Mutasi

1373 Kata
        Anna menaikkan sebelah alisnya ketika mendapati Jessi berdiri di depan kamarnya. Perempuan itu menatap Anna sambil tertawa lebar, wajahnya terlalu bahagia sampai-sampai Anna pikir Jessi gila.         “Ada apa?”         “Jalan-jalan,” jawab Jessi masih sambil tersenyum lima jari.         “Aku tidak bisa.”         Senyum di bibir Jessi luntur, matanya berkilat jengkel, “Tapi kan tadi malam kita udah bahas ini.”         “Kamu dan Abel yang membahas liburan.”         “Kate juga setuju.”         “Lalu?”         “Lo juga harusnya ikut.”         “Aku tidak bisa.”         “An, sekali aja,” ucap Jessi hampir terdengar merengek. “Kita enggak pernah hang out bareng.”         “Kita bertemu setiap saat, apa gunanya hang out bersama seperti itu.”         Wajah Jessi semakin tertekuk, bibirnya melengkung masam, “Hang out itu bisa melepaskan pikiran jenuh, kita kan udah lebih dari satu minggu hanya hidup di ruang operasi, lounge, sama kantin rumah sakit. Sekali-kali, jalan-jalan dong.”         Anna menatap Jessi, bergeming. Seandainya semudah itu.         “Aku punya cara sendiri untuk melepaskan jenuh, jadi kalian saja yang pergi,” balas Anna sambil melirik Abel yang baru keluar dari kamarnya dengan pakaian yang sudah rapi.         “Tapi, An.”         “Aku sibuk, Jessi,” ucap Anna sebelum menutup pintu kamarnya, meninggalkan Jessi yang bersungut-sungut.         “Kamu kenapa?” Kate menatap Jessi bingung, “Kenapa berdiri di depan kamar Anna?”         Seolah mendapat oase di tengah gurun yang gersang, senyum Jessi kembali merekah sempurna. “Anna bagian lo, ya,” katanya sebelum kembali menghilang ke dalam kamarnya.   *           Beberapa menit kemudian, mereka sudah berada di basement apartemen. Kemunculan Anna di tengah-tengah mereka, membuat Jessi menatap Anna sembari melemparkan senyum kepuasan yang tak berkesudahan.         “Kate memang bisa diandalkan.”         Anna mendengus, seharusnya ia tetap saja berdiam diri di kamar. Menikmati sepi sampai senyap melenyapkannya. Seperti yang selama ini selalu ia lakukan. Namun mengingat mungkin saja ini momen terakhir untuknya bisa bersama sahabatnya, karena selain mereka Anna tidak akan sudi memiliki orang yang ia sebut sahabat.         “Aku enggak bertanggung jawab kalau Anna berubah pikiran,” komentar Kate setelah mendengar Jessi sengaja menggoda Anna.         “Enggak akan,” jawab Jessi percaya diri.         Beberapa waktu berikutnya mereka sudah duduk di salah satu sudut resto yang menyediakan beberapa hidangan dari belahan dunia. Anna seperti biasa, hanya menatap datar meskipun waitress yang bertugas menanyakan serta mencatat pesanan mereka terang-terangan menatap mereka dengan tatapan aneh.         Suara ponsel menghentikan gerakan Anna yang akan kembali menyuap makanan. Melihat nama Brian yang tertera sebagai penelepon, membuat Anna langsung menggeser icon hijau pada layar handphone-nya.         “Sekarang?” tanya Anna memastikan bahwa Brian memang sedang memintanya untuk menemui pria itu di rumah sakit.         “Iya,” jawab Brian di seberang sana.         “Oke,” kata Anna sebelum menutup sambungan teleponnya.         “Ada apa?” Jessi yang bertanya lebih dulu.         “Aku harus ke rumah sakit.”         “Sekarang?” tanya Kate bingung, “Ada operasi mendadak?”         Anna menggeleng, “Brian ada perlu,” jawab Anna sekenanya.         “Perlu?” Jessi bersuara, “Sama, Lo?”         “Iya.”         “Perlu apa?” Sejak kapan Brian punya nomer pribadi, Lo?”         “Lo cemburu?” Abel terbahak, “Astaga, lo beneran udah jatuh cinta sama Brian?”         “Gue enggak ….” Ucapan Jessi terhenti karena handphone Anna kembali berdering.         Tanpa mengucapkan salam, Anna langsung mnejawab, “Iya?”         “Isteriku ada bersamamu?”         Anna menatap Jessi sebelum berkata, “Ada.”         “Apa dia baik-baik saja?”         Anna hampir mendengus kalau saja ia tidak ingat kalau Brian adalah atasannya. “Iya,” tukas Anna pada akhirnya. Setelah itu ia menutup kembali sambungan teleponnya sebelum Brian bertanya lebih banyak lagi.         “Kalian saja yang pergi jalan-jalan. Aku ke rumah sakit.”         “Lo enggak bawa mobil, kan?” Jessi mengambil tasnya, “Bareng gue aja, ada yang mau gue ambil di rumah sakit.”         “Ngambil Brian maksud, Lo?” Abel menyela. “Biar enggak direbut Anna, ya?”         Jessi tidak menjawab, kali ini entah kenapa dia tampak tidak berminat berdebat dengan Abel. Langkahnya bahkan mendahului Anna, Anna menatap Kate yang dibalas Kate dengan mengangkat bahunya acuh.         “Aku ikut juga kalau begitu.” Kate juga mengambil tasnya, lalu menyeruput minumannya sampai habis.         “Kok pada pergi semua?” Abel menekuk mukanya kesal. “Gue masih makan.”         “Kamu bisa tinggal.” Kate menyarankan. Akan tetapi Abel sudah lebih dahulu memanggil pelayan. Meminta pelayan tersebut membungkuskan makanannya yang masih belum disentuh. Setelah permintaannya terkabulkan, Abel menyusul Kate dan yang lainnya.         “Kenapa dia juga ikut?” Jessi bertanya ketus ketika Abel ikut masuk ke dalam mobilnya.         Kate dan Anna tidak menjawab, Abel juga diam saja, mengacuhkan Jessi. Dia lebih memilih untuk membuka salah satu makanannya.         “Enggak boleh makan dalam mobil gue.” Jessi langsung histeris.         “Kenapa, sih?”         “Buang.”         “Astaga. Enggak ada akhlak banget sih, Lo.” Abel menatap Jessi remeh, “Makanan itu enggak boleh dibuang-buang. Lo enggak tahu, kan, berapa banyak orang yang banting tulang sampai makanan itu tersaji.”         “Gue enggak butuh kata-kata lo. Buang.” Jessi tetap bersikukuh, “Mobil gue bisa kotor.”         “Bisa dicuci ini.” Abel mulai menggigit lava cake-nya.         “Abel!”         “Kamu mau menyetir atau aku pergi dengan taxi saja?” tanya Anna jengkel mendengar pertengkaran dua manusia aneh yang selama beberapa tahun ini telah menjelma menjadi sahabatnya.     “Gue menyetir,” ucap Jessi akhirnya. *         Seharusnya Anna tidak membiarkan ketiga temannya untuk ikut kemari, atau lebih tepatnya dua orang utan yang sedang berkelahi saat ini. Sebenarnya ia pernah bertanya-tanya, kenapa Abel dan Jessi selalu terlibat pertengkaran bahkan untuk hal kecil sekalipun, tapi ia terlalu malas untuk mengurusi hidup orang lain.         Melihat tanda-tanda bahwa mereka tidak akan berhenti, Anna memutuskan untuk duduk di sofa yang ada di ruangan Brian. Menunggu. Tidak lama setelah itu pertengkaran Jessi dan Abel terhenti oleh kemunculan seseorang di pintu yang terletak di salah satu sisi ruang kerja Brian. Begitu basa-basi dengan si pria yang ternyata bernama Daniel itu selesai, sebuah suara berat membuat mereka kembali menatap ke arah pintu kamar pribadi Brian, tidak terkecuali Anna.         “Ruanganmu ramai sekali.”         Oleh sosok yang baru muncul itulah, Anna mengernyitkan dahi. Ada rasa tidak tenang dalam dirinya ketika mata biru itu menatapnya tajam.         “Kuharap jetlag-mu sudah reda.” Brian langsung membawa Jessi ke hadapan pria itu. “Perkenalkan, mereka para dokter Brian’s Operation. Dan itu Anna.” Brian kembali mengarahkan padangan pria itu kepadanya. “Dia yang aku rekomendasikan untuk rumah sakitmu,” ucap Brian yang membuat ketiga teman Anna saling bertatapan bingung.         “Rekomendasi?” Kate bertanya, “Rumah sakit dia?” perempuan itu menatap Brian penuh selidik, “Apa maksudnya?”         Anna tidak tahu apakah Brian menjelaskannya kepada Jessi maupun kepada Abel dan Kate yang masih terlihat kebingungan. Fokus Anna hanya pada langkah yang membawa si pria bermata biru itu ke depannya.         “Maaf membuatmu menunggu, Anna. Tapi sahabatku sedang membutuhkan dokter untuk rumah sakit barunya. Jadi, aku sengaja menunda kepergianmu dari sini.”         “Tidak masalah,” jawab Anna singkat. Dia tidak mempermasalahkan apa pun asal ia berhasil pergi sebelum Natasha kembali untuk memintanya pulang.         “Kuharap kau bersedia bekerja untukku,” kata Dave ketika mengulurkan tanganya.         “Kuharap pekerjaanku tidak mengecewakanmu,” balas Anna menyambut uluran tangan yang menjabat tangannya erat itu.         “Apa maksudnya ini?” Jessi bertanya.         “Mulai sekarang dan seterusnya, Anna bukan lagi dokter Brian’s Operation. Dia dipindahkan ke Diamond’s Hospital, rumah sakit temanku di New York.”         “New York?” Abel dan Jessi bersuara bersamaan, tampak sangat terkejut.         “Iya.” Brian menoleh kepadanya, “Kau keberatan, Anna?”         Anna menggeleng. Meskipun Brian tidak memindahkannya ke Jerman, seperti yang ia minta, Anna tetap tidak masalah karena Amerika juga terlalu jauh dari sini.         Semua orang kembali heboh, apalagi Daniel. Pria itu sengaja meminta kepada Brian supaya Abel ikut dipindahkan ke New York, menyusul Anna. Hanya Kate yang menatapnya bingung, tapi perempuan itu enggan bersuara, lalu Dave yang membisu tanpa peduli dengan keramaian yang diciptakan oleh pertengakaran Jessi, Abel dan Daniel.         Anna menghela napas, matanya terpejam sejenak. Setelah bertahun-tahun ia tetap tidak punya pilihan kecuali melarikan diri, membawa pergi sesak yang selalu mengumpul di hatinya. *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN