Bab 20 Penyesalan Pak Cipta

1070 Kata
Mobil dijadikan tempat pertengkaran antara suami istri. Sopir hanya mengemban tugasnya untuk mengantar sang tuan menuju rumahnya, ia tidak peduli dengan perdebatan yang ada. "Sama ponakan sendiri kok jahat. Pantes saja kita gak dikasih keturunan. Andai kita punya keturunan bakal ribut terus rumah kita," kata istri Pak Cipta seolah menyalahkan suaminya. Pak Cipta merasa tidak terima dengan kalimat yang dilontarkan istrinya. "Kamu nyalahin aku? Kamu nganggap aku mandul?" Istri Pak Cipta hanya terdiam. Ia teringat janji saat ulang tahun pernikahannya yang ke-10. Kenangan masa lalu kini hadir. "Kita sudah sepuluh tahun menikah, tapi belum dikaruniai anak. Apakah kamu masih setia bersamaku?" tanya Pak Cipta pada istrinya. "Bagaimana kalau di antara kita ada yang mandul? Andai saja aku, apakah kamu akan meninggalkanku?" Istri Pak Cipta meneteskan air mata. "Aku akan selalu mendampingimu sampai akhir hayat. Apakah kamu akan pergi kalau aku mandul?" Pak Cipta bertanya balik. "Kita ditakdirkan bersatu. Tidak ada seorang pun yang bisa memisahkan kita selain kematian." Pelukan hangat terjadi pada suami istri itu. Mereka telah berjanji tidak akan mengungkit kekurangan masing-masing. Pergi ke dokter kandungan untuk memastikan kemandulan tidak dilakukan pasangan itu, mereka bisa saja melakukannya, tetapi takut melukai perasaan hati pasangannya. Lamunan itu membuat istri Pak Cipta berkata dengan lantang. "Kamu sendiri yang bicara, bukan aku. Ingatlah saat ulang tahun pernikahan kita yang ke-10! Apa janji kita waktu itu?" Pak Cipta yang tengah duduk di samping sopir mendadak menoleh ke arah istrinya. Otaknya kembali mengingatkan dirinya pada masa lampau. "Gak usah bahas itu lagi. Liza emang ceroboh," gerutu Pak Cipta. Ponakan perempuan kesayangannya dikatakan ceroboh membuat istri Pak Cipta menantang. "Maksud kamu ceroboh gimana? Udah tua cari masalah aja." "Terserah kalau kamu mau belaain anak itu. Kalau gak ceroboh parkir, itu mobil gak akan kebakar," tandas Pak Cipta. "Kamu bisa mengatakan ceroboh kalau Liza sendiri yang memasang agar mobil itu terbakar. Kenapa gak marahin pelakunya aja?" Istri Pak Cipta terbawa emosi terpancing suaminya. "Bela terus, bela terus!" Emosi Pak Cipta semakin meledak ketika ditanggapi istrinya membuat wanita itu memilih diam dan mengalah. Ngalah bukan berarti nyerah, tetapi menghindari masalah pribadi menyebar ke orang lain karena ada orang asing dalam mobil yang dikendarai. *** Raut wajah tidak seperti biasanya ditunjukkan Liza. Gadis itu langsung memasuki ruang kerja tanpa menyapa karyawan yang dijumpai. Senyum terpaksa ditunjukkan saat orang menyapa dirinya terlebih dahulu. Kondisi terkini Liza telah sampai ke Indra lewat seorang office boy. Jam istirahat membuat Indra mendatangi ruang kerja Liza. Gadis itu tengah menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. Tanpa izin Indra langsung mendekati Liza. Kedatangan Indra disambut Liza dengan kebisuan. Berdiri di depan meja Liza dilakukan Indra. Tetapi, gadis itu tidak memberikan respons apapun. Indra memulai pembicaraan. "Kamu baik-baik saja kan?" "Seperti yang kamu lihat," jawab Liza sambil tersenyum. Kemurungan terlihat jelas di muka Liza, tetapi Indra tidak bisa menebak apa yang sedang terjadi dalam kehidupan pimpinannya. "Ada yang bisa saya bantu!" Indra menawarkan bantuan. "Dengan kedatanganmu aku sudah bahagia." Indra semakin tidak mengerti maksud dari kalimat Liza. Ia mencoba menelaah berkali-kali, tetapi otaknya tidak kunjung mendapatkan jawaban. Indra belum juga melontarkan kalimat. Liza angkat bicara lagi. "Mungkin ini pertemuan kita yang terakhir." Pikiran Indra langsung tertuju pada kematian. "Kamu bicara apa?" Seketika Liza mengeluarkan air mata. Indra menafsirkan ada beban hidup berat yang disembunyikan. Tetapi, Indra sendiri tidak mau mencampuri urusan itu selama Liza tidak terus terang dengannya. Cairan bening dari mata Liza terus keluar membuat Indra memberikan tisu yang terletak di sampingnya. Pemberian Indra diterima gadis itu dan membuatnya sibuk menahan aliran deras dalam pipinya. Sepuluh menit telah berlalu, tetapi pipi Liza masih basah. Kebingungan dirasakan Indra, ia takut fitnah mendatangi dirinya, apalagi berduaan dengan lawan jenis dalam satu ruangan ditambah tangisan. "Hentikan tangismu. Aku ada di sini!" pinta Indra dengan tulus. Liza berusaha menghentikan tangisnya. "Sebenarnya aku ingin bercerita." "Ceritakan! Jika dengan bercerita hatimu menjadi lebih tenang, ceritakanlah!" kata Indra sambil tersenyum tipis dan singkat. Dengan ketegaran Liza menceritakan kejadian yang membuatnya meneteskan air mata. Indra mendengar dengan cerita Liza dengan seksama. "Mungkin pakdemu darah tingginya naik. Berpikir positiflah!" Indra memberikan tanggapan terhadap cerita Liza. "Tapi beliau sangat marah karena mobil pemberiannya terbakar. Aku gak tahu harus bagaimana? Mungkin akan kuganti rugi mobil itu, jika aku udah kerja." Liza berusaha menenangkan hatinya sendiri. "Aku kenal Pak Cipta sudah lama. Beliau gak seperti itu." Liza mengusap air mata sambil memgarahkan pandangannya ke atas. "Justru aku yang lebih dekat, Mas. Aku punya hubungan darah dengannya." Dengan tegas Indra memberikan sanggahan. "Aku paham. Tapi, lebih lama siapa mengenal dalam dunia kerja? Aku atau kamu?" Liza terdiam. Mata terlihat merah, membuat gadis itu menggunakan kacamata dengan lensa hitam untuk menutupi kesedihannya. Tanda waktu usai istirahat berbunyi membuat Indra segera meninggalkan Liza. Ia membiarkan perutnya yang tidak terisi siang ini. Walau merelakan perut, hatinya bahagia bisa menemani Liza yang tengah dilanda masalah. *** Ruang tamu dijadikan tempat untuk melamun oleh Pak Cipta. Penyesalan dirasakannya. "Ibu perhatikan dari tadi Bapak melamun. Ada apa, Pak?" kata Istri Pak Cipta sambil menepuk pundak suaminya. Pak Cipta menoleh ke arah istrinya. "Bapak merasa menyesal, Bu." Istri Pak Cipta yang baru saja datang ikut bergabung duduk di ruang tamu. "Apa yang sampeyan sesalkan?" "Liza, Bu." Dugaan seorang istri benar. "Akan kau tebus dengan apa penyesalan itu?" Pak Cipta bingung dengan pertanyaan istrinya. Ia tidak menyangka kalimat seperti itu akan keluar dari mulut istrinya. Dugaanya hanya disuruh minta maaf, ternyata lebih dari itu. "Maksud kamu saya harus membelikan dia mobil lagi?" tanya Pak Cipta. "Gak harus. Bapak gak kasihan apa? Liza itu di rumah sendirian. Ngerjain apa-apa sendiri. Emang sampeyan pernah merasakan hidup kayak Liza?" Bu Cipta berusaha memberikan penjelasan pada suaminya. Pak Cipta mengangguk. Pikirannya langsung tertuju pada Mbok Inah sebagai penebus kesalahan yang dialami. "Aku memang belum pernah merasakan momong anak, tapi aku dengan mudahnya menyakiti keponakanku sendiri. Akanku kirimkan Mbok Inah untuk Liza," kata Pak Cipta sambil memahan air matanya agar tidak tumpah. Bu Cipta bangga mendengar keputusan yang baru saja diucapkan suaminya. "Aku setuju, Pak." "Kalau kita cari pembantu untuk Liza, belum tentu orang itu dapat dipercaya. Kita berikan yang terbaik untuk dia." Bu Cipta tersenyum. Kepalanya mengangguk. Tangan mengelus-elus tubuh bagian belakang sang Suami yang duduk di sampingnya. "Kenapa aku tadi terlalu emosi? Seharusnya aku senang Liza masih hidup. Kenapa harta yang tidak bisa ditolong membuatku marah?" Pak Cipta seolah-olah menyalahkan dirinya. "Lupakan!" pinta Bu Cipta. Satu kata misterius membuat Pak Cipta tidak lagi menyalahkan dirinya secara terus-terusan. Cukup mengakui kesalahan yang telah diperbuat. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN