Bab 24 Panggilan Pengundang Drama

1028 Kata
Suara deringan telepon tengah malam mengagetkan Indra. Tidur pulasnya terganggu. Tangannya terpaksa meraih handphone yang terletak di atas meja sampingnya. Diri Indra yang dipenuhi rasa kantuk membuatnya tidak sadar sampai terjatuh. Ia sadar ketika tubuhnya terbentur dengan lantai. "Ini orang kurang ajar bener. Ngapain juga jam segini telepon?" gerutu Indra tanpa mengetahui siapa yang sedang menelpon. Mata Indra tertuju pada jam dinding yang menunjukkan pukul 00.15 WIB. Suara deringan masih membisingkan telinganya. Dengan mata masih lengket membuat Indra terpaksa mengambil handphone yang gagal diambil dengan posisi terlentang. Indra mengucek matanya untuk mendapatkan penglihatan yang lebih terang. Matanya langsung terbelalak saat tulisan Pak Cipta yang melakukan panggilan. "Andai saja bukan Pak Cipta. Gak bakal kuangkat," gerutu Indra sambil memencet tombol hijau dengan kasar. Indra: Hallo, Pak! Ini benar yang nelepon Pak Cipta bukan diteror dedemit! Indra langsung melakukan sindiran secara halus kepada Pak Cipta. Pak Cipta: Iya. Ini benar saya. Kamu jangan berprasangka yang enggak-enggak ya! Indra: Kan ini tengah malam, Pak. Bikin ngeri aja kalau aku dapat teror telepon malam-malam kek film horor. Pak Cipta: Kamu kek Liza aja. Jangan-jangan kalian jodoh! Pengalihan pembicaraan dilakukan Indra. Indra: Bapak nelepon saya tujuannya apa? Aku mau lanjut tidur. Pak Cipta: Besok jam sepuluhan ke rumah saya, ya! Ada yang ingin saya bicarakan. Indra: Siap, Pak. Indra langsung memencet tombol merah usai mengiyakan permintaan Pak Cipta. Ia tidak peduli mau disuruh apa saat di rumah pemilik perusahaan. Yang jelas ia lebih mementingkan melanjutkan tidurnya. Ranjang dinaiki Indra. Ia menutup tubuhnya yang dibalut kaos dan celana boxer dengan selimut. Mata dipejamkannya untuk melanjutkan berkelana di alam mimpi yang sempat diganggu Pak Cipta. *** Berdiam di dalam ruang kerja sembari mengerjakan pekerjaan dilakukan Liza. Gadis itu terlihat sibuk dari biasanya. Hingga ia tidak sempat mengunjungi ruang kerja asistennya. Disaat fokus-fokusnya bekerja tiba-tiba terdengar suara ketukan. Liza ingin meluapkan emosi kala diganggu saat bekerja, tetapi ia berusaha untuk profesional. "Masuk aja!" pinta Liza yang tetap terfokus pada layar komputer. Indra memasuki ruang kerja Liza dengan seorang diri. Indra berdiri tepat di depan meja Liza. Gadis itu tidak menggubris kedatangan asistennya. Sambutan senyum yang biasa ditunjukkan kali ini menghilang. Tidak mau terus-terusan diperlakukan cuek oleh Liza membuat Indra membuka mulut. "Bu .... " "Silakan duduk!" Liza mempersilakan asistennya sambil menatap Indra secara singkat. Mengikuti kemauan dilakukan Indra. Usai ia terduduk, Liza kembali menyibukkan diri di depan komputer. Liza yang lebih mementingkan benda yang tidak memiliki perasaan membuat Indra kesal hingga terlontarlah kalimat. "Saya datang ke sini untuk menghormati atasan saya, tetapi kenyataannya Anda tidak bisa menghargai kerja keras saya." Indra mengubah posisi duduknya menjadi berdiri. Liza langsung mengalihkan pandangan ke arah lawan bicaranya. "Kamu tidak mementingkan perasaan manusia, tetapi lebih menentingkan benda yang tidak akan bisa memberimu solusi. Lepaskan dari pembicaraan masalah harta," ucap Indra dengan tegas. "Kamu tahukan kalau aku lagi sibuk. Seharusnya kamu ngertiin aku dong!" tuntut Liza. "Bagi saya ini penting. Mungkin bagi Anda tidak." Indra berkata dengan santai "Maksud kamu! Kalau gak penting mending gak usah ke sini." Liza terlihat seperti menantang. "Oke. Saya yakin Anda pasti akan berkata pekerjaan gak kelar, gak profesional dalam bekerja." Indra langsung menggerakkan kaki untuk meninggalkan Liza. Indra yang hendak keluar ditahan Liza dengan menarik lengan. Indra terlihat dingin saat menyaksikan perlakuan gadis itu. "Mau apa lagi?" tanya Indra dengan nada datar. "Kita bisa selesai secara kekeluargaan." "Buat apa? Gak penting. Aku cuman mau bilang, hari ini Pak Cipta mengundang aku. Puas!" kata Indra dari nada rendah hingga tinggi. Perlahan-lahan Liza melepaskan lengan Indra. Usai lepas dari cengkraman tangan Liza, Indra langsung menerobos pintu keluar. Liza masih mematung di depan pintu. Penyesalan mendatangi dirinya, tetapi telah terlambat. Ia menyadari telah mengadaikan perasaan seseorang dengan keegoisan dirinya. "Indra disuruh ngapain di rumah Pakde? Ahh, bodo amat. Itu urusan laki-laki. Tapi, gak mungkin juga kalau gak penting. Lagian juga Pakde tahu kalau hari ini Indra kerja." Kembali menuju posisi semula di depan komputer dilakukan Liza. Tetapi, ia tidak bisa kembali terfokus pada pekerjaan. Yang terpikir dalam otaknya hanyalah Indra dan Pak Cipta. Liza menyesal telah memperlakukan Indra dengan cuek. Andai saja tampilan cuek tidak ditunjukkan, laki-laki itu pasti mengatakan secara terang-terangan. Satu jam telah berlalu, otak Liza belum juga terfokus pada pekerjaan. Pikiran yang sama masih mengintai dirinya. Tidak mau terus-terusan terperangkap dalam otak yang terus menjalar membuat Liza meninggalkan ruang kerjanya. Ruang kerja Indra dimasuki Liza. Mata Liza tidak menemukan sosok yang dicari. Hanya benda-benda mati yang ditangkap matanya. Dengan kasar pintu ruang kerja asistennya ditutup. Kaki Liza berjalan dengan kilat membuat rambutnya yang bergerai panjang berkibaran. Berpapasan dengan Vino membuat Liza menghentikan jalannya. "Ada apa, Bu?" tanya Vino yang ikut menghentikan jalan. "Kamu lihat Pak Indra?" Ya, Liza memanggil teman kerjanya selalu dengan sebutan Pak atau Bu ketika berada dalam lingkup pekerjaan. Namun, jika diluar jam kerja mereka memanggil dengan sebutan sesukanya. "Emang gak izin sama sampeyan?" Vino tanya balik. "Memang kamu dipamiti mau ke mana?" tanya Liza sambil mengedarkan pandangan ke segala penjuru arah. "Ke rumah Pak Cipta." Vino memberi pengakuan. "Udah berangkat dari tadi? Atau barusan?" tanya Liza lebih detail. "Tanya satpam sama Pak Satpam. Tadi pagi dia cuman bilang disuruh ke rumah Pak Cipta pagi ini." Vino memberikan penjelasan. Liza mengangguk. Gadis itu melanjutkan jalannya. Tetapi Vino mengejarnya. Hingga gadis itu berhenti. Liza terlihat kesal dengan tingkah. "Apa lagi?" "Pertanyaan saya belum dijawab. Tadi sampeyan gak dimintai izin kah?" Vino mengajukan pertanyaan hampir sama, walaupun beda pengolahan kata. Menutupi kesalahan dirinya sendiri dilakukan Liza. "Iya. Tadi udah izin kok." Liza tidak mau berurusan dengan Vino. Ia melanjutkan langkahnya tanpa mempedulikan sahabat Indra. Tempat satpam berada didatangi Liza. Dua orang yang tengah jaga bergegas berdiri saat melihat Liza datang dengan jalan kaki yang hanya membawa seorang diri. "Kok cuman jalan kaki, Mbak?" sapa satpam tua. "Karena cuman mau ke sini." "Emang ada apa?" tanya dua orang satpam dengan kompak. "Tadi motor Bapak melihat motor Pak Indra tidak ya?" "Dia sudah keluar sekitar setengah jam yang lalu. Emang ada apa, Mbak?" "Ya udah. Gak papa kok, Pak. Berarti beliau sudah berangkat." Bertanya di tempat satpam salah satu cara Liza memastikan asistennya jadi pergi atau tidak. Kepastian sudah didapatkan membuat Liza meninggalkan dua laki-laki itu. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN