Tujuh

2761 Kata
Perbincangan Lili dengan Dean masih terus berlanjut melalui w******p. Pria itu menceritakan keberadaan ibunya yang hidup seorang diri di Irlandia. Kisah keluarganya yang berseteru dan pasangan ibu anak itu memutuskan untuk memulai kehidupan mereka dari awal. Sejak saat itulah Dean memutuskan dirinya untuk pindah ke London untuk memulai bisnisnya. Dean menceritakan dirinya yang bukan berasal dari keluarga kaya. Semua peninggalan ayahnya direbut oleh keluarganya. Cerita yang membuat Lili menjadi simpatik. Dean : Aku harus melakukan semuanya sendiri. Dan kini beberapa anak buahku telah membantuku. Lili : Kau hebat. Itu yang Lili tuliskan sebagai balasan. Lili tak dapat membayangkan Dean mampu bertahan dengan keadaannya. Memulai segalanya dari titik nol. Dean : Kau tahu jika hari ini terasa amat istimewa bagiku. Lili : Kenapa? Dean : Karena aku menemukanmu di saat sebuah harapan kehidupan baru akan dimulai. Lili merasakan pipinya merona. Ada desir hangat menyelubungi perasaannya. Perbincangan kedua telah beralih ke arah pribadi. Lili : Omong kosong. Kau berbohong. Dean : Aku mengatakan yang sebenarnya. Aku akan menghubungimu lagi nanti. Bye, Sayang. Kelopak mata Lili langsung melebar saat kata sayang ia baca di ujung kalimat. Setelahnya tak ada lagi percakapan. Lili terdiam untuk beberapa detik. “Kau akan makan siang dimana?” tanya Devon memecah lamunannya. Lili menatap Devon dengan tatapan bingung sebelum tersenyum. “Tidak, mungkin nanti. Aku masih harus menghubungi seseorang.” Devon mengangguk dan ia beranjak dari kursinya. Jarum jam menunjukan pukul 12.00 pm. Waktunya semua orang makan siang, namun Lili lebih ingin menghubungi Julie. Deretan angka ponsel milik Julie ia tekan dan menunggu hingga dering yang kesekian, bahkan Lili nyaris mematikannya sedetik sebelum dirinya mendengar suara Julie. “Lili, maafkan Lili. Bagaimana kabarmu?” Suara Julie yang terdengar naik-turun bagai usai berlari marathon. “Kau habis dari mana? Kenapa suaramu seperti itu?” “Tidak, aku tidak apa-apa.” “Aku berhasil berkenalan dengan seseorang.” “Oya?” Julie nyaris memekik, dan Lili merasakan pipinya memerah. Pandangan mata Lili menyapu ruangan, dan tak ada orang lain selain dirinya. Mereka semua telah pergi untuk makan siang. “Ceritakan padaku semuanya. Siapa namanya? Apa pekerjaannya? Dia tinggal dimana?” Julie memberondong Lili dengan banyak pertanyaan sekaligus. Lili menghela napas dalam dan menghembuskannya pelan sebelum menceritakan semua percakapannya dengan Tamagotchi yang baru Lili ketahui bernama Dean. “Kau memberikan nomor ponselmu padanya?” Terdengar suara Julie yang tak percaya, dan Lili merasa telah melakukan kesalahan. “Apakah aku salah?” tanya Lili ragu. Julie tak langsung menjawab. Lili mendengar dia menyalakan kran dan air mengalir setelahnya. “Entahlah Lili. Mungkin seharusnya kau memberinya setelah kalian saling mengenal beberapa hari.” Lili terdiam, memikirkan apa yang dikatakan Julie. Dia benar, tak seharusnya Lili langsung memberikan nomor ponselnya pada seorang pria yang baru ia kenal. Lili terseret dalam lamunannya sendiri. “Ya sudah tidak apa-apa. Tak perlu kau pikirkan. O iya namanya Tamagotchi, lalu menjadi Dean. Nama lengkapnya?” tanya Julie di akhir kalimatnya. Lili kembali terdiam, melihat buku catatannya. “Dia hanya menyebutkan namanya Dean. Aku lupa menanyakan nama belakangnya,” kata Lili mengakui ketidak telitiannya lagi. Terdengar suara lain di belakang Julie. Bunyi kaleng minuman yang dibuka.  “Aku sudah mengirimkan fotonya padamu,” kata Lili lagi. “Aku belum melihatnya,” ujar Julie. Lili mengetuk-ngetukan ujung jarinya bergantian ke atas meja. Lili merasakan perasaan yang bercampur aduk. “Kau senang berbicara dengannya?” tanya Julie yang membuat jari Lili berhenti mengetuk. “Ya, terdengar pria yang baik dan… sopan.” “Bagus. Aku harap kau menikmati prosesmu, Sayang. Aku dan John harus pergi. Kabari aku terus.” “Baiklah. Aku akan mengabarimu lagi nanti.” Percakapan Lili dengan Julie berakhir. Lili hempaskan punggungnya ke sandaran kursi. Dean : Kau sudah makan siang, Sayang? Aku ingin mendengar suaramu, tapi aku masih terjebak dalam briefing bersama timku. Lili merasa napasnya tersekat. Pesan yang kembali masuk. Lili : Aku baru akan makan siang. Jangan lupa makan juga untukmu. Lili menekan tombol send sebelum ia meletakkan kembali ponselnya ke atas meja bersisian dengan keyboard. Dean mengirimi Lili foto-foto timnya yang sedang berada di tengah proyek pertambangan.  Sebuah desa kecil di lembah Medel pegunungan Alpine, Swiss memiliki nilai 1,2 miliar dolar Amerika. Hasil pencarianku beberapa jam lalu mendapati desa terpencil Medel diperkirakan meyimpan kandungan emas terbesar di Swiss dan Eropa. Beberapa bank di Swiss telah memberikan jalan bagi perusahaan tambang asal Kanada, NV Gold untuk melLilikan eksplorasi senilai 1,2 miliar dolar. Presiden dan CEO perusahaan, Watson, memperkirakan untuk awalnya, tambang emas ini dapat menghasilkan sekitar 800.000 troy ons emas, dan bernilai 1,2 milyar dolar Lili menyambar tas makan siangnya dan juga ponselnya sebelum beranjak meninggalkan meja kerja. Lili mulai merakan perutnya keroncongan. Tak ada lagi orang di dalam ruangan selain dirinya.   ***   Garis keluarga William cukup menarik. Pamannya yang pecundang itu. Tommy Mason sama konyolnya. Dia tertangkap menjual senjata pada agen federal, ditambah banyaknya pelanggaran norma-norma sosial. William berada di unit elit. Tugas mereka adalah menghancurkan kejahatan terorganisasi di kota ini. Melalui kerjasama dengan FBI yang diwakili oleh agen Frank Marshal. Dan kita akan melakukannya. Organisasi kriminal yang dimaksud di kota ini. Dan semua anggota tahu akan hal itu. Jackie, dan dia sudah tewas. Nastro memiliki tiga tangan kanan selain putrinya Nicole Nastro. Fritz, pria yang tinggal dengan kekasihnya di Liverpool. Dia orang Irlandia sejati. Billy Hunt, sebagai tukang pukul. Danitello, kepercayaan Marcus. Tapi yang paling utama menjadi target adalah Marcus Nastro. “Semua keluargamu penjahat, William. Kecuali ayahmu Adam Mason.” Kalimat yang kembali terngiang di telinga William saat ia telah berada di dalam mobil bersama Billy Hunt untuk menangih bayaran. Dengan segala alasan pria tambun tua pemilik toko serbaguna itu berkelit, bagi Billy tak ada gunanya. Saat amarahnya mencapai puncak, saat itulah peluru meluncur. Suara tembakan yang meletus dan mengenai kaki. “Aku beri waktu sampai lusa. Jika kau tak membayarnya, kau akan rasakan akibatnya.” Ancaman yang meluncur dari Billy Hunt sebelu mereka meninggalkan toko serba guna itu dengan menghancurkan toko tersebut lebih dahulu. Mobil yang dikendarai Billy melaju dengan cepat dan lanjut ke tempat berikutnya. William merasakan dirinya mulai tak dapat menahan diri dengan apa yang dilihatnya. Korban-korban penindasan dari kelompok Nastro. Mereka mengancam, memeras, menyakiti bahkan membunuhnya dengan mudah. Hal itu yang terjadi pada Rexy Blunt yang baru saja ditembak pada bagian kepalanya oleh Billy usai pria itu coba melarikan diri dari rumahnya. Sekujur tubuh William terasa bagai tersengat listrik menyaksikan semua korban kekejaman Nostra dan kawanannya. William : Kau harus segera menangkap kelompok gila ini, Steve. Sebelum mereka mencincangku. Isi pesan William kepada Steve usai ia meminta Billy untuk menurunkannya di jalan karena ia ingin membeli sesuatu untuk Nicole sebagai kejutan. William butuh ruang untuk membuatnya tetap waras dengan kegilaan di sekelilingnya. Keluarga Mason tinggal berdesakan di sepetak rumah sangat sederhana di selatan kota London. William Masion harus tinggal berpindah setiap akhir pekan karena perpisahan kedua orangtuanya. Diakhir pekan William akan tinggal bersama ibunya. Dihari lain ia akan tinggal bersama ayahnya. “Kenapa kau ingin menjadi polisi dengan gaji hanya tiga puluh ribu Dollar per tahun?” Pertanyaan yang diajukan Steve dalam ruangannya saat ia menwawancarai dirinya. Pertanyaan yang enggan ia jawab sepenuhnya. William terjebak dalam lamunan hingga langkahnya nyaris membuat seorang gadis terjatuh jika saja tangannya tak langsung menyambar pinggang gadis itu. Tatapan mata keduanya bertemu. Gadis itu merasa duninya berhenti, dan ia lupa bernapas. “Kau…” desis William terkejut. Bayangan photo profile yang ia dapatkan. Suara Nicole di pagi buta usai percintaan panas mereka kembali terngiang di telinganya, “Sepertinya aku dapat tangkapan yang bagus.” Sesaat dunia terasa berhenti, William menatap gadis itu dengan lekang hingga membuatnya bergidik. Gadis itu melepaskan diri dari William. Menyingkirkan tangan William dari pinggangnya. “Maafkan aku,” ucap William spontan. Ia tampak terkejut dan gadis itu menatapnya dengan pandangan bingung. “Aku, aku tidak sengaja---” “Tidak apa-apa. Mungkin kau perlu lebih berhati-hati.” Gadis itu mengatakannya dengan datar sambil memperbaiki tampilannya. Gadis itu menelan ludah dan ia tampak salah tingkah. “Kau baik-baik saja?” tanya gadis itu yang berbalik merasa aneh. Ia tersenyum ke arah William. “Ya, aku sedang melamun dan aku hampir membuatmu celaka.” Sikapnya terlihat canggung. Gadis itu menatap dengan menilai. Pria yang terlihat baik. “Kau pasti sedang memikirkan kekasihmu,” kata gadis itu sok tahu dan William meringis sambil menggaruk kepala meski tidak gatal. “Tidak. Sekali lagi maafkan aku.” Gadis itu mengangguk. William mengulurkan tangannya ke arah gadis yang berdiri di hadapannya. “O iya, namaku William. William Masion.” Gadis itu terdiam memandang tangan William yang terulur kehadapannya. “Namaku Lili. Lili Dannett.” Akhirnya Lili menerima uluran tangan William. Keduanya saling berjabat tangan, dan melepaskan senyuman. Seketika langit terasa runtuh tepat di atas kepala William. Tangan William terasa dingin mengenai kulit Lili, dan senyum William terlihat aneh bagi Lili. Terdengar suara ponsel berdering. Refleks keduanya saling melepaskan tangan. William merogoh sakunya, ponselnya berbunyi. “Senang berkenalan denganmu. Bye.” William pergi sambil menjawab teleponnya. *** “Kau dimana?” suara tajam milik Nicole di ujung ponselnya. “Aku baru selesai dengan Billy. Ada apa?” Suara William menajam juga. Ia harus kembali dalam perannya sebagai William yang b******k. William menoleh ke belakang dari balik bahunya, dan mendapati Lili yang telah melangkah memasuki sebuah restoran. William menghentikan langkahnya di tepian trotoar. “Sudah saatnya kau menghubungi gadis bodoh bernama Lili, Will. Aku berjanji padanya untuk menghubunginya saat makan siang.” Suara yang terdengar memerintah dan William jengah dengan perannya saat ini. Ia menghela napas panjang. Keterkejutannya belum hilang, jantungnya pun masih berdetak kencang usai pertemuan tidak sengajanya dengan Lili, yang menjadi mangsanya. “Ya, aku akan menghubunginya sekarang.” “Aku akan mengirimkan---” “Tidak perlu. Aku tahu apa yang harus aku bicarakan dengannya.” Percakapan yang berakhir tanpa menunggu balasan dari Nicole. William berjalan kembali ke arah di mana ia menabrak Lili beberapa menit yang lalu, memasuki restoran yang Lili berada di dalamnya. William melangkah masuk, berdiri di ambang pintu, di antara lalu-lalang pengunjung lainnya dan pandangan matanya menyisir setiap sudut ruangan. Di dekat jendela Lili berada, seorang diri beserta dengan pesanan untuk makan siangnya. William berjalan mendekat, menempati sebuah meja kosong di antara pengunjung lainnya bertepatan saat Lili menoleh dan hampir mendapatinya. Jantungnya terasa berdetak cepat. William mengeluarkan ponsel dari dalam saku. Mengamati profile yang ada di w******p dengan wajah Lili yang berjarak tak jauh dari tempatnya duduk. Seorang pelayan pria datang menghampiri dan dengan cepat William memesan secangkir kopi. Saat ini ia tak ingin makan apa pun, terlebih dirinya baru saja melihat darah manusia. Ia meyakinkan sosok yang bertemu dengannya adalah sosok yang sebenarnya menjadi targetnya. Lebih tepatnya target Nicole dan kawannya. William membuka percakapan terakhir, hanya ada satu percakapan, milik Lili dan Nicole. Betapa terkejutnya William mendapati deretan panjang percakapan antara Lili dan Nicole yang berperan sebagai Dean. “Dia menamaiku, Dean,” desis William sebelum ia menekan nomor ponsel Lili sambil menatapnya yang duduk sendirian sambil menatap keluar jendela. “Hi,” sapa William memulai berbarengan dengan pesanan kopinya yang datang. “Hi, Dean,” balas Lili dengan suara antusias. Lili memperbaiki posisi duduknya dan senyumnya tampak merekah. “Maafkan aku membuatmu menunggu. Pekerjaanku baru selesai,” ucap William dan ia harus menundukan wajahnya saat pandangan mata Lili kembali beredar. Ia harus menyembunyikan dirinya di tengah keramaian restoran. William bisa melihat Lili yang tersenyum seorang diri. “Tidak apa-apa. Aku juga baru bisa keluar kantor. Kau ada di mana?” tanya Lili polos. Lili memasukan potongan daging ke dalam mulutnya “Aku… aku baru kembali dari tambang,” ucap William bohong. Lili terdiam, meraih botol mineralnya. “Kau baik-baik saja?” tanya William memecah lamunan Lili. Lili teguk air meneral dalam botol, menyisakannya setengah. “Ya, aku baik-baik saja,” kata Lili sambil meletakkan botol di tempat semula. “Aku senang bisa berbicara denganmu. Mendengar suaramu dan melihatmu.” “Melihatku?” tanya Lili spontan sebelum ia terduduk tegak. “Lili…” William telah kelepasan bicara, “Maksudku, melihat foto di wattsapp-mu.” Hening kembali menyelinap. Jeda beberapa saat, William menyesap kopi pesanannya. “Bagaimana pekerjaanmu?” tanya William mengalihkan pembicaraan dengan arah pandangan mata sepenuhnya tertuju pada Lili. “Seperti biasa. Ceritanya tak akan cukup jika aku membaginya di telepon.” “Begitukah?” “Hhmm,” Lili menimpali dengan deheman. Ia menelan ludah, membuang tatapan matanya keluar jendela, orang-orang yang beredar di sepanjang trotoar. “Bagaimana denganmu?” “Aku punya sedikit masalah.” “Masalah?” Alis rapi Lili naik sebelah, “Masalah apa?” sambung Lili dengan penasaran. Ia meletakkan sikunya ke atas meja. William mengingat kembali skrip alur yang diberikan Nicole untuk setiap mangsanya. “Ibu sedang sakit, dan saat ini sendirian di rumah sakit.” “Apa?!” Lili terkejut, tertunduk sedetik kemudian menatap keluar jendela kembali.  “Ibumu tinggal dimana? Dan---” “Ibuku tinggal di Irlandia,” potong William cepat, menghentikan pertanyaan Lili selanjutnya. Lili terdiam mematung. Mengingat keberadaan mereka yang terpisah dan kini ibunya sedang sakit dan berada di rumah sakit seorang diri. “Dean,” desis Lili pelan. “Ya,” sahut William, ia tak boleh lupa namanya saat ini berubah menjadi Dean. Meski entah mengapa, William ingin mengakui pada Lili jika namanya adalah William Mason. “Aku…lantas adakah orang atau… maksudku kerabat yang menemaninya?” Suara Lili terdengar cemas dan William melihat dengan nyata perubahan ekspresi wajah Lili berubah mendung. William merasakan ketulusan dalam diri Lili. “Tidak ada. Saat ini dalam hidup kami hanya ada Ibu dan aku.” “Ya Tuhan,” desis Lili sambil menutup mulutnya. Lili benar-benar terkejut. “Kondisinya baik, hanya saja, satu jam yang lalu mengalami sesak.” “Sakit apa?” tanya Lili spontan. William tak langsung menjawab, ia butuh mencari alasan yang masuk akal. “Kanker paru, stadium akhir,” ucap William sekenanya. Mata indah milik Lili tampak membulat, William kembali tertunduk saat pandangan mata Lili kembali beredar. Hembusan napas dari hidung mancung Lili terdengar di telinga William. Terdengar berat dan cemas. “Aku turut prihatin, Dean.” “Terima kasih. Kau wanita yang baik.” Lili terdiam, tersenyum sendiri. “Aku tak ingin membuatmu sedih,” timpal William kali ini. Perlahan Lili tersenyum, dan saat itulah William merasa ada kehangatan yang menyelimuti hatinya secara tiba-tiba. Ada getaran yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. “Kau sudah makan?” tanya Lili. “Aku masih belum ingin makan. Aku masih ingin bersamamu,” sahut William yang membuat pipi Lili merona. Lili juga merasakan kehangatan menyusuri setiap pembuluh darah dalam tubuhnya. Ia membayangkan Dean duduk di hadapannya dan mengatakannya langsung. “Kau memiliki kekasih?” tanya William memecah kesunyian yang hampir menyelinap. “Tidak. Kalau aku memiliki kekasih, untuk apa aku--” “Ya kau benar,” sela William yang disusul dengan suara kekehan. “Aku berharap ini bisa menjadi awal hubungan kita.” Lili terdiam kembali, otaknya sedang bekerja untuk tetap mengenakan logika miliknya. “Ya, aku juga. Kau bisa memulainya dengan menceritakan tentang dirimu padaku. Itu… itu jika kau tidak keberatan, Dean.” Suara lembut milik Lili yang terdengar di telinga William terasa kian membuat jantungnya berdetak lebih kencang. Nicole telah menempatkan dirinya pada rasa yang tak pernah hadir dalam kehidupan seorang William Masion. “Ya, tentu. Aku senang mengetahui hal itu. Dan kau tahu, kau telah membuatku jatuh cinta.” Seketika Lili merasa bagai diguyur air es. Membeku di tempat duduknya. William juga merasa aneh dengan dirinya, bagaimana ia bisa mengatakan hal itu dengan mudah. Ia mencoba untuk mengingat skrip yang diberikan Nicole padanya. Tak ada bagian itu. “Kau jatuh cinta padaku?” tanya Lili curiga. William menatap Lili kian lurus. Wajah Lili yang menanti jawaban darinya. “Kau cantik dan baik.” “Darimana kau tahu jika aku baik?” tanya Lili lagi sebelum ia menelan ludah. “Kita belum bertemu,” imbuh Lili. Lagi-lagi William terjebak dalam pembicaraannya sendiri. Ia melirik ke kanan dan kiri, masih tampak ramai, jam menunjukan pukul 13.00 pm. “Aku bisa merasakan kebaikan dalam suaramu,” ucap William yang membuat jantungnya terasa bergemuruh dengan tiba-tiba. Lili mengamati meja di sebelahnya, sudah kosong. “Aku akan kembali minggu depan. Aku ingin kita bertemu, Sayang.” Sekali lagi William membuat sekujur tubuh Lili bergetar. Debaran yang tak biasa. “Aku ingin memperkenalkanmu dengan ibuku.” Lili tak merespon, jelas dirinya bingung dengan semua yang terjadi dengan cepat. “Kita baru kenal tadi pagi, Dean. Dan kau…” Kalimat Lili menggantung, ia meraih kembali botol air mineral yang dipesannya, meneguknya, menyisakan sedikit air di dalamnya. “Maafkan aku. Sepertinya aku yang terlampau antusias. Aku…aku tidak punya maksud apa-apa. Hanya---” “Aku senang mendengarnya, Dean.” Lili menimpalinya dengan suara tenang. William masih menatap Lili sepenuhnya yang duduk di meja yang tak jauh darinya. Lili melirik jam tangan di pergelangan tangan kirinya, kini pukul 13.15 pm. Lili terperanjat, wajahnya berubah cemas. “Aku harus kembali ke kantor. Kau bisa---” “Ya, tentu. Aku akan menghubungimu lagi nanti, Sayang,” sambar William. Tampak di seberang, selisih beberapa meja dari tempatnya duduk, William dapat melihat Lili sedang merapikan barang-barang miliknya masuk ke dalam tas, mengeluarkan beberapa lembar uang yang kemudian diletakkan di atas meja. “Aku ingin kau tetap makan. Jaga kesehatanmu. Aku tak ingin kau sakit, Dean. Bye.” Lili mengucapkannya dengan suara lembut dan William merasa apa yang Lili katakan terasa begitu berbeda dalam jiwanya. Bagai secercah oase di tengah tandus hatinya. Lili beranjak dari kursi yang didudukinya dan bersiap untuk pergi. William langsung meraih buku menu yang ada diatas meja dan menutupi wajahnya saat Lili melintas di dekatnya, ya…berjalan tepat di samping mejanya. William sempat menahan napas saat itu terjadi. Tatapan matanya mengikuti arah kepergian Lili. Ia langsung beranjak dari duduk usai meletakkan selembar uang di atas meja untuk secangkir kopi yang di minumnya. Dengan langkah lebar, William keluar melewati pintu restoran dan Lili berjalan di antara keramaian, Lili berjalan menyeberangi jalan dan William mengekor di belakangnya dengan jarak yang dipikirnya aman. Sebuah pesan masuk. Nicole : Aku ingin memberitahumu. Waktumu hanya tiga hari terhitung hari ini untuk bisa mendapatkan mangsamu. “b******k,” desis William sambil memasukan ponselnya ke dalam saku. Ia telah kehilangan jejak Lili. Gadis itu menghilang di antara keramaian siang.   ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN