Sembilan

1230 Kata
“Apa maksudmu?” bentak Steve. “Sasaran sedang berada dekat dengan korban” “Kau berhasil melihatnya baik-baik, Castel?” tanya Steve lagi, mobil yang dikendarainya sedang melaju menuju tempat yang sama dengan Castel berada sambil berusaha untuk menghubungi William. “Itu memang dia, betul sekali,” jawab Castel dengan pandangan mata yang tertuju lurus ke arah sebuah bangunan yang sudah mereka kepung. “Itu Marcus.” Tampak di kejauhan Brigitt yang bergerak-gerak gelisah dan berdiri di dekat Marcus. “Jangan ada yang menembak,” perintah Steve dengan lantang dibalik kemudinya. “Tidak seorang pun boleh bergerak sebelum aku sampai di sana. Mengerti?” Castel mengiakan. “Aku ingin Marcus hidup-hidup, Castel.” Steve mengatakannya lagi, tapi Castel tidak mendengarnya. Terjadi keributan di ujung lain sambungan. Castel terdengar jauh sekali, katanya dia membawa penambak jitunya yang terbaik. “Tidak boleh ada yang menembak,” kata Steve berulang kali. Menangkap Marcus hanya separuh dari tugas Steve, mencari tahu semua dalang di belakangnya adalah sisanya. “Tahan tembakan kalian. Perintahkan anak buahmu untuk menahan tembakan mereka.” Tapi sayangnya Castel sibuk mendengarkan suaranya sendiri sehingga tidak mendengarkan suara Steve. “Disini gelap, tapi kami telah membawa kacamata night vision. Kami bisa melihat Brigitt.” “Bagaimana keadaannya?” tanya Steve tak sabar, mobilnya masih terus melaju. “Gadis itu ketakutan, Steve.” Ada jeda sebentar sebelum Castel menginformasikan, “Ada senjata.” Seketika jantung Steve bekerja lebih cepat dari satu detik sebelumnya. “Jangan ada yang menembak, Castel. Aku katakan sekali lagi. Kalian mengerti?!” seru Steve. “Dia menyandera gadis itu, Steve.” Mobil yang dikendarai Steve meluncur ke jalan masuk, memarkir mobil saat terlihat jelas dirinya tidak bisa melaju lebih jauh. “Aku di sini!” Steve berteriak di ujung telepon. “Dia membawa senjata.” Steve menjatuhkan ponselnya lalu terus berlari, dia melihat Markus bersama Brigitt, berjajar di belakang kendaraan mereka, masing-masing menunggu untuk menembak. “Jangan ada yang menembak!” Steve berseru ketika suara tembakan dari kejauhan membuatnya berhenti mendadak.   ***   Dering panjang ponsel milik Nicole yang membuatnya tersentak sebelum terdengar suara gaduh di ruangan lainnya. Gadis itu beranjak dari ranjang, keluar dari dalam selimut sebelum ia menyambar piama satinnya yang tergeletak diatas lantai. “Ada apa?” tanya William dengan mata setengah mengantuk. “Aku tidak tahu,” Nicole mendengus kesal berjalan meninggalkan kamar. William langsung meraih ponsel rahasianya di dalam laci. Ada banyak panggilan tak terjawab dari Steve dan dua panggilan dari Castel. Dengan sigap ia menekan nomor Steve. “Kau dimana?” pertanyaan yang langsung tertuju padanya. Suara Steve terdengar tajam. “Aku…aku di markas anaknya.” William menatap pintu kamar dari balik bahunya. Ia menjepitkan ponselnya antara telinga dan bahunya sambil mengenakan celana jins miliknya. “Sebaiknya kau pergi dari sana.” “Ada apa sebenarnya?” “Kami melakukan penyelamatan untuk Brigitt, tapi sialnya Castel melakukan hal bodoh.” Steve terdengar mendengus. “Kami menembak pelaku yang ternyata bukan Marcus.” Geraman pelan diujung ponsel. “Kau akan melakukan penyergapan malam ini di sini?” Napas Steve terdengar naik turun dan tak beraturan. “Apa dia ada disana?” tanya Steve penuh kewaspadaan. Terdengar keributan di belakangnya. “Aku rasa tidak malam ini.” Keheningan sesaat sebelum terdengar suara gaduh dan teriakan serta makian milik Marcus. “Sebaiknya kau berjaga-jaga, William. Kau harus menjauh dari tempat itu.” “Waktuku tinggal besok dan lusa.” “Waktu untuk apa?” tanya Steve bingung. William memastikan kembali pintu masih tertutup. Ia menghela napas panjang dan menghembuskannya dengan keras. “Setiap korban harus diselesaikan dalam waktu tiga hari.” “Kau mendapatkan satu?” William tidak langsung menjawab. Wajah Lili berkelebat di dalam kepalanya. Suara lembut Lili dan ketulusannya, membuat William merasa ada yang harus ia selamatkan. “Lili. Aku harus menyelamatkannya.” “Dia seorang editor di sebuah penerbitan, dan tinggal dengan seorang temannya bernama Julie Cooper. Aku akan memberikanmu alamatnya.” Steve menjelaskan panjang lebar hasil pencariannya dengan Castel. William kembali terdiam. “Aku sedang memikirkan bagaimana mengagalkan rencana Nicole untuk Lili.” William menelan ludah sebelum menarik napas kembali dengan lebih dalam. “William!! William!!” pekikan milik Nicole yang terdengar jelas hingga ke telinga William. “Mereka memanggilku.” “Sebaiknya kau segera bergabung dengan mereka. Dan tetap waspada.” William langsung mematikan ponselnya dan memasukan ke dalam saku celana jins yang dikenakannya yang disusul kemudian menyambar kaos miliknya yang tersampir di kepala ranjang.   ***   Steve bukan orang pertama yang berjalan menghampiri target. Ia juga melihat sosok Castel di tengah kerumunan. “Marcus akan membunuh gadis itu, Steve.” Kilah Castel saat Steve merenggut kerahnya. Dihari lainnya mungkin Steve masih bisa bersabar. Tapi ini bukan hari biasa, Steve telah menjadi pria yang kesetanan di setiap proses penyergapan. “Atau begitulah katamu, Cas.” Geram Steve. “Ini wilayahku, Steve. Ini bukan wilyah kewenanganmu, bajingan.”  Seorang anak baru, kelihatan muda keluar dari lokasi penyekapan dan berujar, “b******n itu sudah mati,” dan Castel merespons dengan mengacungkan ibu jarinya. Seseorang bertepuk tangan dan seketika mata Steve terbelalak saat menyadari rupanya si anak baru, dialah si penembak jitu, bocah yang masih terlalu muda untuk berpikir lebih bijak. Karena hal itulah yang membuat Steve saat ini ingin memegang senjata. Meski kenyataannya sekarang, membayangkan harus menggunakan senjata saja membuatnya sangat ketakutan. “Apa masalahmu, Steve?” “Aku membutuhkan Marcus dalam keadaan hidup.” Mereka semua memasuki tempat penyekapan. Ambulance melaju menembus salju yang sudah terlihat tipis. Hanya meninggalkan basah pada permukaan aspal jalanan. Sirinenya meraung tajam. Tampak lampu merah dan biru menjerit di tengah kegelapan. Paramedis menurunkan perlengkapan mereka, berusaha sekuat tenaga untuk mengarahkan brankas melintasi basahnya jalanan. Lampu sorot memancar ke bagian dalam ruangan sampai seseorang yang memiliki akal sehat mematikannya. Steve menahan napas. Steve belum pernah bertemu Brigitt, semua yang ia dapat berdasarkan informasi dari William. Brigitt tidak akan mengenali mereka. Brigitt keluar dari dalam sebuah ruangan, dikawal oleh Castel, cengkeraman tangan Castel yang cukup kuat pada tangan Brigitt sama saja seperti memakai borgol. Tubuh Brigitt berlumuran darah, tangan dan pakaiannya, bahkan rambutnya. Kulitnya pucat menakutkan, tembus cahaya di tengah cahaya lampu sorot yang membuat Steve muak. Brigitt bagai hantu, ilusi dengan ekspresi kosong di wajahnya. Ia masih hidup tapi tidak sadarkan diri. Air mata membeku di pipinya ketika gadis itu terhgelincir di tangga dan Castel menariknya hingga berdiri. “Aku lebih dulu,” Castel berucap sambil membawa Brigitt menjauh dari Steve. Tatapan mata Brigitt menyapu wajah Steve. Apa yang dilihat Steve dari Brigitt adalah Eva, tiga puluh tahun yang lalu, sebelum kehadiran pria yang kini menjadi suaminya, sebelum kehadiran Brigitt. “b******n,” desis Steve tidak suka cara Castel menyentuh Brigitt. Di dalam sebuah ruangan, Steve menemukan mayor Gabe Thacher tergeletak di lantai. Satu atau beberapa kali saat masih menjadi polisi patroli, Steve membantu menarik mayat dari bangkai kendaraan. Tak ada yang menyamai hal itu. Memegang tubuh yang sudah mati, keras dan dingin begitu jiwa meninggalkan raganya. Matanya, entah membuka atau memejam, ia telah kehilangan kehidupan. Matanya terbuka, tubuhnya dingin dan ada banyak darah dari yang pernah dilihat Steve. “Kau beruntung lolos kali ini, Nostra.” Wajah Steve kian kaku, rahangnya mengeras dengan kenyataan Marcus memasukan seorang pasukan polisi dalam komplotannya. “Selidiki semua anggota tim.” Suara Steve terdengar tegas saat Castel telah berdiri kembali di dekatnya. “Kita kemasukan musuh. Cari lagi sampai dapat. Karena aku tidak yakin jika hanya Gabe Thacher.”    ***   “Kau mencurigainya?” tanya Nicole dengan suara pelan usai William meninggalkan dirinya dan Marcus dengan alasan untuk menyelesaikan mangsanya. Nicole menerima alasan yang diberikan William padanya. “Entahlah, Nak.” Marcus menenggak minumannya hingga habis. Merasakan sengatan pada lehernya. “Aku sudah memeriksa semua tentangnya,” imbuh Marcus. “Lantas, kenapa ayah mencurigainya?” tanya Nicole yang dibalas dengan senyuman miring. “Hanya pemikiranku saja. Aku memasukan seorang polisi ke dalam kelompok mereka dan mati konyol beberapa jam lalu.” Keduanya saling menatap tajam. Hanya ada mereka, ayah dan anak dalam ruang itu, yang lainnya berjaga di luar. “Bukan mustahil jika mereka juga memasukan seorang mata-mata di antara kita, Nak,” imbuh Marcus sebelum ia beranjak dari kursi bar yang ia duduki. “Awasi dia terus, kau mengerti?” Suara Marcus terdengar tegas dengan tatapan mata yang tertuju sepenuhnya pada Nicole yang masih duduk di tempatnya. “Tentu.”   ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN