Part 1
“Kamu harus menikah dengan Daniel, menggantikan kakakmu.”
“A—apa, mengapa?” gagapnya setengah linglung.
Sungguh mengejutkan, mana kala Rani terbangun dari pingsan dan tiba-tiba didudukkan di hadapan penghulu untuk dinikahkan.
Kesadarannya belum sepenuhnya kembali, otaknya masih berusaha mencerna segala yang terjadi di sekitarnya. Halaman yang disulap sebagai tempat pesta, pelamina sederhana yang indah penuh bebungaan, panggung hiburan lengkap dengan musik organ tunggal, hingga stan-stan jajanan gerobakan untuk jamuan. Rasanya Rani tidak ingin bangun dari pingsan saja, agar tidak perlu menghadapi situasi mencengangkan ini.
Hari ini seharusnya menjadi hari pernikahan Alina, kakaknya, akan tetapi tiba-tiba ia yang didudukkan di depan penghulu untuk menikah dengan—Rani menoleh, mencari sosok calon kakak iparnya, dan dapat!
Keramahan dalam wajah Daniel yang biasa ditampakkannya, menghilang. Tidak ada senyuman khasnya yang menawan, tidak pula kehangatan dalam pancaran netra kelamnya seperti kala memberikan hadiah untuk Rani, seperti yang biasa dilakukannya.
Rani menelan ludah melihat ekspresi mantan prajurit yang memutuskan pensiun dini dan mengabdikan hidupnya untuk menjadi pengawal dan tangan kanan Mbah Sena—konglomerat Dhanurendra yang terkenal. (Cerbung Renjana Cinta dan Jerat Suami Warisan)
Wajah Daniel tampak membeku, rahangnya yang terkatup rapat, mengeras, sementara netra kelamnya menyorot dingin. Ia jauh dari sosok calon suami kakaknya yang ramah dan baik hati.
Rani mengerjapkan mata, memilih melengos, tak berani menatapnya. Menggali ingatan, sebelum jatuh tak sadarkan diri, Rani ingat ia sedang menemani Alina di kamar, menenangkan kegugupan calon pengantin yang akan melangsungkan pernikahan dalam hitungan menit.
Tiba-tiba muncul tiga orang pria dewasa, menerobos masuk ke dalam kamar mereka. Baik Rani maupun Alina tidak sempat memekik terkejut, mereka bergerak sangat cepat membekapnya dengan sapu tangan yang telah dibubuhi obat bius.
Alina menghilang, sementara Rani dibiarkan tak sadarkan diri di teras rumah. Sekarang, ia harus bertanggung jawab menggantikan kakaknya untuk menikah dengan Daniel.
“Ibu,” bisiknya, memanggil perempuan ringkih yang duduk di atas kursi roda. Perempuan tersebut menata sedih padanya.
Takut, rasa itu hadir perlahan. Hingga menjelang 18 tahun usianya, tak sekalipun pernikahan terbayang dalam benaknya. Ia masih terlalu muda untuk menikah, terlebih menikah dengan pria yang jauh lebih tua darinya. Usia Daniel lebih dari dua kali lipat usianya.
“Kak Alin menghilang, Rani. Kamu diminta Mbah Sena untuk menggantikannya menikah dengan Pak Daniel.”
Rani bergidik ngeri, ia menggeser langkahnya mendekati sang Ibu, berusaha meminta perlindungan darinya. Namun, jangankan melindungi, Ibu bahkan tidak kuasa menatap wajah dingin Mbah Sena. Pria itu tidak mau dibantah, meminta pernikahan tetap dilanjutkan meski mempelai wanita berubah. Ibu sama tidak berdayanya.
“Ikut denganku,” ucap Mbah Sena. Nadanya sarat akan perintah, sulit untuk dibantah.
Mbah Sena berjalan dengan bantuan tongkat kayunya, pegitu pelan dan tampak sangat lemah, tetapi di balik penampilan fisiknya yang telah dimakan usia, pria itu merupakan sosok yang memiliki kuasa penuh atas Daniel.
Ucapannya adalah titah, tidak ada yang sanggup membantahnya, termasuk Rani. Yang dilakukannya hanyalah mengikuti langkahnya dengan ragu-ragu. Mbah Sena membawanya menjauh dari kerumunan para tamu.
“Kamu sudah tahu kalau Alin menghilang?” tanyanya, tegas dan terdengar menciutkan nyali. Rani tidak berani mengangkat kepala, ia menganggukkan kepala, pandangannya menunduk ke bawah seolah mencari uang recehannya yang terjatuh. “Pernikahan harus tetap jalan meski Alin menghilang, aku tidak mau tahu. Kamu harus menggantikannya menikah dengan Daniel.”
“Tapi, Mbah—“
“Kamu ingin melihat ibumu sembuh bukan?” potong Mbah Sena sembari menunjuk sosok lemah di atas kursi roda. Rani menganggukkan kepala. “Kamu butuh uang banyak untuk biaya pengobatan ibumu. Aku akan memberimu uang dalam jumlah besar jika kamu mau menikah dengan Daniel. Kamu bisa membawa ibumu berobat dengan baik, dan bisa bersenang-senang membeli semua yang kamu inginkan.”
“Tapi, Mbah—“
“Ada lagi yang kamu inginkan selain uang?”
Rani menggeleng. “Rani—mmm—baru 18 tahun, Mbah.”
“18 tahu sudah cukup untuk seorang gadis menikah.”
“Tapi, bagaimana dengan Kak Alin, Mbah?”
“Kakakmu kabur, tidak bertanggung jawab, dia tidak perlu lagi dipikirkan.”
“Kak Alin tidak kabur, tapi diculik orang!” bantah Rani, membela sang kakak. Ia mengangkat kepala, menatap Mbah Sena dengan pandangan tidak terima.
“Apa pun sebutannya, yang jelas dia pergi meninggalkan hari pernikahannya.” Mbah Sena berujar datar, ekspresi wajahnya sangat tidak enak dilihat. “Kesempatan ini tidak akan datang dua kali, kalau kamu menolak, artinya kamu tidak sungguh-sungguh ingin ibumu sembuh.”
Rani menggigit bibir, merasa bimbang. Di satu sisi ia tidak bisa menghianati kakaknya, tetapi di sisi lain tawaran Mbah Sena sangat menguntungkannya. Kapan lagi ia bisa dapat uang untuk pengobatan ibunya? Hal yang mati-matian ia perjuangkan bersama sang kakak.
“Bagaimana, Rani?”
Rani menatap Mbah Sena ragu-ragu, ia tidak punya pilihan lain selain menganggukkan kepala.
18 tahun usianya, ia menyandang status baru. Hari itu juga, Rani resmi menjadi istri Daniel, pria yang pantas ia panggil om.
Bersambung ….
Pembaca cerbung ‘Jerat Suami Warisan’ mana suaranya?
Selamat mengikuti kisah Daniel dan Rani. ?