Bab 1. Gagal Malam Pertama
"Om, sakit ...."
Namira Rashid, gadis yatim piatu yang bersedia menikah dengan papa sahabatnya, Daniel Bragastara 45 tahun.
"Lubang cincinnya sangat kecil. Tahan!" Daniel berusaha melepaskan cincin pada jari istrinya.
"Om, pelan-pelan ...." Namira meringis kesakitan.
"Ini udah pelan-pelan. Tahan sebentar!"
"Aduh, Om. Sakit banget. Lagian cincinnya aneh, bisa masuk kok susah keluar?" Daniel menghentikan gerakan memutar, ia menatap iba gadis yang baru dinikahinya tiga jam lalu.
"Pake sabun ya biar licin."
"Hah? Pake sabun? Emang kalau pake sabun cincinnya keluar?" Namira terkejut, kedua bola matanya membulat.
"Insya Allah keluar. Ayok, ikut ke toilet."
Bibir Namira cemberut, menahan rasa sakit dan perih pada jari manisnya. Semua ini gara-gara Bianca, sahabat sekaligus anak sambungnya. Ia membelikan cincin untuk Namira kekecilan.
"Mana jarimu? Sini biar Om sabunin!"
Namira pasrah, membiarkan suami yang usianya jauh lebih tua mengeluarkan cincin dari jari manisnya.
"Nah, bisa kan? Alhamdulillah ...." Bibir Daniel mengembangkan senyum, bernapas lega.
"Lagian si Bian kenapa beliin cincinnya kekecilan sih? Dia kan tau ukuran jariku," gerutu Namira sambil mengusap jari manisnya. Daniel mengulum senyum, membasuh lembut jari mungil istri kecilnya.
Daniel Bragastara sudah lama menduda, hampir delapan tahun ia tak menikah lagi sejak bercerai dengan istrinya.
"Besok kita beli lagi cincinnya. Sekarang kamu istirahat."
"Om, mau kemana?"
"Mau ke ruang kerja."
"Dih, kok malah ke ruang kerja. Emang ... hm ... Om gak mau malam pertama gitu?" tanya Namira tersipu malu.
Sebenarnya Namira sudah lama mengenal keluarga Bianca. Dirinya dan Bianca bersahabat sejak masuk sekolah SMP. Papanya dan Daniel merupakan sahabat atau partner bisnis. Namira juga sering menginap di rumah Daniel. Tepatnya ketika kedua orang tua Namira meninggal dunia. Rashid dan istrinya meninggal dunia karena mengalami kecelakaan tujuh tahun lalu.
"Memangnya kamu mau malam pertama? Emang kamu udah siap hamil?" tanya Daniel menahan tawa melihat ekspresi Namira yang malu-malu.
"Hm ... enggak apa-apalah aku hamil. Kan udah punya suami. Om, mau tanggung jawab kan kalau aku hamil?" Kedua mata Namira mengerjap.
"Tentu saja. Sekarang Om udah jadi suamimu. Kamu udah jadi istriku. Emang kamu gak mau kuliah?"
"Enggak mau, ah. Males aku. Lebih baik jadi ibu rumah tangga. Ngurus Om, ngurus anak-anak kita nanti," jawab Namira tersenyum manis.
Daniel tertawa sumbang, menggelengkan kepala. Lalu, mengecup puncak kepala Namira.
Apakah pernikahan ini terpaksa? Tentu saja tidak.
Namira yang telah lama kehilangan sosok ayah, menemukan itu dalam diri Daniel. Ternyata perasaan nyaman dan kasih sayang yang diberikan Daniel padanya membuat Namira jatuh hati. Maka ia tak sungkan-sungkan mengungkapkan perasaan cintanya pada Daniel. Perasaan cinta Namira pun didukung oleh sahabatnya, Bianca. Sang anak sambung.
"Dari pada Papah menikah dengan tante Mutiara atau balikan lagi sama mamah, lebih baik sama Namira. Lebih cantik, lebih muda, masih perawan lagi. Dibandingkan tante Muti dan mamah, beuh jauh. Dan yang lebih penting lagi, Namira bisa melahirkan anak. Kalau tante Mutiara, paling juga udah menopause. Papah mau kan punya anak lagi?" Bianca sangat antusias membujuk Daniel agar bersedia menikah dengan sahabatnya. Paling tidak, kalau Daniel menikah dengan Namira, mereka akan punya anak dan tidak terlalu mengekang Bianca yang ingin kuliah di luar kota.
Bianca yang sebelumnya mengetahui ada perempuan yang berusia 40 tahunan mendekati Daniel, langsung menyuruh Namira menikah dengan papanya. Saran itu diiyakan oleh Namira. Hanya saja, Daniel tidak langsung setuju. Ia merasa kalau Namira lebih pantas menjadi anaknya ketimbang istrinya. Perlahan tapi pasti, kebaikan dan ketulusan Namira dapat meluluhkan hati Daniel. Barulah ia memutusakan menikahi gadis berusia 19 tahun itu.
"Enggak boleh gitu. Pendidikan tetap penting untukmu. Kamu harus tetap melanjutkan kuliah!" timpal Daniel menjawil hidung mancung Namira.
Daniel keluar kamar, berjalan menuju ruang kerja. Sementara Namira cemberut, mengitari sekeliling dan melihat jari manisnya yang lecet akibat cincin yang dibelikan Bianca kekecilan. Namira beranjak, keluar kamar sambil membawa cincin tersebut untuk ditunjukkan pada Bianca.
"Bi, buka pintunya! Bian!" Namira mengetuk pintu kamar anak sambungnya. Tak berselang lama, wajah cantik Bianca menyembul.
"Na, ngapain kamu ke sini? Sana balik lagi ke kamar. Pokoknya kamu harus segera hamil, oke?"
Namira mendecih, menghentakkan sebelah kaki. Lalu, mendorong tubuh Bianca agar mempersilakan dirinya masuk ke dalam kamar.
"Dih nih anak. Eh, malam pertama malah di sini," tegur Bianca duduk di samping ibu sambungnya.
"Nih, cincin yang kamu beliin. Kekecilan tau!"
"Hah?" Bianca melihat cincin pernikahan sahabatnya dengan papanya.
"Masa kekecilan? Tadi waktu akad masuk kan?"
"Bisa masuk, gak bisa keluar. Jariku jadi lecet nih!" Bibir Namira cemberut. Bianca menghela napas berat.
"Besok bisa beli lagi. Sekarang keluar kamar, temuin papah."
"Temuin di mana? Papahmu lagi di ruang kerja. Dia gak mau malam pertama sama aku."
"Apa? Serius?"
"Serius. Apa aku gak menarik, Bi?" tanya Namira berdiri, memutar badannya lalu berdiri di depan cermin meja rias.
"Kayaknya iya sih." Jawaban disampaikan Bianca membuat mulut Namira menganga.
"Terus, aku gimana dong?"
"Ya udah sabar. Masih ada besok."
"Kalau besok bukan malam pertama, malam kedua, Bi."
"Ya elah, mau malam pertama atau malam kesepuluh gak apa-apa kali. Yang penting kan papahku menanam benih di rahim kamu." Namira tercenung, melihat dirinya sendiri. Ia tidak mau kalau melakukan itu besok malam. Maunya malam sekarang.
"Ya udah deh, aku balik kamar dulu."
"Oke, Mamih!"
"Idih! Berasa aku tua banget!"
"Ya emang kamu Mamih aku 'kan? Mamih Namira." Bianca tertawa melihat ekspresi wajah sahabatnya. Namira tak menanggapi ia tetap keluar kamar, berjalan ke ruang kerja Daniel. Mengetuk pintu, lalu terdengar suara Daniel yang menyuruhnya masuk.
"Namira? Ada apa?" tanya Daniel membuka kaca mata tebalnya. Gadis itu masih berdiri di depan pintu. Bingung, harus memulai dari mana. Ia ingin segera melakukan hubungan suami istri tapi, malu dan ragu. Namira berdehem, berjalan sembari tersenyum. Daniel meski kaya raya dan berlimpah harta tidak ingin melakukan itu bersama wanita panggilan, menjaga diri dari penyakit dan dosa tentunya.
"Namira, ada apa?" Namira mengalungkan kedua tangan di leher suaminya.
"Na-Namira ... a-apa maumu?" Namira tersenyum, mendengar suara suaminya yang bergetar.
"Apa aku tidak cantik?" tanya Namira dengan ekspresi menggoda.
"Ca-cantik," jawab Daniel. Suaranya terdengar bergetar karena melihat gerak-gerik Namira yang s3nsual.
"Kalau gitu ---"
Kalimat Namira terhenti saat handphone Daniel terdengar. Raut wajah Namira berubah kesal. Kedua tangan bersidekap.
"Ada yang telepon, aku angkat dulu!"