dengan sengaja Astri menendang motor Liza dengan high heels yang dipakai. Emosi semakin memanas membuat Liza berkata dengan nada tinggi. "Kamu bener-bener tidak sopan ya!" "Aduh. Bu Bos sudah mulai terhipnotis oleh Indra." Astri tidak lagi mempedulikan jabatan yang dimiliki Liza. "Kamu pikir aku tukang hipnotis!" bantah Indra. "Kamu bisa menghipnotis Liza, tetapi tidak denganku. Padahal aku sudah mati-matian cari cara agar jatuh cinta denganku, tapi kamu malah sama Liza." Astri memberikan pengakuan. Liza menatap Indra sambil menggeleng. Ia tidak menyangka surprise akan berujung kesialan. 'Tidak. Ini bukan kesialan, tapi cobaan yang Tuhan berikan padaku,' batin Liza untuk memotivasi diri-sendiri. Dengan langkah kilat Liza meninggalkan Astri dan Indra yang membuat dirinya terbawa emosi. Langkah kaki Liza disusul Indra. Astri tertawa licik. Ia bangga bisa memperkeruh suasana di hari yang masih terlalu pagi. Ia tidak mempedulikan lagi, jika akan berimbas dipecat. "Liza, sekarang kamu dengar itu suara siapa?" pinta Indra sambil menyusul langkahan kaki Liza. Liza menghentikam jalannya, tanpa menoleh ke arah belakang untuk memenuhi permintaan Indra. Ia memasang kuping sebaik mungkin, suara tawa licik terdengar sampai kupingnya. "Aku dengar. Biarkan dia bertindak sesukanya." Liza pasrah, tetapi pikirannya tidak akan pernah tinggal diam. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN